SURABAYA, KANALINDONESIA.COM: Diduga vonis bebas bocor, sidang perkara pemalsuan surat dengan terdakwa H. Zainal Adym mendadak batal digelar. Sidang yang beragendakan pembacaan amar putusan berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jumat (2/9).
Setelah bermunculnya kabar bocoran putusan bebas yang rencananya akan dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Dewantoro akhirnya gagal dibacakan. Pada sidang sebelumnya, terdakwa H Zainal Adym dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Diah Ratri Hapsari selama 1 tahun penjara.
Humas Niaga PN Surabaya, Khusaini sekaligus hakim anggota dalam perkara ini saat dikonfirmasi mengatakan, terpaksa menunda sidang karena pihak JPU tidak hadir. Menurutnya, jaksanya sedang main Tenis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Jaksanya tidak bisa hadir. Jaksanya lagi main Tenis,” katanya kepada awak media di PN Surabaya.
Terpisah, Ronald Tallaway selaku kuasa hukum pelapor (korban) mengaku kecewa mengenai putusan bebas itu terjadi. Meski rencana tersebut telah bocor sebelum dibacakan majelis hakim.
Ronald berharap majelis hakim menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa. Menurutnya, perbuatan terdakwa H Zainal Adym bersifat manipulatif.
“Pertama Koperasi Pondok Pesantren Assyadzilliyah tidak ada itu di Surabaya dan kegiatannya tidak aktif terdaftar sehingga surat yang digunakan Terdakwa yang mengaku sebagai Ketua Kopontren Assyadzilliyah seharusnya tidak benar,” paparnya.
Kedua lanjut Ronald, kalau benar koperasi kan bisa meletakkan Hak tanggungan tapi ini kan tidak. Lalu Ketiga itu uang besar pada tahun 1997 namun mengapa tidak bisa dibuktikan itu uang uangnya (aliran dana atau kas koperasinya.
“Kemudian nama Subiyantoro yang sempat disebutkan terdakwa, mana identitasnya? Selama ini dia (terdakwa) sering menyebutkan nama Subiantoro. Dan kelima, terdakwa itu kan megang sertifikat kenapa tidak mengecek data di Badan Pertanahan Nasional,”tanya Ronald.
Pemberantasan Mafia Tanah sudah seharusnya didukung karena sejak awal kasus ini merupakan penanganan satgas mafia tanah.
“Putusan sudah seharusnya jangan sampai merugikan, tidak hanya korban namun juga moral masyarakat, “pungkasnya.
Diketahui, dugaan pemalsuan surat ini bermula ketika terdakwa membuat surat pengakuan hutang atau pemakaian dana kopontren tanggal 17 Juli 1996 perihal perjanjian penggunaan dana kopontren “Assyadziliyah” dalam tempo satu tahun sampai tanggal 17 Juli 1997.
Dalam perjanjian itu, terdakwa menjaminkan SHBG No 221 dengan obyek tanah dan bangunan yang terletak di Jl Prapanca No 29 Surabaya yang ditandatangani oleh terdakwa sebagai yang menerima perjanjian, yang seolah-olah ditandatangani oleh Soebiantoro sebagai yang membuat perjanjian dan disetujui oleh K.H. Achmad Djaelani sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Assyadziliyah, padahal Soebiantoro telah meninggal sejak 22 Januari 1989.
Surat perjanjian itu selanjutnya digunakan oleh terdakwa untuk melakukan gugatan ke PN Surabaya dengan perkara No 211/Pdt.G/2016/PN.Sby tanggal 04 Maret 2016 dan berujung pada eksekusi, padahal objek tanah dan bangunan tersebut telah dijual oleh ahli waris Soebiantoro ke Ferry Widargo pada tahun 2005.
Mengetahui hal itu, Bambang Sumi Ikwanto akhirnya membawa perkara dugaan pemalsuan surat tersebut ke ranah hukum. Oleh JPU, terdakwa didakwa dengan Pasal 263 ayat (1) KUHP. (Ady_kanalindonesia.com)