Soal Banyak Anak Tidak Sekolah di Sidoarjo, Kadis Pendidikan di Panggil DPRD Tidak Hadir

IRWAN 31 Des 2024
Soal Banyak Anak Tidak Sekolah di Sidoarjo, Kadis Pendidikan di Panggil DPRD Tidak Hadir

.

SIDOARJO,KANALINDONESIA.COM : Ternyata di Sidoarjo saat ini banyak anak tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya juga ada anak tidak sekolah, alasannya banyak hal, dari fenomena ini, DPRD Kabupaten Sidoarjo mendapatkan temuan bahwa Anak Tidak Sekolah (ATS) di Sidoarjo, menduduki peringkat ke-12 di Jawa Timur.

Ini adalah sebuah persoalan yang kompleks, dan tidak mudah untuk mendapatkan solusi, artinya butuh proses yang lama yang menguras tenaga dan pikiran.

Disducapil dan Dinas P3AKB Sidoarjo akan segera mendata jumlah ATS di kota delta saat ini. Pada Senin (30/12/2024), Komisi D DPRD Sidoarjo memanggil Kepala Dinas Pendidikan (Disdikbud) Sidoarjo Dr Tirto Adi untuk hearing di kantor DPRD Sidoarjo. Seluruh kepala sekolah (Kasek) SMP negeri juga diundang. Ada 47-an Kasek yang datang. Namun, Tirto Adi tidak hadir dan diwakili oleh Sekretaris Disdikbud Ronny Juliano.

Wakil Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo Bangun Winarso membuka rapat dengar pendapat (hearing) dengan clue tegas. Evaluasi Gubernur Jatim terhadap APBD Sidoarjo 2025 harus diperhatikan. Khususnya tentang jumlah ATS yang masuk kategori memprihatinkan. (31/12/2024).

Sangat fantastis jumlahnya, berdasarkan survey, ada ribuan anak yang tidak sekolah di Sidoarjo, nah tentunya ini menjadi Pekerjaan Rumah (PR) pemerintah. Legislator PAN tersebut meminta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Sidoarjo memaparkan langkah-langkahnya.
Sekretaris Disdikbud Ronny Juliano menjelaskan, jumlah ATS yang telah dipilahkan Disdikbud sekitar 2.600 anak. Baik lulus maupun drop out SD dan SMP.

Sementara ketua Komisi D DPRD Sidoarjo, Dhamroni Chudlori menekankan kepada Dinas Pendidikan Sidoarjo, untuk segera mencarikan solusi atas permasalahan ini.

”Tidak ada alasan apa pun warga Sidoarjo tidak bisa sekolah. Apalagi alasan miskin. Tidak boleh ada lagi,” tegas Bangun Winarso yang mendampingi Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo Dhamroni Chudlori.

Kepala-kepala SMP negeri juga telah melacak berbagai sebab mengapa ada anak tidak sekolah. Tempat tinggal dan alasan mereka dilacak.
Solusinya adalah mereka diberikan kesempatan melanjutkan pendidikan di lembaga Pendidikan Non Formal (PNF) Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) milik Pemkab di Grinting, Tulangan.

Namun, Ronny memastikan kapasitasnya tidak cukup. Sarana dan prasarananya kurang. Lebih-lebih tenaga pendidiknya cuma dua orang. Satu mau pensiun. Satu lagi ASN yang masih baru.

”Kami punya keterbatasan untuk merekrut ASN baru,” ungkap Ronny.

Untuk sarana dan prasarana belajar, Disdik Sidoarjo berkoordinasi dengan kepala-kepala desa. Balai desa diminta diizinkan menjadi tempat belajar. Khususnya buat anak-anak tidak sekolah yang tinggal jauh dari Kecamatan Tulangan. Mereka tidak perlu mengeluarkan uang transpor untuk belajar. Cukup datang ke balai desa.
”Solusi lainnya mereka ikut PKB (Pusat Kegiatan Belajar) yang berbayar,” kata Ronny.

