Langkap Pemkab Ponorogo Jadikan REYOG Sebagai Warisan Tak Benda UNESCO

PONOROGO, KANALINDONESIA.COM: Pemerintah Kabupaten Ponorogo terus berupaya agar REYOG Ponorogo diakui menjadi Warisan Budaya tak benda (Intangible Cultural Heritage) dari UNESCO. Melalui kegiatan Rembuk Agung dari komunitas reyog dan finishing naskah akademik ini akan menjadi langkah penting dalam memantapkan langkah selanjutnya menuju pengakuan dari UNESCO.

Bupati Sugiri Sancoko dalam sambutannya mengungkapkan untuk merealisasikan rencana itu, Pemkab Ponorogo mengundang fasilitator Intangible Cultural Heritage (ICH) UNESCO wilayah Asia-Pasifik. Harapannya dengan adanya fasilitator ini, bisa mengarahkan dan melakukan penilaian sebelum naskah atau dokumen tentang narasi Reyog Ponorogo ini resmi dikirimkan ke UNESCO.

“UNESCO kan tidak ada disini. Maka saat ini kami mengundang fasilitator dari Unesco, untuk bagaimana memberikan arahan, memberikan penilaian, sebelum naskah itu kita kirim ke UNESCO” ujar Bupati Sugiri Sancoko

Dalam sambutannya Bupati Sugiri juga mengatakan, pengusulan reyog dan pengisian formulir untuk dipaparkan ke UNESCO tinggal selangkah lagi. Tenggatnya Maret 2022 mendatang. Untuk itu diperlukan pematangan materi dalam naskah akademik. Mulai dari sisi kesenian, pengaruh sosial, pengaruh ekonomi, hingga bahan baku dalam REYOG itu sendiri.

“Jadi ini harus dirumuskan betul-betul, bagaimana mencukupi selera dari UNESCO, maka diundang tenaga ahli yang expert di bidang ini,” katanya

Sementara itu Fasilitator ICH UNESCO Wilayah Asia-Pasifik Harry Waluyo mengatakan, sejauh pengusulan dan pengisian formulir untuk masuk dalam daftar WBH ini bisa meyakinkan UNESCO maka peluangnya lolos makin besar. Namun, pihaknya juga menjelaskan ada beberapa hal yang menjadi penyebab gagalnya REYOG di ICH Unesco tahun lalu. Di antaranya penggunaan burung merak dan kulit harimau yang digunakan.

“Tapi ini ada solusinya, bagaimanapun juga Unesco telah menetapkan penilaian,” papar Harry Waluyo.

Dalam sambutannya Harry menyatakan, solusinya adalah kulit harimau diganti dengan kulit hewan lain yang tidak dilindungi. Sedangkan untuk burung merak, sudah terjawab dengan adanya penakaran.

Harry Waluyo berharap upaya Pemkab Ponorogo kali ini bisa berhasil. Karena pada 2009 silam, Reog Ponorogo pernah diklaim oleh negara tetangga. Isu yang sama juga mencuat pada 2017 lalu. Disamping itu juga butuh komitmen bersama antara komunitas reyog dengan melibatkan pemerintah. Sehingga kolaborasi ini nantinya bisa mengawal kepentingan untuk Ponorogo.

“Kalau Reyog Ponorogo ini diusulkan dari komunitas yang berkolaborasi pemerintah daerah, nantinya pasti bakal menjadi perhatian dari Pemerintah Pusat,” ujar Harry Waluyo. (hel/iin)