Tan Malaka Pernah Dipenjara di Rutan Ponorogo
PONOROGO, KANALINDONESIA.COM: Menelisik salah satu pahlawan nasional, Tan Malaka yang pernah dipenjara di Rutan Ponorogo. Dari berbagai sumber, pahlawan nasional yang memiliki nama lengkap Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka lahir di Suluki, Nagari Pandan Gadang, Sumatera Barat dengan nama Ibrahim ini pernah menghuni rumah tahanan Ponorogo.
Sebelumnya Tan Malaka ditangkap di Madiun bersama Sukarni pada tanggal 17 Maret 1946, dikarenakan organisasi Persatuan Perjuangan yang didirikanya dituduh akan mengkudeta Soekarno-Hatta. Sejak itu, Tan Malaka hidup dari penjara ke penjara di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tan Malaka sempat menghuni Rutan Ponorogo pada kisaran bulan September 1947, dan dipindahkan ke Madiun pada tangal 26 November 1947.
Terkait dengan beberapa catatan yang menceritakan bahwa Tan Malaka pernah menghuni Rutan Ponorogo tersebut, Karutan Agusyanto mengaku belum banyak tahu.
Karutan yang juga putra daerah Ponorogo tersebut baru mengetahui setelah awak media memberitahu dan menanyakannya.
“Ini kan salah satu hal yang menarik bagi masyarakat Ponorogo, bahwa ada pahlawan nasional yang pernah ditahan secara politik di Rutan Ponorogo. Jadi terima kasih informasinya, sebenarnya merupakan kabar terbaru dan menurut saya luar biasa. Dan info ini, saya pernah dengar dari teman-teman wartawan,” ucap Agus Yanto kepada kanalindonesia.com usai menerima kunjungan anggota komisi III DPR RI Johan Budi Sapto Pribowo beberapa waktu lalu.
Untuk menggali informasi tentang Tan Malaka yang pernah menghuni Rutan yang dipimpinya tersebut, Agus meminta kepada semua pihak untuk membantunya.
“Saya minta kepada semuanya untuk bisa membantu menggali lebih jauh, khususnya wartawan, karena baru-baru ini saya mendapat informasi ini. Kalau ada referensi-referensi yang mengarah ke sana mohon saya nanti dikasih informasi ya. Kalau menurut informasi dari teman wartawan kemarin bahwa beliau pernah ditahan di sini pada September 1947,” tutur Agus.
Agus mengaku hingga saat ini belum mengantongi narasi yang banyak.
“Kamar mana yang sekiranya pernah ditempati beliau. Ayo kita renovasi kita restorasi untuk menjadikan tempat yang memiliki nilai sejarah seperti di Sukamiskin itu. Kamar nomor berapa itu yang pernah didiami oleh Pak Soekarno itu sampai sekarang masih dilestarikan,” terangnya.
Dikatakan Agus, Rutan yang berada di Jalan H.O.S Cokroaminoto Ponorogo didirikan pada tahun 1918 sampai sekarang belum berubah dan belum pernah pindah.
“Setahu saya Lapas atau rutan ya di sini nih, ya yang pertama kali karena informasi ini didirikan pada tahun 1918. Nah itu kalau yang lain seperti Kejaksaan, pengadilan kan sudah pindah semua. Satu-satunya rutan ini yang masih eksis di tempat yang sama, menurut saya, setahu saya di sini ini, cuma satu enggak ada yang lain,”tegasnya.
Tan Malaka telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasar Keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno pada tanggal 28 Maret 1963.
Sementara itu, anggota Komisi III DPRRI Johan Budi Sapto Pribowo usai bertemu Karutan Agusyanto menyampaikan,” di sini ada peninggalan sejarah ya rutan ini. Menurut saya perlu juga dilestarikan. Jadi dipeliharalah, bahkan ada yang sejak zaman Belanda. Ya peninggalan-peninggalan itu yang menurut saya perlu dijaga sebagai bagian dari pelestarian budaya. Tadi juga info bahwasanya salah satu Pahlawan Nasional yaitu Tan Malaka pernah dipenjara di Rutan sini juga,” terangnya.
Selama dipenjara di Rutan Ponorogo, Tan Malaka yang termasuk penulis yang cukup produktif sempat menulis buku dengan judul Dari Pendjara ke Pendjara yang berisi tentang riwayat hidup (otobiografi).
Di dalam penjara Ponorogo, pada bulan September 1947, Tan Malaka menulis kata pengantar untuk jilid pertama autobiografinya Dari Penjara ke Penjara, yang baru terbit pada bulan Juni 1948 dalam bentuk stensilan. (kata pengantar penerbit untuk penerbitan ini tertanggal Solo, 17 April 1948).
Dengan demikian dalam waktu satu tahun Tan Malaka menuliskan riwayat hidupnya, dari April 1947 sampai Maret 1948: jilid pertama dari April sampai Juli 1947; jilid kedua dari September sampai November 1947; dan jilid ketiga dari Desember 1947 sampai Maret 1948.
Situasi untuk bisa menghasilkan karya yang begitu luas jauh dari ideal. Untuk Tan Malaka disediakan pensil kertas dan meja tulis. Sel yang dihuninya terkadang sepi, terkadang harus dihuni bersama sesama kawannya. Nasibnya tidak jelas. Pemindahan bisa terjadi setiap saat; kemudahan-kemudahan bisa dengan seenak sendiri diberikan atau dicabut. Begitu juga dengan nasib naskahnya tidak pasti; dirampas atau dihancurkan selalu menjadi ancaman.
Tan Malaka memiliki beberapa nama dalam perjalanan hidupnya baik di dalam maupun luar negeri dengan alasan, karena nama Tan Malaka sudah dikenal di seluruh Sumatera dan pemerintah Belanda, nama tersebut tidak dapat mengadakan perjalanan dan juga untuk menyembunyikan identitas.
Ia menguraikan perjalanannya dari suatu negara ke negara lain untuk menghindar dari kejaran agen-agen kolonial. Ia juga memaparkan pandangan tentang kepercayaan, filsafat dan tentang negara. Dari buku inilah kebanyakan para pemerhati mendapat gambaran kehidupan Tan Malaka yang revolusioner.
Akhir hayat Tan Malaka cukup memperihatinkan, karena pada 21 Februari 1949, , Tan Malaka ditangkap bersama beberapa orang pengikutnya di Desa Selopanggung, Kediri, setelah penangkapan dan penahanan di Desa Patje.
Bagi Tan Malaka, penjara disebutnya sebagai rumah keduanya.