Usut Kasus Korupsi di Kemnaker, KPK Gunakan Pasal Gratifikasi

Foto : Istimewa
JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menerapkan pasal gratifikasi untuk menjerat delapan tersangka dalam kasus korupsi pengurusan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan.
Pelaksana Harian (Plh) Direktur Penyidikan KPK Budi Sukmo Wibowo mengatakan pasal tersebut digunakan sebagai alternatif bila penyidik tidak menemukan alat bukti pemerasan yang cukup untuk menjerat delapan tersangka itu. “Misalnya kami tidak mendapatkan alat bukti yang kuat sehingga kemarin dari diskusi dengan teman-teman penuntutan kami lapiskan pasal gratifikasi,” ucap Budi di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis, 5 Juni 2025.
Selain itu, KPK juga masih mendalami dugaan keterlibatan para pimpinan di Kementerian Ketenagakerjaan dalam kasus ini. Budi mengatakan pendalaman itu agar bisa memenuhi pasal gratifikasi yang akan menjerat para tersangka. “Sehinga nanti kalau bisa sampai ke level paling tinggi di kementerian tersebut bisa mencakup unsur-unsur pasal yang dikenakan,” kata dia.
KPK juga akan menerapkan pasal lain dalam kasus pemerasan terhadap agen tenaga kerja asing ini, yakni tindak pidana pencucian uang atau TPPU. “Karena praktik ini sudah berlangsung sejak 2012 sehingga kami akan lebih mudah apabila nanti kami melakukan asset recovery melalui TPPU terhadap para oknum-oknum yang melaksanakan praktik pemerasan di Kemnaker,” ucap Budi.
Berdasarkan hasil penyidikan, Budi menyatakan ada indikasi praktik gratifikasi di lingkungan Kemnaker. Praktik itu terjadi secara berjenjang dari posisi staf hingga pimpinan di Kemnaker. “Sedang kami perdalam dalam proses penyidikan,” kata dia.
KPK bakal memanggil dua mantan Menteri Ketenagakerjaan untuk mengonfirmasi dugaan gratifikasi ini. Kedua mantan menteri itu yakni Hanif Dhakiri (periode 2014–2019) dan Ida Fauziyah (periode 2019–2024). Mereka akan dimintai keterangan ihwal dugaan pemerasan RPTKA di Kementerian Ketenagakerjaan pada rentang waktu 2019 hingga 2023. “Tentunya pasti akan kami klarifikasi terhadap beliau-beliau mengenai praktik yang ada di bawahnya,” kata dia.
Adapun dugaan pemerasan ini terjadi di lingkungan Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK).
Menurut Budi, secara manajerial, menteri bertanggung jawab mengawasi bawahannya. KPK juga akan meminta klarifikasi apakah praktik pemerasan tenaga kerja asing tersebut dilakukan dengan sepengetahuan menteri.
Klarifikasi tersebut penting agar upaya pencegahan ke depan dapat berjalan menyeluruh, mulai dari pimpinan tertinggi hingga level jajaran di bawahnya. “Nah, apakah ini nanti indikatornya bagaimana? Akan kami cross check lagi, akan kita klarifikasi dengan alat-alat bukti yang kami temukan dalam proses penyidikan,” ucap Budi.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan delapan tersangka di antaranya berinisial SH, HYT, WP, DA, GTW, PCW, JMS, dan ALF. Delapan tersangka tersebut diduga menerima hasil pemerasan terhadap agen tenaga kerja asing.
KPK menyatakan pemerasan oleh pihak Kemnaker terhadap para agen TKA sudah berlangsung sejak 2019 dan hasil perhitungan sementara, uang yang dikumpulkan dari hasil tindak pidana ini sekitar Rp 53 miliar.