Mendengar itu, Bangun Winarso menyatakan siap mendukung upaya-upaya Disdikbud Sidoarjo. Kalaupun harus berbayar, APBD akan diarahkan untuk membantu mereka. Diperkirakan, biaya masuk pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) tidak besar.
Untuk Paket B pendaftaran sekitar Rp 300 ribu dan biaya belajar Rp 3 jutaan. Adapun paket C, biaya pendaftaran Rp 350 ribuan dan biaya belajarnya Rp 4 jutaan. APBD Sidoarjo mampu mengalokasikan itu.

”Tapi, apakah benar mereka tidak sekolah murni karena tidak punya biaya,” kata Bangun.

Kepala-kepala SMP negeri dipersilakan menyampaikan kondisi yang terjadi sekolah masing-masing. Bagaimana hasil pelacakan mereka. Di Kecamatan Tarik, misalnya, disebutkan ada 138 anak tidak sekolah.
Kepala SMPN 1 Tarik Sulih Prihatiningsih menyebutkan di sekolahnya tidak ada siswa drop out. Yang ada adalah dua siswa kelas VII yang belum mau masuk sekolah hingga sekarang. Tempat tinggalnya satu kampung dengan lokasi SMPN 1 Tarik. Sekolah sudah turun tangan. Mendatangi rumah mereka.

Anak itu semula mondok, tapi tidak kerasan. Lalu, pindah ke SMPN 2 Balongbendo, tapi juga tidak kerasan lagi. Setiap didatangi ke rumahnya, anak yang tidak sekolah itu diam saja. Bilang mau masuk sekolah esok harinya, tapi ternyata tidak datang juga.

”Orang tuanya sudah menyerah,” kata Sulih.

Kepala SMPN 2 Sidoarjo Drs Qodim MSi memastikan di sekolahnya tak ada anak tidak sekolah. Dua anak di Kecamatan Tarik itu belum termasuk drop out. Dia menyarankan mereka ikut kejar paket atau mutasi saja.
Kasek SMPN 1 Gedangan Hari Setiawan berpendapat. Anak putus sekolah tidak hanya berkaitan dengan sekolah-sekolah negeri. Di sekolah-sekolah swasta juga bisa ditelusuri. SMPN 1 Gedangan sendiri pernah melacak seorang anak yang tidak sekolah.
Setelah dicari, dia bekerja. Anak kelas VII itu ternyata disuruh ayahnya membantu bekerja sebagai sopir di Bali. Suatu saat dia tiba-tiba datang dan bilang ingin sekolah lagi. Karena waktunya tidak memungkinkan, sekolah kemudian mengomunikasikannya ke PKBM. Hari Setiawan mendaftarkannya. Pakai uang pribadi. Untuk biayanya, guru-guru urunan SMPN 1 Gedangan urunan.

”Akar ATS ini bermuara di keluarga. Kenapa anak tidak mau sekolah, itu pasti ada masalah di keluarga,” jelasnya.

Kepala SMP N 4 Lilik Sulistiowati menyatakan anak putus sekolah sering disebabkan faktor keluarga. Perceraian, perpisahan, keluarga tidak harmonis. Di rumah sudah tidak nyaman. Tidak ada anak putus sekolah karena biaya.
Selain itu, anak-anak tidak mau sekolah karena kecanduan gadget. Orang tua tidak mampu mengatasinya. Sekolah berkomunikasi aktif dengan melakukan home visit. Juga mengirim surat panggilan kepada keluarga.

Orang tuanya bilang sudah pasrah. Anak mereka mau diapakan oleh sekolah.
Namun, lanjut Lilik, sampai kapan pun sekolah menunggu. Dia tidak akan dikeluarkan. Wali kelas ditugasi datang ke rumah. Sekolah berupaya maksimal agar jangan sampai anak putus sekolah.
Ada lagi siswa yang dilacak, tapi belum ketemu. Anaknya hilang. Orang tua bekerja di Jogjakarta dan tinggal bareng neneknya. Dia tidak bisa baca sama sekali, tapi sudah diterima di kelas VII. Dia minder. Tidak masuk sekolah. Ortu menyerah. Tapi, sekolah terus berusaha mendampingi agar anak tidak putus sekolah.
”Sudah kami lakukan semuanya,” jelasnya.

