Belajar dari Penangan Bencana di Trenggalek, Anggaran Kurang Bencana Melimpah
SURABAYA KANALINDONESIA.COM – Meski Jatim termasuk wilayah rawan bencana namun anggaran yang disediakan dalam APBD Jatim ternyata masuk katagori minim.
Inilah yang terungkap dalam kunjungan kerja Komisi E DPRD Jatim ke BPBD Kabupaten Trenggalek dalam rangka melihat penangan bencana di Trenggalek. Hearing yang dipimpin oleh Siti Mukiyarti dari Fraksi PKB Komisi bidang kesra ini menggali berbagai hal terkait kebencanaan yang dilakukan di Daerah yang dikenal dengan “supermaket bancana” ini, Selasa ((10/10/2023)
Sejumlah anggota DPRD Jatim mendapat penjelasan dari Kepala BPBD Kabupaten Trenggalek Drs. Stefanus Triadi Atmono, M.Si seputar potensi bencana di daerahnya serta persoalan anggaran yang masih menjadi kendala, padahal potensi bencana di Tranggalek sangat besar banjir ,banjir bandang, gempa bumi, tanah longsor, cuaca ekstrim (angin), tsunami , kekeringan kebakaran hutan, gelombang ekstrim dan abrasi, yang statusnya sebagian besar adalah bahaya tinggi dan kerentanan tinggi. Untuk ansipasi maka dibentuk Desa Tangguh Bencana ( Destana).
“Kita sudah siapkan diri dengan membuat Desa Tangguh Bencana, namun baru 55 Desa. Itu karena di Trenggalek memiliki banyak bencana. Ada empat kategori bencana yaitu Tanah Longsor menempati urutan pertama dengan 206 kejadian. Untuk banjir sendiri menempati urutan kedua 129 kejadian.” ungkapnya Triadi.
BPBD Trenggalek mencatat, untuk tahun 2023 hingga 8 Oktober 2023, bencana alam di Trenggalek tercatat ada 272 kejadian, jauh dibawah tahun 2022.
Menanggapi kondisi ini anggota Komisi E Basuki Babussalam mengingatkan agar predikat – Supermarekt Bencana – segera di hilangkan, minimal tidak menjadi doa, “Kami berharap jangan ada doa doa kebencanaan, kayak Trenggalek ini disebut supermaket nya bencana, ini kan bahaya sama dengan doa,” kata Politisi PAN ini mengingatkan .
Caleg DPR-RI dapil Trenggalek ini mengakui dengan posisi Trenggalek seperti mangkok sangat riskan dengan bencana, “Posisinya ditengah dkelilingi gunung yang solusi keluarnya satu satunya sungai, dan kalau mau selamat ya revitalisasi sungai. Selama ini kan hanya wacana dan paparan. Maka ya mereka yang jadi DPR RI, DPRD Jatim dan Kabupaten, harus digerakkan semua potensi yg ada. Karena saya bisa merasakan saat Trenggalek banjir, bingung bagaimana jalan keluarnya. Kalau wakil rakyat itu gak mau bantu terutama yang DPR RI ya boikot, ini kan konstitusi. Buat apa, mereka kan punya kewenangan,” Kata anggota DPRD dapil Trenggalek ini.
Sementara itu Anggota Komisi E dari Fraksi Partai Golkar Kodrat Sunyoto, menyebut masih melihat belum tertatanya penangan bencana bahkan sejak dalam perencanaan, “Seperti juga terkait Mitigasi dan perencanaan penangan bencana. Akibat perencanaan yang kurang tepat, penangan selalu terlambat, selalu nya menunggu korban protes dan mengeluh baru bantuan muncul. Ini kan gawat. Maka mitigasi bencana harus benar yang tentu harus juga didukung anggaran,” katanya lagi .
