UB Malang Rekomendasikan Pengesahan RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP Dikembalikan Sesuai Tupoksi dan Proposional Awal

MALANG, KANALINDONESIA.COM: Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya Malang menggelar Focus Group Discussion membahas Menyeimbangkan Kewenangan Penegak Hukum Dalam Revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Rancangan Undang-Undang Kejaksaan (RUU Kejaksaan ), Selasa (11/02).
Ahli Hukum Administrasi Negara Prof. DR. Sudarsono S.H, M.S menyatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan RUU Kejaksaan yang akan dibahas DPR RI Tahun 2025 ini lebih baik ditunda pengesahannya.
“Pengesahan alangkah lebih baik ditunda. Mestinya harus difikirkan terlebih dahulu. Karena disatu sisi harus dilakukan pembahasan secara detail agar tidak ada tumpang tindih dan mengukur proposional dalam penanganan hukum bagi Aparat Penegak Hukum (APH), ” ungkapnya, saat menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh FIA UB di UB Guest House, Selasa (11/02).
Sementara itu, Ahli Kebijakan Publik, Prof. Drs. Andy Fefta Wijaya, MDH, PH.d menerangkan jika kewenangan penyelidikan dan penyidikan itu diberikan sepenuhnya kepada kepolisian .
“Dalam FGD yang mengusung tema tentang
menyeimbangkan kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam RUU KUHAP dan RUU Kejaksaan itu, khawatir apabila RUU tersebut benar-benar disahkan akan terjadi buntunya kepastian kebijakan dan hukum,” ujarnya.
” Kebijakan yang seharusnya sudah baik kenapa saat ini malah diperluas dan diperuntukan oleh salah satu lembaga, terbaik saat ini seharusnya agar tidak menjadi lembaga yang memiliki kewenangan besar kedepan, ” jelasnya.
Selain itu, dengan disahkannya RUU tersebut, juga akan berdampak kurang bagus secara keorganisasian. Jika RUU KUHAP Pasal 111 ayat 2, Pasal 12 ayat 11, Pasal 6 hingga Pasal 30 b disahkan, maka akan terjadi tumpang tindih kewenangan.
Ini tentu berpotensi tidak adanya batasan yang jelas antara jaksa dan polisi. Hal ini membuat terjadinya dualisme prosedur penyelidikan karena baik polisi maupun jaksa sama-sama memiliki kewenangan menyelidiki. Padahal bsistem peradilan pidana terpadu menghendaki adanya pengawasan yang dilakukan secara vertikal dan horizontal.
Dia juga mempertanyakan, apabila RUU tersebut benar-benar disahkan, apakah nantinya penuntut umum punya sumber daya manusia (SDM) yang cukup dan mumpuni untuk menangani banyak perkara. Contohnya seperti kasus yang ada di luar negeri, kemudian kasus-kasus yang jangkauannya jauh dari kejaksaan.
Karena itu, dengan adanya persoalan ini, dia menawarkan solusi yang seharusnya diperkuat adalah pengawasan penyidikan di institusi masing-masing. Baik di kejaksaan maupun kepolisian.
“Fungsi pengawasan penyidikan tidak memberhentikan proses penyidikan. Namun mengusulkan kepada pemberi tugas penyidikan untuk melakukan evaluasi,” jelas dia.
Dia melihat, yang menjadi perhatian utama dalam RUU ini adalah adanya tumpang tindih penyidikan antara kepolisian dan kejaksaan. Karena itu, hal ini perlu dilakukan pembahasan mendalam.
“Saya lebih setuju untuk kewenangan tersebut seperti yang sudah berjalan sekarang ini. Polisi melakukan penyelidikan dan penyidikan, kemudian Jaksa melakukan penuntutan, jadi alurnya akan lebih bagus,” ujarnya.
Sementara itu, FGD ini sangat perlu, ini merupakan salah satu tugas perguruan tinggi untuk memberikan masukan pada pembentuk UU agar tidak salah langkah.
“Melalui diskusi ini, bertujuan untuk menampung masukan-masukan dari akademisi dan praktisi hukum. Dari diskusi ini akan muncul alur, seperti apa yang bagus, karena ada tumpang tindih antara RUUD KUHAP dan RUU Kejaksaan, mengenai penyidikan siapa yang lebih berwenang,” paparnya.
Dari polemik ini, pihaknya ingin mendapatkan kepastian hukum. Sehingga tidak ada lembaga yang berebut kewenangan dan memperburuk sistem hukum di Indonesia.
“Ini yang tidak kami inginkan. Nah melalui kegiatan ini, bertujuan untuk bisa mengetahui siapa sebenarnya yang lebih berwenang. Kalau tumpang tindih masing-masing punya kewenangan, apakah nanti tidak rebutan jadinya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, hasil dari FGD ini akan disampaikan ke pemangku kebijakan pembentuk UU yakni DPR dan Presiden. Sehingga dapat menjadi masukan-masukan untuk mereka. Pihaknya meyakini, kolaborasi antara akademisi dan praktisi hukum, sangat penting dalam mengatasi tantangan hukum.
“Melalui cara ini kami berupaya menghasilkan rekomendasi yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan, untuk membahas RUU KUHAP dan RUU Kejaksaan. Sehingga kewenangan penyelidikan dan penyidikan dapat lebih jelas dan tidak menimbulkan konflik antara lembaga penegak hukum,” tutupnya(Bowo)