Pedagang Pasar Soeroengan Keluhkan Besarnya Retribusi, Begini Penjelasan Kades
SIDOARJO, KANALINDONESIA.COM: Isu tak sedap pedagang pasar tradisional Soeroengan, Sidoarjo merebak ke permukaan. Para pedagang tidak sepakat dengan kebijakan Pemerintah Desa lantaran menarik retribusi ke masing-masing lapak sebesar Rp12 ribu per hari, sebagaian pedagang berdalih, kalau angka tersebut terlalu besar.
Berdasarkan data yang ada, sekitar ada 160 lapak. Untuk warga pribumi yang berdagang di pasar tradisional itu kurang lebih 80 orang, selebihnya, warga dari luar Desa Penambangan.
Kalau dibanding dengan jumlah penduduk desa yang berjumlah 4000 orang, tidak ada 1% nya, warga yang ikut mengais rejeki di pasar tersebut. Padahal, di tengah pandemi ini, warga desa yang bekerja sebagai buruh pabrik yang kena PHK juga banyak, ia juga butuh income.
Rumor yang beredar, mereka (pedagang – red) akan melakukan aksi protes ke kantor Pemdes, tapi hingga saat ini belum ada realisasinya.
“Ya menurut kami, sebagai orang kecil, uang Rp12 ribu perhari itu besar, kalau dikalikan sebulan sudah Rp300 ribu, kalau setahun berapa ?,”keluh salah seorang pedagang yang tidak mau disebut namanya.
Menanggapi hal ini, Kepala Desa Penambangan H. Helmy Firmansyah mengatakan bahwa, penarikan uang retribusi sebesar Rp12 ribu itu sudah melalui beberapa tahapan, diantaranya Musyawarah Desa (Musdes). Dan saat ini sudah menjadi Peraturan Desa (Perdes).
“Kalau mau ada yang protes silahkan, kami open, saya tunggu di kantor desa,”kata Kepala Desa Penambangan, H. Helmy Firmansyah, Senin (31/01/2022).
Ia menambahkan,” kalau menurut kami, uang Rp12 ribu itu tidak terlalu besar, kalau dibandingkan dengan pasar di daerah lain itu tidak ada apa – apanya,” ujar Abah Fir, sapaan akrabnya.
Ia menegaskan, pihaknya tidak mau, kalau kebijakan Pemdes Penambangan yang sekarang dibandingkan dengan kebijakan pejabat yang sebelumnya.
“Kebijakan Pemerintah Desa yang sekarang ini adalah mengejar target untuk transformasi, kami mempunyai banyak progres untuk membangun Desa Penambangan yang bersih, mandiri, transparan, partisipasif dan akuntabel,” jelas Abah Fir pada wartawan.
Terbukti dengan adanya beberapa pembangunan yang ada di Desa Penambangan, seperti, Pendopo kantor desa, dan bangunan – bangunan lainnya, serta pembangunan melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMdes), seperti Pujasera termasuk, nantinya penataan pasar tradisional “Soeroengan.
Dikatakan Abah Fir,” memang banyak sekali tantangannya, yang utama adalah dengan warga yang tidak selaras dengan perspektif kami. Itu merupakan hal yang biasa, sebab, niat kami adalah mbangun deso (Jawa -red), demi kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi,”tandas pria pemilik wahana wisata WKS itu.
Disinggung soal jual beli lapak, pihaknya memastikan tidak ada.
“Perlu digaris bawahi mas ! mulai sekarang tidak ada lagi jual beli lapak, karena itu termasuk melanggar hukum dan masuk tindak pidana penjualan aset daerah. Kami tegaskan, barang siapa yang ketahuan melakukan penjualan lapak, akan kami laporkan, biar ditindak sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. Siapapun dia, kami tidak peduli,”tandasnya.
“Kalau memang sudah bosan dan capek berjualan di pasar Soeroengan, ya kembalikan ke BUMdes, atau bagi mereka (pedagang) yang tidak kooperatif dengan regulasi yang ada, nantinya lapak tersebut akan otomatis kita ambil alih,”pungkasnya. (Irwan_Kanalindonesia.com)