Kodrat juga menyoroti selama ini Pemkab/ Pemkot kurang memberi perhatian kepada Tagana, Karena dianggap mereka bekerja pada saat bencana saja. Padahal dalam prakteknya mereka ini yang ada di garda depan penangan bencana. “Banyak itu kepala daerah yang tidak punya perhatian pada Tagana. Karena dianggap kerjanya hanya saat bencana saja. Makanya diharapkan ini jadi perhatian,” ungkap Anggota Fraksi Golkar ini, yang di Amini anggota komiane dari Fraksi Partai Demkrat M. Rosyidi.
Aktifis LIRA prihatin minim nya honor yang diterima oleh relawan yang tidak sebanding dengan kerja lapangan yang berat, “Saya sedih kalau honornya kecil begitu, harusnya itu anggota DPRRL RI juga Provinsi ya diajak bicara. Minta anggaran nya diperjuangkan. Apalagi ini kan tahun politik. Kuncinya kan komunikasi gimana caranya honor mereka tidak hanya 100 ribu potong pajak jadi hanya 90 ribuan, ” ungkap nya.
Penghargaan atas pekerja bencana seperti Tagana menurut Umik syahrok, mestinya bisa ada tambahan selain honor, “Misal di BLK ada pendamping untuk MTU, mereka bisa dapat hingga 500 ribu. Makanya saya berharap Raperda tentang kebencanaan bisa segera dibahas,” kata Politisi PKB asal Jember ini.
Sementara Anggota Komisi E asal Pacitan Siti Mukiyarti mengatakan, kerjasama antara Pemprov Jatim dengan Pemkab Trenggalek sebetulnya sudah bagus. Upaya preventif juga sudah dilakukan dan itu bisa mengurangi potensi bencana alam terjadi. Hal tersebut dapat dilihat dari kejidian bencana yang berkurang.
Ia menuturkan, saat ini, BPBD Trenggalek sudah mulai melakukan pelatihan kepada masyarakat desa agar nantinya dapat menjadi relawan tak kala bencana terjadi dan menjadi desa tangguh bencana. Mukiyarti mengatakan sudah ada 55 desa yang diberikan latihan dan sosialisasi dari total 152 desa yang yang tersebar di 13 kecamatan.
Namun demikian untuk melakukan giat kerelawanan, mereka harus juga dilengkapi dengan peralatan keselamatan yang memadai. Nah, hal tersebut yang menurutnya masih kurang.
“Peralatan dari relawan, ada helm, pakaian pengaman, dan alat-alat lainnya yang itu masih kurang untuk relawan Kabupaten Trenggalek terutama untuk TRC (Satuan Tugas Tanggap Bencana),” katanya.
Tidak hanya itu, penghargaan kepada para relawan juga harus diberikan dengan layak. Mereka yang menjadi relawan juga mempunyai tanggungan keluarga yang perlu diperhatikan. Mukiyarti menyebut bahwa nominal uang yang diberikan pemerintah kepada para relawan yang ada di bawah sangat sedikit, bahkan angkanya tak lebih dari seratus ribu setiap kali ada bencana terjadi.
“Tadi disampaikan hanya seratus ribu sudah kepotong PPH hanya menerima 94 ribu.
Ini butuh perhatian penuh dari pemerintah Jatim dan juga pemerintah Trenggalek, Komisi E sih sudah sepakat untuk membantu memperjuangkan,” pungkasnya.
Minimnya penghargaan atas relawan Bencana ini diakui oleh Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana BPBD Jatim, untuk tenaga relawan bencana di daerah masih mendapat honor yang sesuai kemampuan Pemerintah daerah setempat, “Kalau untuk Provinsi (Jatim) kita pemenuhan personel itu dengan tenaga kontrak, PTT yang kita ajukan masuk PPPK dengan lulus tes tentu ya, sehingga bisa mendapat gaji sesuai UMR. Untuk relawan di daerah ya memang harus disesuaikan dengan kemampuan Pemerintah kabupaten kota setempat, padahal mereka harus siap on call 24 jam,” jelas Sigit. Nang.















