TikTok Javanese Culture, Angkat Kembali Kultur yang Mulai Luntur

ARSO 14 Des 2021 KANAL JATIM
Tangkapan layar akun TikTok Javanese Culture. (Foto: Debby Ayu Pramesti)

Oleh: Debby Ayu Pramesti, Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang

MALANG, KANALINDONESIA.COM: Nilai dari pemahaman berbahasa Jawa belakangan ini menjadi sorotan yang memprihatinkan, penggunaannya pun kian pudar tergerus zaman. Terlebih dengan kemajuan teknologi serta cepatnya akses informasi di dunia maya, mengakibatkan budaya asing berpeluang besar masuk dan merusak kultur yang ada.

Pada realitanya pemakaian Bahasa Indonesia, asing, dan Jawa mulai dicampuradukkan. Hal ini ikut menunjukkan kondisi Bahasa Jawa yang semakin surut dari peradaban. Padahal Bahasa Jawa memiliki etika bahasa yang baik untuk digunakan dan mencerminkan karakteristik adat budaya Jawa seperti tata krama, sopan santun kepada lawan bicara, menghormati yang lebih tua dan menghargai yang lebih muda. Sehingga perlu diadakan suatu inovasi agar budaya di Indonesia khususnya budaya Jawa bisa menjadi jati diri bangsa.

Media sosial menjadi bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas kehidupan sehari-hari hampir semua orang. Ruang di mana kita membangun hubungan, membentuk identitas diri, mengekspresikan diri, dan belajar tentang dunia sekitar. Salah satu media sosial yang menjadi tren saat ini ialah TikTok.

Aplikasi ini seakan menjadi primadona di tengah pandemi corona. TikTok semakin digandrungi oleh seluruh kalangan. Dengan memberdayakan pemikiran-pemikiran yang kreatif sebagai bentuk revolusi konten, menjadikan aplikasi ini sebagai wadah baru dalam berkreasi bagi para content creators.

Bagaikan dua sisi mata uang koin, TikTok dipuja sekaligus dihujat dalam waktu yang bersamaan. Sebagian besar masyarakat masih menganggap TikTok hanya sebatas media hiburan yang cenderung kurang bermanfaat bahkan dianggap negatif. Mengutip CNN, aplikasi yang sebelumnya pernah diblokir oleh Kominfo karena dianggap memberikan dampak buruk pada anak-anak, kini dalam beberapa kasus, TikTok justru dijadikan sebagai sarana edukasi sekaligus aktivisme dalam masyarakat luas. Sarana edukasi dalam TikTok berupa edukasi informal pengetahuan umum dan spesifik sesuai konten yang disajikan oleh si pengguna.

Materi pendidikan pun sejatinya dapat disampaikan menggunakan TikTok agar lebih menarik dan tidak membosankan.
TikTok berinovasi berubah menjadi konten yang berkontribusi sebagai media penyebaran informasi bermanfaat dalam konteks tertentu. Hal tersebut yang akhirnya membuat banyak masyarakat tertarik untuk mengunduh dan menggunakan aplikasi TikTok, seiring dengan ‘wajah’ baru yang diusungnya saat ini.

Tak bisa dipungkiri, dengan hadirnya TikTok yang dikemas seperti saat ini telah membuka peluang bagi masyarakat untuk menuangkan kreativitas dan ilmu yang mereka miliki dengan menyajikannya dalam bentuk konten video singkat. Perubahan sajian konten pada TikTok saat ini tentu saja membuat citra dari platform tersebut kian baik dan berubah menjadi salah satu media sosial yang semakin disukai oleh masyarakat.

Momentum ini pun tak luput dari kacamata mahasiswa kelompok 33 gelombang 16 PMM Universitas Muhammadiyah Malang yang turut memanfaatkan platform yang telah menjadi candu ini untuk dituangkan ke dalam program yang mereka usung dengan tema TikTok Javanese Culture.

Hadirnya program ini dimaksudkan untuk merefresh atau mengingatkan kembali kepada generasi muda serta memperkuat nilai-nilai kebudayaan Jawa yang mulai terkikis. Sasaran dari program ini adalah siswa-siswi sekolah dasar.

Disamping untuk bahan ajar, adanya program ini dapat sekaligus melatih kepercayaan diri mereka agar berani tampil di depan kamera. Konten yang disajikan pun beragam, edukasi seputar bahasa Jawa tentunya, mulai dari unggah-ungguh basa Jawa (ngoko, krama), permainan tradisional, geguritan (puisi Bahasa Jawa), dan lain-lain yang dikemas secara menarik, informatif, menghibur, dan simpel.

Diharapkan juga dengan tercetusnya TikTok Javanese Culture ini dapat mendorong masyarakat utamanya kaum milenial untuk berkreativitas dengan membuat konten-konten bermanfaat sesuai dengan passion mereka masing-masing.

“Terlepas adanya pro dan kontra dari aplikasi TikTok, tapi yang penting kan kontennya. Kalau kontennya bagus, misal ini kan istilahnya nguri-uri basa Jawa atau merawat lagi Bahasa Jawa. Ya tentu bagus dan perlu didukung dan dikembangkan lagi” Tutur RA Yasin selaku ketua kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Kaswonggo sekaligus pengelola Situs Patirtaan Ngawonggo ketika diwawancara mengenai program TikTok Javanese Culture.

Media sosial atau sebuah platform aplikasi dapat menjadi inspirasi dan tempat untuk menimba ilmu tatkala pengguna dapat memanfaatkannya secara tepat dan bijak. Perlu kita akui dewasa ini di era globalisasi sudah tak ada sekat bagi kebiasaan-kebiasaan budaya timur atas gempuran budaya barat yang mengakibatkan munculnya kebiasaan baru di tengah-tengah masyarakat kita. Tentunya ini menjadi keprihatinan kita bersama dimana budaya timur yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya leluhurnya dengan ciri khas etika perilaku dan sopan santunnya mulai musnah di generasi muda negeri ini.

“Program ini kami buat untuk istilahnya untuk ‘menyaingi budaya barat’ di media sosial agar para generasi muda bangsa ini tidak melupakan dan justru melestarikan budaya mereka khsusunya budaya Jawa dalam hal ini.” Pungkas Debby Ayu Pramesti selaku penanggung jawab program TikTok Javanese Culture.

Kita sebagai bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya sudah sepatutnya bangga dan melestarikan budaya-budaya yang ada, karena kebudayaan lahir dari masyarakat itu sendiri, lantas siapa lagi yang akan menjaga dan melestarikannya jika bukan kita sang generasi penerus bangsa? Lestarikan budaya untuk hidup lebih bermakna, sebab di pundak generasi mudah lah nasib suatu bangsa berada. (*)