Kembali Deflasi, Bagaimana Cara Mengatasinya?

Opini Ini Ditulis Oleh : Agung Budilaksono, Deputi Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Cirebon
CIREBON, KANALINDONESIA.COM – Kendati sudah diduga oleh para ekonom, deflasi yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
untuk periode Mei 2025 ternyata lebih dalam. Konsensus Bloomberg yang berasal dari pendapat 12 ekonom menghasilkan simpulan bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan Mei 2025 akan mengalami deflasi 0,17% (mtm).
Nyatanya, pada 2 Juni 2025 BPS
menyampaikan bahwa IHK Mei 2025 mengalami deflasi 0,37% (mtm). Jauh lebih dalam dari
perkiraan para ahli ekonomi. Lalu, akan timbul pertanyaan kenapa hal tersebut terjadi dan bagaimana mengatasinya?.
Fenomena Deflasi
Secara umum, inflasi merupakan kenaikan rata-rata harga barang dan jasa dalam satu periode tertentu. Lebih lanjut, seorang ekonom terkenal, yaitu N. Gregory Mankiw, dalam bukunya Makroekonomi menegaskan bahwa inflasi disebabkan oleh permintaan terhadap suatu barang atau jasa yang meningkat (demand-pull inflation) atau karena kenaikan biaya pada barang atau jasa (cost-push inflation).
Lalu apa hubungannya dengan deflasi?
Secara teori, deflasi merupakan kebalikan dari inflasi. Artinya terjadi penurunan permintaan terhadap barang atau jasa sehingga menyebabkan harganya turun. Jika dari sisi harga, artinya ada penurunan biaya yang memengaruhi harga jual barang atau jasa menjadi lebih rendah.
Jika deflasi selalu dihakimi akibat penurunan permintaan, akan banyak yang menduga karena ada indikasi resesi. Apalagi banyak pendapat yang menyatakan
kekhawatiran tersebut. Sebelum lebih jauh menyimpulkan, mari kita cek lebih dalam apa yang
menyebabkan deflasi di Indonesia.
Bila diruntut dalam 5 tahun ke belakang, IHK Indonesia dalam setahun beberapa kali mengalami deflasi. Namun, penyebab deflasi tersebut lebih sering disebabkan oleh penurunan tingkat harga pada kelompok inflasi pangan bergejolak, atau lebih sering
digunakan istilah inflasi volatile food (VF).
Sesekali komponen inflasi lainnya, yaitu inflasi barang diatur pemerintah (administered prices) juga memicu terjadinya deflasi (grafik 1). Ini menjadi hal yang menarik untuk didalami.
Kata deflasi saat ini seringkali dikonotasikan sebagai indikasi awal menuju sebuah resesi.
Terbukti dengan beberapa kalangan yang sering menyampaikan hal tersebut. Bahkan, Ben Bernanke2, pada tahun 2002 sempat menyiratkan bahwa deflasi tidak boleh terjadi di Amerika Serikat karena akan membahayakan ekonomi.
Namun, di Indonesia sangat berbeda. Berdasarkan disagregasi inflasi, penyebab deflasi secara nyata dipengaruhi oleh pergerakan
inflasi pangan bergejolak dan sesekali akibat inflasi barang diatur pemerintah.
Sementara, inflasi inti yang mencerminkan permintaan riil masyarakat masih tetap terkendali. Lalu, kenapa inflasi pangan bergejolak yang acap kali mengalami deflasi cukup besar sehingga inflasi umum (IHK) menjadi terpengaruh? dapat dilihat bahwa kelompok inflasi pangan bergejolak terdiri dari komoditas pertanian, perkebunan, dan peternakan seperti aneka cabai, aneka bawang, telur dan daging ayam ras, serta daging sapi.
Melihat komoditas dalam kelompok pangan bergejolak, faktor pasokan yang tidak sesuai
dengan permintaan ataupun sebaliknya menjadi penyebab utama terjadinya inflasi atau
deflasi.
Pada saat Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) seperti saat puasa atau lebaran dan natal serta tahun baru, potensi inflasi tinggi akibat kelompok pangan bergejolak sering kali terjadi. Sebaliknya pasca HBKN, harga akan anjlok kembali. Bahkan, jika panen raya tiba,
harga komoditas dalam kelompok inflasi volatile food akan anjlok dan merugikan petani.
Butuh Tranformasi Pada Pengendalian Inflasi
Menilik kembali fenomena deflasi di Indonesia, sekali lagi itu bukan sebuah indikasi terjadinya resesi. Inflasi inti masih terkendali dan direspons oleh Bank Indonesia melalui serangkaian kebijakan moneter, makropudensial, dan sistem pembayaran.
Di sisi inflasi pangan bergejolak
juga dimonitor terus oleh Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendalian Inflasi
Daerah (TPID). Namun, hal ini perlu diperkuat melalui program transformasi pada sisi hulu
hingga hilir sektor pertanian.
Isu alih fungsi lahan, perubahan cuaca yang ekstrem, regenerasi petani menjadi sebuah tantangan besar di tengah kebutuhan peningkatan produktivitas pertanian. Penyediaan alat
dan mesin pertanian (Alsintan) dan pupuk dirasa tidak lagi mumpuni dalam mengejar kebutuhan pasokan.
Dengan perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang
sudah merambah ke beberapa sektor perlu ditangkap sebagai peluang di sektor pertanian.
Hal ini sudah diimplementasikan oleh petani di negara maju seperti.
Jepang dan Tiongkok.
Pemanfaatan kecerdasan buatan dalam sektor pertanian dapat bermacam-macam. Mulai
pemantauan cuaca, unsur hara tanah, jadwal pemupukan, hingga monitoring luasan dan perkiraan panen dapat dilakukan melalui gawai.
Lebih lanjut, hasil atau data yang didapatkan sangat berharga dalam pengambilan kebijakan di level daerah maupun pusat. Monitoring
perkiraan panen, jumlah stok, dan kinerja sektor pertanian dapat diperoleh dengan cepat,
lengkap, dan akurat.
Ternyata beberapa kelompok tani di Indonesia sudah banyak yang
menggunakan kecerdasan buatan ini. Namun, ternyata masih belum terlalu besar dibanding
Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke.
Sebuah loncatan yang mampu mendorong terciptanya ketahanan pangan dan inflasi yang
terkendali. Tentunya ini membutuhkan sebuah orkestrasi yang cantik dengan seorang dirigen yang piawai dalam mengatur alunan nada dari setiap pemain.
Bila ini tercipta, isu deflasi tidak
akan muncul lagi dan petani mendapatkan kepastian dalam berusaha.