Ini Tanggapan PBNU Mengenai RUU KUHP

ARSO 30 Agu 2022 KANAL NASIONAL

JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana (KUHP) yang sedang dirumuskan Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat mendapat sorotan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Wakil Ketua LPBH PBNU, Abu Rokhmad menyampaikan tanggapan beberapa pasal dalam diskusi terkait RUU KUHP: Wujud Keadilan Hukum Indonesia yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9), di Jakarta, Senin (29/8/2022).

Pertama, ia menyampaikan apresiasi terhadap Pasal Penodaan Agama. Menurutnya, keberadaan pasal tersebut menandakan bahwa para perumus undang-undang ini masih menganggap penting keberadaan agama, umat dan simbol-simbolnya.

“Kalau di dalam rancangan undang-undang KUHP itu masih dicantumkan pasal penodaan agama, itu berarti pembuat undang-undang masih menganggap penting agama itu sendiri, lalu umat agamanya, kemudian simbol-simbolnya,” ujar Abu Rokhmad mewakili Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf,

Dia berharap agar pembuat Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP), yaitu Pemerintah dan DPR RI, harus benar-benar merumuskan RUU KUHP secara jelas dan hati-hati, agar tidak menimbulkan multitafsir di masyarakat seperti halnya pasal tentang penodaan agama dan pasal tentang perzinahan.

Wakil Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum PBNU Abu Rokhmad juga mengatakan, terkait Pasal Penodaan Agama, yang perlu diperhatikan terkait unsur unsurnya.

“Pasal ini harus memenuhi unsur-unsurnya, pidananya harus betul betul bisa kita ketahui bersama. Kemudian aparat penegak hukum juga ketika mengimplementasikannya harus hati hati, harus sungguh sungguh, apalagi ini menyangkut Agama dipadukan dengan UU ITE. Saya kira ini akan menjadi persoalan serius,” jelasnya.

Ia menambahkan, Pasal Penodaan Agama harus dirumuskan secara hati hati, karena juga menyangkut aliran kepercayaan yang banyak berkembang. Implementasinya juga harus benar benar hati hati agar kita tidak ingin mengulang masa lalu.

Ia menerangkan, pasal itu sering dianggap sebagai pasal karet sama seperti pasal penghinaan kepada presiden. Tetapi, ada yang lebih krusial dari pasal penghinaan kepada presiden karena ini menyangkut keyakinan, agama, menyangkut kepercayaan dan ini harus diberlakukan secara spesifik.

Oleh karena itu, kalau dalam RUU KUHP itu masih cantumkan itu (penodaan agama) berarti pembuat UU masih menganggap penting bahwa agama itu sendiri lalu umat agamanya. Termasuk simbol simbolnya dan juga kepentingan masyarakat yang terkait dengan agama itu memang perlu dilindungi oleh UU.

“Sekali lagi seperti yang disampaikan oleh Wamenkumham Prof Edward Omar Sharif bahwa itu semata mata untuk menjaga keselamatan, kemaslahatan dan kedamaian. Sebab kalau pasal penodaan agama ini dibiarkan begitu saja, saya kira kita hanya mengulang ngulang saja dari sejarah masa lalu. Kita sudah berkali kali, ada kejadian semacam itu,”ungkapnya.

Kedua, kata Abu Rokhmad, adalah Pasal Perzinahan. Ia berharap agar pemerintah benar-benar mengaturnya agar tidak menimbulkan salah tafsir di masyarakat. Ia sepakat tujuannya untuk menjaga lembaga perkawinan. Tetapi harus dibikin rumusan yang benar-benar matang.

Kata dia, dalam pasal 417 dan seterusnya tentang Perzinahan yang dimaksud dalam RUU KUHP itu berbeda dengan konsep perzinahan dalam Islam. Dalam Islam apakah dilakukan oleh yang sudah menikah dan yang belum menikah itu sama saja perzinahan, apakah ada aduan atau tidak ada itu perzinahan, bukan berarti tidak ada aduan tidak ada masalah, tetap masalahnya ada.

Dikatakan, meletakan ajaran agama dalam konsep Pasal Perzinahan ini penting supaya Pemerintah dan DPR, pembuat UU tidak dianggap melegalkan pergaulan yang tidak sesuai dengan norma agama agar tidak terkesan RUU KUHP bertentangan dengan agama.

Begitu pula dengan pernikahan siri, meskipun pemerintah tidak mengharapkan pernikahan siri, sebaiknya masyarakat juga melakukan pernikahan legal. Karena, banyak sekali konsekuensi bagi masyarakat, keluarga dan anak dan sebagainya.

“Jadi sebaiknya RUU KUHP ini tidak melegalkan nikah siri, meskipun nikah siri sah secara agama, tetapi jangan sampai RUU KUPH ini mendorong orang untuk ramai ramai nikah siri. Karena itu perlu dibkin rumusan yang tepat supaya tidak kemudian salah tafsir dan salah implementasi,” tegasnya.

Masukan serupa juga disampaikan PBNU terkait dengan living low atau hukum adat. Menurut Abu Rokhmad, living low bukan hanya terbatas soal hukum adat karena banyak khazanah living low di masyarakat, termasuk kegiatan yang berkaitan dengan keagamaan.

Secara umum terkait RUU KUHP ini, PBNU terang Abu Rokhmad mengatakan PBNU tidak hanya fokus pada 14 isu krusial tetapi pada semua pasal dalam RUU KUHP. Sebagaimana tujuannya pemerintah dan DPR menyusun UU itu tentu dengan niat tulus ntuk menertibkan, untuk mengatur. Syukur syukur kalau membahagiakan masyarakat.

Artinya, lanjut Abu Rokhmad, RUU KUHP ini sudah sesuai dengan niat semula, oleh karena itu kalau melihat isu-isu krusial hanya 14 isu dari sekian ratus pasal, tentunya ini sudah bisa tuntas, tidak terlalu lama, karena lebih banyak yang disepakati daripada yang tidak disepakati.

“Memang seberapapun yang tidak setuju atau yang protes memang harus dilayani, kenapa demikian karena ini menyangkut kita semua. Sayang kalau tidak punya kado di tahun ini,” pungkasnya. (Rudi_Kanalindonesia.com)