Lawan Resesi 2023, Butuh Persiapan Apa?
Oleh: YUVELIA CAHYA INDRAWAN
Penulis adalah: Mahasiswa Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Banyak orang menerka-nerka gelapnya perekonomian dunia di tahun 2023 akibat resesi. Ancamannya kian nyata, tidak sedikit pula yang sibuk bergegas mengamankan diri sebelum pandemi baru terjadi. Pernyataan Orang kaya akan semakin kaya, orang miskin akan semakin miskin menjadi pengantar untuk terbukanya jendela wawasan mengenai pentingnya sebuah persiapan di tengah bayang-banyang resesi. Terlebih bagi mereka, masyarakat menengah ke bawah yang justru rentan terkena dampak masa sulit ini.
Tendensi resesi secara garis besar memiliki makna situasi, dimana ekonomi disuatu negara mengalami perlambatan dalam periode tertentu. Periode resesi ini dapat dilihat jika terjadi perlambatan ekonomi dalam 2 kuartal (triwulan) berturut-turut. Dalam hal ini, perekonomian dinilai mampu bekerja dengan baik jika terjadi kestabilan perputaran ulang, bukan pada seberapa banyaknya tumpukan uang.
Anggapan masyarakat umum untuk tidak mengikuti siklus ekonomi mengakibatkan Produk Domestik Bruto (PDB) berkontraksi, sedang definisi PDB sendiri ialah produksi barang ataupun jasa yang dihasilkan dari unit produksi dalam waktu tertentu. Singkatnya, jika tidak ada permintaan maka penawaran pun akan sia-sia.
Adanya pandemi Covid-19 beberapa waktu silam, secara tidak langsung menekan perputaran roda perekonomian menjadi lebih lambat. Pedagang mati-matian mencari inovasi penjualan, namun tak selaras dengan jumlah pembelian. Sedangkan, konsumen memiliki minat pembelian namun tak memiliki uang. Ketidakpastian kondisi ini mengakibatkan konsumen menahan belanjanya dan berfokus pada pemenuhan kebutuhan penting saja. Belum lagi ramainya Pemecatan Hubungan Kerja (PHK) yang membuat pengangguran meningkat, ketersediaan lapangan pekerjaan dan pendapatan menjadi rendah.
Ibarat mematikan kobaran api tapi diguyur minyak tanah, adalah gambaran bagaimana ekonomi global mencoba bangkit dari keterpurukan selepas Covid-19. Belum mampu berdiri tegak, perekonomian dunia kini jauh lebih menantang dan berbahaya. Amerika Serikat (AS) disusul China diperkirakan telah mengalami resesi pada April-Juni lalu, meski keduanya belum mengonfirmasi pernyataan tersebut.
Bercermin dari kejadian tersebut, Indonesia merupakan negara yang masih terbilang aman. Hal ini dibuktikan dengan kesigapan kebijakan fiskal dan moneter yang bersinergi dengan baik. Grafik pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2022 kuartal 2 pun tumbuh impresif sebesar 5,44% (YoY). Ekonomi memang sempat melambat, namun tidak mati secara total. Mungkin banyak perusahaan start up gulung tikar, namun tidak sedikit pula usaha-usaha bermunculan. Neraca perdagangan baik bahkan surplus yang didukung dengan hilirasi komoditas hingga kenaikan nilai ekspor.
Lalu, sejauh mana resesi akan menyerang Indonesia? Langkah apa yang harus dipersiapkan sejak dini? Segudang pertanyaan demikian mungkin akan terus menghujani. Di sinilah dasar ekonomi dijadikan tuntunan. Tugas kita mengusahakan yang terbaik untuk bekerja, membeli kebutuhan dari skala primer-sekunder-tersier, melirik asuransi, menabung hingga investasi pada sesuatu yang dikuasai.
Indonesia sendiri memiliki track and record ketahanan pangan yang baik, hal ini terlihat dari krisis moneter beberapa tahun silam. Namun, laju perekonomian semakin kompleks yang menguji sejauh mana sebuah negara dapat bertahan akibat guncangan perekonomian. Untuk itu, apapun latar belakang dan profesi kita, mari bersinergi menjaga negara Indonesia. Sehingga di tahun 2023 dan tahun seterusnya, Indonesia tetap optimis meski waspada.