Anggota Komisi D DPRD Sidoarjo Wahyu Lumaksono menegaskan bahwa masalah ATS ini harus ditanggulangi dengan serius. Baik karena faktor ekonomi, malas belajar, atau tidak ditemukan di mana. Peringkat ke-12 untuk jumlah ATS ini cukup tinggi. Anak-anak itu harus dijaring lagi untuk kembali ke sekolah. Sebab, ijazah itu sangat penting bagi masa depan mereka.

”Kalau memang mau ikut paket B dan C, tentu lembaga PKBM dan SKB bisa dilobi agar ada pengurangan biaya,” ungkap legislator muda dari Partai Golkar tersebut.

Anggota Komisi DPRD Sidoarjo Pratama Yudiarto menyoroti penyebab utama anak tidak sekolah. Yang terbanyak, tidak mau sekolah. Selain itu, bekerja, kurang biaya, dan sebab-sebab lainnya. Legislator Partai Gerindra itu berharap benar-benar dipikirkan bagaimana mencarikan solusi. Terutama soal biaya.
Perlu dibicarakan lagi bagaimana jangan sampai ada pungutan biaya di luar tanggung jawab sekolah.

Pengadaan LKS, misalnya. Siswa tidak perlu. Pajak negara sudah besar. Jangan sampai memberatkan masyarakat.
”Tugas kita meningkatkan pendapatan daerah. Hasilnya bisa untuk membantu masalah-masalah pendidikan seperti ini,” ungkapnya.
Anggota DPRD Sidoarjo H Usman MKes mengingatkan bahwa anak-anak tidak sekolah ini merupakan kewajiban semua pihak.

Karena wajib belajar, anak-anak itu harus diupayakan tetap belajar. Perlu ada pemetaan.
Kalau faktornya biaya, segera dicarikan solusi. Apalagi saat ini masih banyak sekola yang melakukan pungutan. Baik untuk alasan pembelian LKS, seragam, atau out door learning (ODL). Dia mengajak semua pihak untuk melakukan introspeksi bersama agar tidak kena dosa masal. Perlu ada sanksi bagi orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya.
”Di perda penyelenggaraan pendidikan, perlu ada punishment terhadap orang tua,” tegas legislator PKB tersebut.

Wakil Ketua Komisi D Bangun Winarso menegaskan lagi perlunya data-data yang valid untuk mengatasi anak-anak tidak sekolah ini. Kalau data sudah valid, bisa diambil kebijakan-kebijakan yang pasti.

Jika sampai mereka tidak sekolah karena kurang biaya sungguh memprihatinkan. Itulah yang menggugah DPRD Sidoarjo peduli. Bangun menyatakan data yang detail itu sangat penting untuk menentukan kebijakan-kebijakan selanjutnya.”Kalau sampai terjadi tidak sekolah karena faktor ekonomi, berarti ada yang salah dengan pemerintah daerah,” paparnya.

Sekretaris Disdikbud Ronny Juliano mengungkapkan pentingnya peran keluarga dalam mengatasi persoalan ATS ini. Penyebabnya didominasi masalah keluarga. Jadi, perlu melibatkan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3AKB Sidoarjo.
”Untuk melacak keberadaan anak-anak, perlu ada keterlibatan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil,” tambahnya.

Anggota DPRD Sidoarjo dari PDIP Tarkit Erdianto mendukung usul sisdikbud itu. P3AKB dilibatkan untuk mengatasi masalah anak putus sekolah. Selain itu, sekolah-sekolah swasta ini juga dilibatkan. Jangan-jangan data ATS itu yang terbanyak justru di sekolah swasta.
”Ini patut jadi perhatian,” ujarnya.

Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo Dhamroni Chudlori menyatakan siap memanggil Dinas P3AKB dan Disdukcapil. Secepatnya. Persoalan ribuan anak putus sekolah ini terkait berbagai faktor. Persoalan keluarga juga sebenarnya bermuara pada masalah ekonomi. Sampai terjadi KDRT.
”Kurang duit ramai terus,” ujarnya.

Dia memastikan akan memanggil berbagai pihak demi menuntaskan persoalan anak tidak bisa sekolah ini. Kalau perlu, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sidoarjo dilibatkan agar ada perencanaan yang fokus.
”Jangan sampai ada anak tidak sekolah di Kabupaten Sidoarjo,” tandas Dhamroni Chudlori. (Irw/Roz)