Sarung Tenun Ikat Parengan yang Masih Bertahan
LAMONGAN, KANALINDONESIA.COM: Sarung tenun ikat khas Parengan. Dengan motif dan pewarnaannya yang khas sering dijumpai saat dipakai orang beribadah di masjid terutama pada bulan Ramadhan dan hari raya Idul Futri. Siapa mengira sarung tersebut diproduksi oleh tangan tangan terampil perajin sarung tenun ikat di desa Parengan kecamatan Maduran kabupaten Lamongan.
Sampai saat ini, perajin sarung tenun itu masih tersebar diantaranya sisi timur sungai Bengawan Solo yakni desa-desa yang masuk wilayah Kec Maduran, termasuk Desa Parengan. Sedangkan disisi barat Bengawan Solo, perajinnya tersebar di desa mulai Desa Laren, Pelangwot desa Bulutigo yang masuk wilayah Kec. Laren seperti diungkapkan Slamet kepala desa Parengan kepada wartawan (15/9/2023)
Rupanya, meski perajinnya tersebar di banyak desa, semuanya dikendalikan oleh para juragan atau pemilik modal di Parengan di mana usaha tenun sarung ini berpusat. Merekalah yang menyebarkan alat tenun itu ke desa-desa lengkap dengan benang yang telah diwarnai dan terpola. Salah seorang juragan sarung tenun ikat di desa Parengan H Mukhlisin.
Para perajin akan mengikuti motif atau pola yang telah ditetapkan para juragan. Kerja mereka adalah memindahkan benang ke gulungan yang mereka sebut morosepil menggunakan alat pemutar yang disebut ingan. Setelah semua tertata, barulah mereka memainkan alat tenun itu, dengan suaranya yang khas…dak dak…dak dak…. yang memang terbuat dari kayu.
“Ini motif botol atau lebih dikenal gombyor kalau saya menyebutnya. Kalau sudah jadi, upahnya Rp 45 ribu” kata Ujud seorang penenun satu di antara tiga lelaki yang menenun sarung siang itu.
“Pengerjaannya sehari selesai, kalau di pasaran, sarung ini paling murah seharga Rp 250 ribu.” imbuh Ujud
Saat wartawan disuruh mencoba salah satu sarung yang selesai ditenun, sarung tenun yang digarapnya memang relatif halus, berwarna dasar hitam dengan motif merah. Tetap terasa dingin karena bahan dasar benang jenis maseris (mercerized) yang dipergunakannya. Salah satu ciri khas sarung tenun Parengan memang terasa dingin dan nyaman saat dikenakan.
Benang sebagai bahan baku tenun ikat itu konon masih harus impor dari China dan India, seperti maseris (mercerized), spon (stafel fiber), juga sutra. Demikian juga dengan zat pewarna kimiawi yang digunakan juga produk impor. Saat ini pewarna kimiawi memang banyak jadi pilihan di industri tenun ikat di banyak daerah, meskipun pewarna alami masih jadi pilihan untuk produk tenun kelas atas yang harganya jutaan rupiah per potong, terang H Mukhlisin
Pak Ujud dan perajin tenun Parengan yang tersebar di berbagai desa itu memang sekedar pekerja borongan. Mereka tidak terlampau hirau dengan kelangsungan tenun sarung itu. Kalau anaknya menekuni profesi lain yang secara ekonomi lebih baik, mereka nilai itu wajar saja. Alat tenun itu pastilah akan menemukan jalannya sendiri berpindah ke rumah lain jika mereka sudah tak mampu memainkannya lagi.
Usia penenun yang tidak lagi muda sedangkan generasi penerus untuk menekuni tenun adalah permasalahan tersendiri. Jika para perajin tenun sudah tidak ada lagi mungkin cerita tentang sarung tenun khas Parengan hanya sekedar cerita saja dengan alat alat tenun yang dibiarkan usang sebagai tanda kalau dulu daerah ini adalah pusat sarung tenun ikat. Dan diganti dengan sarung sarung buatan mesin mesin pabrik. (Fat)