Ruwetnya Haji 2025 Akibat Kebijakan Haji Berbiaya Murah?

oleh : MUH IKHWANUDIN ALFIANTO
Penulis adalah: Jamaah Haji Reguler 2025, Kloter SUB-53, asal Kabupaten Ponorogo Jawa Timur
Andaikata pelayanan terhadap jamaah Haji Indonesia 2025 di Arab Saudi (luar negeri) sama dengan di Indonesia (dalam negeri) maka sungguh Pelayanan Haji 2025 ini merupakan kado istimewa Kemenag RI saat menangani Haji untuk terakhir kalinya, sebelum tahun depan dikelola oleh BPH. Pelayanan sejak pendaftaran, bimbingan/manasik haji, pembagian kloter, rombongan dan regu sampai pada pelayanan di asrama haji dan fast track di bandara sungguh luar biasa bagusnya dan sat set. Kemudahan dan kenyamanan jamaah menjadi tujuan utama.

Pembagian Pelayanan Jamaah Berbasis Syarikah awal Keruwetan
Namun kekaguman itu menjadi sirna seketika saat pesawat mendarat di bandara Jeddah Arab Saudi (Kloter Sub-53 Surabaya termasuk gelombang ke 2 sehingga langsung ke Makkah melalui Bandara Jeddah). Seluruh penumpang langsung diarahkan naik bus (tanpa diberikan kesempatan untuk sekedar hanya ke toilet) sesuai antrian keluar dari pesawat. Setelah bus penuh dengan penumpang, lalu keluar (tanpa petugas di dalam bus) bandara menuju Kota Makkah yang didahului pemeriksaan cukup ketat saat masuk kota Makkah. Namun sopir bus kebingungan, penumpang harus turun dimana sehingga bus berpindah tempat beberapa kali mencari hotel yang dituju.
Setelah sampai depan hotel, ada petugas syarikah dan petugas haji Indonesia mengidentifikasi setiap penumpang. Baru tahu ternyata dalam 1 bus, ada yang masuk layanan syarikah yang berbeda dengan hotel dan lokasi yang berbeda pula. Menunggu berjam-jam di dalam bus sejak dari bandara menahan kencing membuat rasa tidak nyaman. Sebagian penumpang turun dan sebagian diantar ke hotel lain yang lokasinya berbeda.
Itulah awal keruwetan yang dirasakan jamaah, suami istri berbeda hotelnya, lansia terpisah dengan anak pendampingnya, koper-koper yg entah dimana mendaratnya sehingga muncul jamaah belum mendapatkan hotel dan kopernya sampai 1 minggu kemudian padahal ada yang cuma memakai pakaian ihram sejak di asrama haji.
Pelayanan jamaah oleh 8 syarikah dengan pembagian/pemetaan jamaah haji yang berbeda dengan pembagian kloter, rombongan dan regu sebagaimana yang sudah dibentuk sejak di Indonesia dinilai sebagai awal dari semrawutnya pelayanan jamaah haji setelah tiba di Arab Saudi.
Dalam 1 kloter terbagi dalam puluhan hotel yang berbeda karena syarikahnya berbeda-beda. Siapakah pihak/otoritas yang melakukan pembagian layanan syarikah untuk setiap jamaah sehingga menimbulkan pokok keruwetan musti ditelusuri dan diminta pertanggungjawaban bahwa membagi layanan jamaah oleh syarikah harus memperhatikan pembagian kloter, rombongan dan regu yg sudah ditata rapi sejak di Indonesia.
Layanan Puncak Haji (Armuzna) menjadi Taruhan Sah tidaknya Ibadah
Semrawut dalam pembagian layanan akomodasi oleh 8 syarikah, ternyata berlanjut saat pelayanan puncak haji yang sering disebut dengan Armuzna (Arafah, Muzdalifah, Mina). Keberangkatan jamaah dari hotel ke Arafah dimulai sejak 8 Dzulhijjah karena akan mekakukan wukuf di Arafah (Rukun Haji) mulai tgl 9 Dzulhijjah siang sampai petang.
Namun berdasarkan informasi dari jamaah haji di sektor 9 (sektor terdekat dari sektor 10 tempat kloter Sub-53), khususnya yang hotel 904 baru diberangkatkan pada tanggal 9 Dzulhijjah jelang siang hari dan sampai Arafah jelang sore. Keterlambatan kedatangan di Arafah ini sangat mengkhawatirkan para jamaah terkait terlewatnya pelaksanaan wukuf di Arafah. Lalu sekitar magrib para jamaah sudah dihimbau untuk masuk ke bus untuk dibawa kembali ke hotelnya di Makkah tanpa mabit di Muzdalifah dan Mina.
