Sudah Saatnya Sistem Pemilu Dikaji, Sahat : Biaya Politiknya terlalu tinggi
SURABAYA KANAL INDONESIA. COM – Prilaku dan situasi dalam pelaksanaan pemilu baik legislatif maupun kepala daerah, menjadi diskusi yang disampaikan oleh para Pimpinan DPRD Jatim saat menerima peserta Studi Strategis Dalam Negeri (SSDN) Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) RI di Gedung DPRD Jatim, Senin (4/7/2022). Kunjungan SSDN ini dalam rangka Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LXIV tahun 2022. Rombongan yang dipimpin Tenaga Ahli Pengajar Bidang Strategi Lemhannas RI, Mayjen TNI Kup Yanto Setiono tersebut, diterima langsung Ketua DPRD Jatim Kusnadi, beserta Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simanjuntak dan Anik Maslachah
Dalam diskusinya pimpinan DPRD Jatim ini menilai bahwa pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah maupun Legislatif secara langsung, telah menimbulkan biaya politik yang begitu tinggi. Dampak dari itu dinilai dapat berpotensi mengganggu kinerja kepala daerah terpilih.
“Kenapa kita tidak mencoba untuk mengkaji kembali mekanisme pemilihan kepala daerah langsung yang berbasis politik biaya tinggi agar bisa mengurangi dampak dari risiko-risiko yang akan timbul setelah yang bersangkutan terpilih,” kata Wakil Ketua DPRD Jatim, Sahat Tua Simanjuntak ditemui usai menerima kunjungan peserta SSDN Lemhanas RI.
Seretaris DPD Golkar Jatim ini mengatakan, bagaimanapun juga seorang kepala daerah terpilih yang menggunakan biaya politik tinggi, secara moral juga pasti ingin mengembalikan cost yang telah dikeluarkan. Dalam wilayah kekuasaan, menurutnya godaan itu tentu sangatlah besar dan sehingga tidak heran kalau muncukl praktik-praktik yang mungkin bisa timbul seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
“Sehingga pada saat pertemuan dengan peserta SSDN, kami menyampaikan dalam konteks freedom akademik, dengan kapasitas saya bukan sebagai perwakilan partai politik ya, kami menyampaikan pikiran seperti itu. Bagaimana pemilu legislatif maupun kepala daerah kita kaji lagi, karena cost politiknya sangat tinggi,” jelas dia.
Menurut Sahat, apabila cost politik tinggi, maka secara moral orang akan berusaha ingin mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan. “Selama ini, kita juga tidak pernah tahu besarnya sumber dana untuk modal politik itu dari mana,” kata dia.
Padahal, Sahat menyatakan, seorang kepala daerah atau anggota dewan terpilih, harus punya integritas yang tinggi dalam mengelola tata kelola pemerintah. Tetapi bilamana calon kepala daerah terpilih telah menggunakan biaya politik yang tinggi, maka mau tidak mau itu dapat mempengaruhi integritas kinerja orang tersebut.
“Jadi, karena ini adalah forum freedom akademik dan saya diminta berpendapat, karena forum ini adalah kebebasan akademik, saya memberikan pandangan seperti itu. Mengapa kita tidak pernah mencoba mengkaji sistem pemilihan umum kita,” ungkap Sahat.
Lebih jauh Sahat mengatakan selain tingginya biaya politik, isu lain yang dibahas dalam forum freedom akademik adalah terkait kurangnya perwakilan wanita yang mengisi kursi dewan. Sahat pun membeberkan alasan tersebut. Pada intinya, kata dia, seseorang yang berpolitik harus menggunakan logika. Yang berarti, logistik dan kapabilitas atau kemampuan.
Sahat memaparkan, logistik dibutuhkan dalam setiap kontestasi Pemilu baik Legislatif maupun Pilkada. Sedangkan kapabilitas, berkaitan dengan kemampuan seseorang.
Di sisi lain, kata dia, dalam sebuah wilayah tertentu pada konteks kearifan lokal, pria juga masih dianggap lebih baik dari wanita. “Sehingga itu kenapa banyak politisi wanita yang kemudian tidak terpilih di dewan,” jelas Politisi Partai Golkar tersebut.
Padahal, Sahat menyebutkan, jumlah penduduk wanita di Jatim mencapai 20,37 juta. Sedangkan jumlah penduduk pria, sekitar 20,29 juta. Meski jumlah penduduk wanita lebih besar dari pria, namun ternyata tidak linier dengan perolehan kursi yang didapat di dewan. “Nah, ini menjadi bagian dari freedom akademik saat diskusi kebebasan akademik tadi,” ini tandasnya.
Sementara itu Ketua DPRD Jatim Kusnadi Maka dari itu, Lemhanas RI sebagai salah satu lembaga kajian strategis di Indonesia diharapkannya dapat mengkaji terkait cost politik tersebut. Bagaimana politik di Indonesia bisa berjalan lebih efisien dengan tetap berasazkan demokrasi, tetapi juga dengan biaya yang bisa lebih rendah.
“Jadi, itu harapan kita sebagai pelaku-pelaku politik di Bumi Nusantara tercinta ini,” tandasnya. nang