Menyoal Konstitusionalitas Peran Kemenkum HAM sebagai “Central Authority” dalam Pelaksanaan Ekstradisi

JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materiil terhadap Pasal 21, Pasal 22 ayat (2), Pasal 23, Pasal 24, Pasal 33 ayat (2), Pasal 35 ayat (2) huruf b, Pasal 36 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 40 ayat (1), Pasal 44, Penjelasan Pasal 23 Undang-Undnag Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi (UU Ekstradisi) dan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Pidana (UU Bantuan Pidana). Perkara Nomor 180/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh para jaksa aktif, yakni Olivia Sembiring (Pemohon I), Ariawan Agustiartono (Pemohon II), Rudi Pradisetia Sudiradja (Pemohon III), Muh. Ibnu Fajar Rahim (Pemohon IV), dan Yan Aswarih (Pemohon V).
Para Pemohon yang didampingi oleh Viktor S. Tandiasa sebagai kuasa hukum menyatakan, misalnya pada Pemohon I dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, sering mengurus permintaan ekstradiksi incoming dan outgoing. Sehingga pihaknya mengalami hambatan dan kendala akibat berlakunya ketentuan durasi waktu pemrosessan permintaan bantuan hukum timbal balik. Dalam kasus konkret, Pemohon I diminta untuk memfasilitasi satuan kerja teknis dalam penanganan perkara tindak pidana khusus, yakni mengidentifikasi bukti berupa bank notes yang diduga mata uang dolar Amerika Serikat atas kepemilikan uang senilai 3,3 juta USD dari Argentina. Merujuk pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Penanganan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana disebutkan waktu pemrosesan permintaan bantuan timbal balik dimulai dari tahap penerimaan permohonan hingga tahap pemenuhan bantuan dan pemberian umpan balik.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut menempatkan Menteri Kehakiman sebagai central authority dalam pelaksanaan ekstradisi. Hal ini dinilai para Pemohon bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 17 ayat (3), Pasal 24 ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Mestinya, ekstradisi dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana menjadi urusan penegakan hukum yang menjadi domain badan lainnya yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman seperti Kejaksaan. Akibatnya, norma ini secara konstruksi menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak sesuai dengan negara hukum karena pada saat ini nomenklatur Menteri Kehakiman Nomor 1/1979 dan Menteri Hukum dan HAM dalam UU 1/2006 telah bertransformasi menjadi tiga kementerian, yakni Kementerian Hukum, Kementerian HAM, dan Kementerian Imigrasi dan Permasyarakatan. Dengan demikian, telah menimbulkan terjadinya disfungsi urusan dan menimbulkan ketidakjelasan peletakan kewenangan otoritas pusat dalam ekstradisi maupun bantuan timbal balik dalam masalah pidana.
“Pemisahan secara tegas antara fungsi transmitting authority dengan competent authority menyebabkan proses permintaan bantuan hukum timbal balik serta permintaan ekstradisi dari dan kepada pemerintah Indonesia harus melewati prosedur birokrasi yang panjang dan tidak sesuai dengan tujuan pembentukan central authority untuk memperlancar proses kerja sama penegakan hukum. Panjangnya proses permintaan bantuan hukum timbal balik dari pemerintah Indonesia ke negara asing menyebabkan pemanfaatan mekanisme bantuan hukum timbal balik untuk mendukung penyelesaian penanganan perkara tindak pidana menjadi kurang optimal,” jelas Ariawan selaku Pemohon Prinsipal dalam Sidang Majelis Panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arsul Sani dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dari Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga meminta agar MK menyatakan Pasal 21 UU Ekstradisi bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Dalam hal terhadap orang yang bersangkutan dilakukan penahanan maka orang tersebut dibebaskan oleh Jaksa Agung jika dalam waktu yang dianggap cukup sejak tanggal penahanan, Presiden melalui Jaksa Agung tidak menerima permintaan ekstradisi berserta dokumen sebagaimana tersebut dalam Pasal 22 dari negara Peminta”.
“Menyatakan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: Surat permintaan ekstradisi harus diajukan secara tertulis melalui saluran diplomatik kepada Jaksa Agung untuk diteruskan kepada Presiden,” sebut Ariawan menyebutkan salah satu poin petitum.
Hak Konstitusional
Terhadap permohonan ini, Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan nasihat terkait kewenangan lembaga yang diutarakan merupakan sebuah implementasi norma. Sebab dari penjelasan yang diuraikan pada permohonan menjadi konflik konstitusional lembaga dan bukan terkait dengan konstitusional warga negara dalam hal ini profesi jaksa. “Ini kepentingan pribadi kejaksaan atau jaksa atau ini kepentingan lembaga kejaksaan yang terkait dengan tupoksinya, kalau hak konstitusi institusi, maka ini keberadaan jaksa-jaksa di sini kurang kuat dalam kedudukan hukumnya,” jelas Arief.
Sementara Hakim Konstitusi Enny mengatakan kejaksaan agung dan menteri hukum yang memiliki fungsi masing-masing, sementara hal yang diujikan oleh para Pemohon terkait dengan kewenangan lembaga negara yang tidak disebutkan dalam UUD 1945, tetapi menjadi otoritas di bawah kekuasaan pemerintah.
“Adakah bukti yang memperkuat kedudukan hukum para Pemohon dalam pengajuan permohonan ini, mengingat persoalan konstitusionalitas 13 norma ini tidak persoalan yang sederhana? Apakah benar ini kewenangan MK? seharusnya proses di eksekutif dan legislatif,” terang Enny.
Kemudian Hakim Konstitusi Arsul menyebutkan perlu bagi para Pemohon untuk memperhatikan persoalan yang diajukan ini menjadi rumpun kekuasaan eksekutif yang harus diselesaikan di ruang yang semestinya dan bukan menjadi ranah yudikatif ke MK.
“Ini berbeda soal jika yang mengajukan orang yang pernah mengalami kejahatan dan membutuhkan bantuan hkum di negara lain karena dirasakan dan tidak dilakukan oleh kejaksaaan, tetapi ini Pemohonnya adalah jaksa sehingga Mahkamah perlu mengingatkan pendekar hukum atas landasan pengajuan permohonan ini ke MK,” saran Arsul.
Sebelum mengakhiri persidangan, Hakim Konstitusi Arsul menyebutkan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 6 Januari 2025 ke Kepaniteraan MK. Untuk kemudian Mahkamah akan menentukan sidang selanjutnya dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan yang telah dilakukan para Pemohon usai MK menyelesaikan sidang perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. (*)