Pergeseran dari Arafah ke Mina secara umum dibagi ke dalam 3 model layanan ;
- Mampir dan mabit semalam di Muzdalifah kemudian mulai dini hari tgl 10 Dzulhijjah digeser ke Mina.
- Layanan Murur, dari Arafah langsung ke Mina, yaitu khusus lansia dan resiko tinggi dengan lewat saja di Muzdalifah (tidak turun dari Bus).
- Layanan Tanazul, pergeseran jamaah dari Arafah, lewat Muzdalifah langsung pulang ke hotel di Makkah. Rencana awal 30% jamaah haji yang akan “ditanazulkan” namun sebelum Armuzna tiba-tiba keluar Surat pembatalan Program Tanazul dari PPIH kemenag RI.
Di tiap model layanan diatas juga tidak kalah semrawutnya. Point 1 (mabit di Muzdalifah) jamaah mayoritas jalan kaki dari Muzdalifah ke Mina dengan jarak 5-9 km karena keterlambatan bus syarikah. Bus tidak mau menaikkan penumpang selain syarikahnya padahal penempatan jamaah di Muzdalifah tidak diatur berdasarkan syarikah. Disitulah kekacauan muncul, jamaah mencari Busnya tidak ketemu, kemudian syarikah mencari penumpangnya juga tidak mengetahui dimana titik jemputnya, apalagi jamaah sudah terpencar dalam mencari tempat mabit di Muzdalifah. Namun itu tertolong jalan kaki meskipun sangat memberatkan jamaah karena rata-rata membawa 2 tas rangsel di depan dan belakang.
Setelah sampai di Mina, keruwetan tambah menjadi-jadi karena kondisi siang hari panas, capek, belum tidur, sampai di Mina tidak ada tempat karena tenda sudah full dengan jamaah lainnya. Kapasitas tenda di Mina tidak mencukupi untuk jamaah haji yang semula 30% dari jamaah dibuat skema Tanazul (Tidak menginap di Mina namun langsung balik ke hotel Makkah) lalu dibatalkan sesaat sebelum Armuzna dimulai sehingga menambah keruwetan kehidupan jamaah di tenda Mina (tidak ada tempat tidur akhirnya banyak jamaah tidur di sela sela tenda Mina dengan alas kardus bekas, kamar mandi juga terbatas sehingga antrian panjang dst).
Point 2 (Murur) juga menjadi bermasalah ketika jamaah lansia dan resiko tinggi menunggu terlalu lama kedatangan Bus yang hendak menjemputnya untuk langsung ke Mina. Menunggu bus berjam-jam dengan berdiri tentu punya dampak bagi para lansia dan beresiko tinggi.
Keterlambatan bus untuk mengangkut Murur juga disebabkan bus tidak mau mengangkut jamaah selain dari syarikahnya. Di satu sisi banyak bus kosong datang mencari penumpangnya sementara di sisi lain penumpang menumpuk menunggu bus syarikahnya belum datang.
Point 3 (Program Tanazul) juga tidak kalah semrawutnya, jamaah sektor 9 cuma sekitar 3 jam di Arafah, datang jelang siang, dan jelang magrib sudah diminta siap geser kembali ke hotel (model/program tanazul) dan tidak menginap di Muzdalifah dan Mina.
Kebijakan ini menjadi aneh ketika sesaat sebelum Armuzna, keluar Surat 151/PPIH-AS/6/2024 tentang pembatalan Program Tanazul bagi Jamaah Haji Indonesia dari PPIH Kemenag RI di Arab Saudi. Program Tanazul yang semula bermaksud mengurangi kepadatan jamaah di Mina tiba-tiba dibatalkan sehingga menambah keruwetan layanan haji karena semua jamaah haji mabit di Mina padahal kapasitas tenda Mina sangat terbatas.
Seperti di sektor 9 dibuat kebijakan yang berbeda dengan surat edaran karena melaksanakan program tanazul (berbeda dengan surat 151 PPIH Arab Saudi) langsung pulang ke hotel di Makkah dari Arafah. Siapakah yang mengambil kebijakan lokal sektor 9 ini patut dipertanyakan karena berbeda dengan instruksi surat PPIH nomor 151 diatas. Apakah pihak syarikah atau kah pihak sektor 9 yang mengambil kebijakan sepihak tersebut. Bahkan sesampainya di hotel, jamaah sektor 9 tidak dilayani untuk transportasi lempar jumrah (para jamaah menyewa taksi ke jamarat/tempat lempar jumrah). Juga tidak difasilitasi makan selama 4 hari dengan alasan yang tidak jelas sehingga jamaah mencari sendiri untuk kebutuhan makan mereka.
