Hilirisasi Pertambangan Berkontribusi Signifikan Neraca Perdagangan
JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves (Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi) Septian Hario Seto mengungkapkan proses hilirisasi pertambangan di Indonesia terus dikembangkan, sehingga terbentuk ekosistem industri yang menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi dengan produk yang lebih kompetitif.
Menurutnya, proses hilirisasi yang telah dilakukan dalam dua tahun terakhir menunjukkan pertambangan telah berkontribusi yang signifikan terhadap neraca perdagangan Indonesia.
Peningkatan ekspor dari hasil hilirisasi ini telah membantu menciptakan surplus neraca perdagangan dan neraca pembayaran yang berdampak positif pada stabilitas nilai tukar rupiah dan indikator ekonomi makro.
“Penciptaan lapangan kerja juga mengalami peningkatan yang signifikan, terutama di daerah Weda Bay, Obi, Morowali, dan Konawe, dengan jumlah tenaga kerja yang mencapai puluhan ribu dan rata-rata gaji di atas upah minimum regional,” papar Septian dalam diskusi Redaktur Media Nasional secara daring yang diselenggarakan Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertajuk ‘Untung Rugi Larangan Ekspor Mineral Mentah’, di Jakarta, Senin (12/6/2023).
Dari sisi industri dalam negeri, lanjutnya, hilirisasi industri pertambangan juga memberikan dampak yang cukup besar. Investasi baru dalam sektor besi baja telah tumbuh pesat, meskipun mayoritas investor berasal dari luar negeri.
“Hilirisasi nikel sampai dengan saat ini sudah mencapai lebih dari 30 miliar dolar AS yang masuk ke Indonesia,” ungkap Septian.
Menurutnya, target selanjutnya dari pemerintah sendiri adalah mengintegrasikan hilirisasi ke tahap yang lebih lanjut untuk dapat menarik investasi lebih besar. Namun, proses hilirisasi ini tidaklah mudah dan menghadapi berbagai tantangan yang perlu diselesaikan. Beberapa tantangan yang dihadapi dalam proses hilirisasi industri pertambangan di Indonesia. Salah satu tantangan utama adalah besarnya investasi yang dibutuhkan.
“Rata-rata, proyek hilirisasi dalam industri pertambangan memiliki biaya yang cukup besar, di atas 1 miliar dolar AS. Oleh karena itu, selain modal ekuitas, juga dibutuhkan pinjaman dari bank,” katanya.
Dia pun mencatat bahwa lembaga keuangan internasional, terutama dari Tiongkok, memberikan dukungan pendanaan yang signifikan untuk proyek hilirisasi di Indonesia. Tidak hanya itu, bank-bank dalam negeri juga ikut aktif dalam pembiayaan tersebut, dengan rata-rata 30 persen modal ekuitas dan sisanya berasal dari pinjaman bank.
Selain itu, edukasi kepada sektor perbankan perlu terus dilakukan agar tercipta pemahaman yang lebih baik mengenai hilirisasi.
Kendati demikian, tantangan paling krusial yang dihadapi adalah hambatan perdagangan (trade barrier) yang diciptakan oleh negara-negara lain. Produk hasil pertambangan, seperti nikel, sering kali dikenakan tindakan anti-dumping dan anti-subsidi oleh Uni Eropa.
“Negara lain seperti India dan Korea juga telah memulai investigasi terhadap produk tersebut. Jika produk hilir dari industri pertambangan juga terkena hambatan serupa, hal ini dapat menjadi masalah besar karena akan mengurangi daya saing Indonesia di pasar internasional,” urainya.
Tantangan lainnya, kata Septian, adalah bagaimana mengintegrasikan berbagai elemen industri dalam menciptakan ekosistem yang kompetitif. “Contohnya industri mobil listrik yang dapat membentuk ekosistem agar lebih menarik bagi investor,” jelas Septian. (Rudi_Kanalindonesia.com)