Petugas Haji ; Semua Diluar Bimtek dan Butuh Adaptasi
Dengan semrawutnya sejak penataan layanan jamaah oleh 8 syarikah, maka yang kebingungan juga terjadi pada para petugas haji Indonesia (Pembimbing Ibadah dan tenaga kesehatan). Mereka dibentuk untuk melayani jamaah dalam 1 kloter, sementara akomodasi jamaah terpisah di banyak hotel yg lokasinya berjauhan.
Di satu sisi, otoritas Arab Saudi melarang petugas kesehatan haji membuka semacam pelayanan klinik di lobby hotel. Jika ada yang sakit, ororitas Arab Saudi meminta dibawa ke Rumah Sakit terdekat. Padahal layanan sakit ringan seperti batuk, pilek, demam bisa ditangani oleh dokter dan perawat di hotel masing-masing. Akhirnya pelayanan kesehatan dilakukan “door” to “door” dengan 2 tenaga kesehatan melayani 400 jamaah di lokasi hotel yang berbeda-beda.
Belum lagi pembimbing Ibadah baik yang berasal dari kemenag maupun dari KBIHU dengan terpisahnya dengan jamaah juga tidak bisa melakukan bimbingan ibadah secara maksimal.
Yang paling menyusahkan adalah jamaah yang terpisah dan sudah tua hilang dari rombongan, mencari kesana kemari, adalah tugas tambahan/ pekerjaan yang sangat melelahkan. Termasuk ketika jalan kaki dari Muzdalifah ke Mina, banyak petugas haji menjadi “kuli” angkut barang bawaan jamaah khususnya yang sudah tua.
Apa yang terjadi di Arab Saudi jauh dari gambaran seperti yang di-bimtek-kan (dilatihkan) di Indonesia. Semua butuh adaptasi cepat. Demikian komentar para petugas haji Indonesia.
Pemulangan Jamaah dan Pengembalian Paspor
Saat tulisan ini dibuat, jamaah haji Indonesia belum ada yg pulang ke Indonesia, namun sudah tersebar informasi bahwa paspor jamaah banyak yang ketlisut dan diganti dengan surat ganti paspor untuk digunakan dalam perjalanan pulang ke Indonesia.
Kalau informasi ini benar adanya, maka jamaah juga akan banyak yang kehilangan paspor karena ruwetnya layanan jamaah sejak kedatangan awal di Arab Saudi. Paspor diminta syarikah saat mau turun dari Bus pengantar dari Bandara ke Makkah dan dikembalikan saat akan pulang ke Indonesia.
Penunjukan 8 Syarikah Karena Biaya Murah?
Presiden Prabowo sejak awal mencanangkan haji dengan biaya murah. Tentu hal ini disambut antusias oleh rakyat Indonesia. Atas arahan ini, Kemenag kemudian menyepakati untuk melakukan penunjukan pihak swasta (8 Syarikah, tahun sebelumnya cuma 1 syarikah) di Arab Saudi untuk melayani jamaah haji indonesia tahun 2025 dari 40 an syarikah yang mengajukan proposal kepada Kemenag RI.
Ada sebuah selentingan yang banyak beredar, karena kebijakan layanan murah inilah yang menjadi titik awal semrawutnya layanan haji tahun 2025.
Tentu maksud baik dengan layanan murah itu tentunya dengan standar kualitas yg tidak murahan. Sering terdengar fasilitas yang diberikan syarikah berbeda-beda antara 1 syarikah dengan lainnya, misalnya ada syarikah yang membagikan payung, kipas angin portable, tempat air minum lipat dan ada yang tidak membagikannya. Layanan transportasi saat Armuzna juga berbeda antar syarikah. Ada yang sat set, ada yang busnya terlambat.
Pertanyaannya apakah Kemenag tidak menyusun standardisasi model layanan haji reguler saat melakukan penunjukan langsung 8 syarikah.
Sekali lagi, jamaah yang dirugikan jika layanan tidak setara karena merasa membayar dengan nilai yang sama kepada Pemerintah.
Tentunya semua berharap layanan haji meningkat dari waktu ke waktu dan mendapatkan kemabruran sehingga layanan tahun 2025 ini (yang konon layanan terburuk dalam 21 tahun terakhir versi salah satu KBIHU di Jawa Timur) bisa menjadi evaluasi para pihak, khususnya BPH yang akan diberikan amanat untuk mengelola haji mulai tahun 2026.
Waalahu A’lam…