Pola Asuh dan Masa Depan Bangsa: Jangan Anggap Sepele Peran Keluarga

ARSO 06 Jul 2025 Opini
Pola Asuh dan Masa Depan Bangsa: Jangan Anggap Sepele Peran Keluarga

Oleh: Sitti Romlah M.Pd

Penulis adalah Dosen Al-Mujtamak

Pendidikan anak usia dini sering disebut sebagai pondasi emas pembangunan bangsa. Namun sebelum anak memasuki lembaga pendidikan formal, rumah tangga adalah sekolah pertama, dan orang tua adalah guru utama. Pola asuh dalam keluarga menjadi titik awal pembentukan karakter anak, yang pada gilirannya akan menentukan masa depan bangsa.

Sayangnya, di tengah arus modernisasi dan perkembangan teknologi, masih banyak yang menganggap remeh peran keluarga dalam mendidik anak. Padahal, keluarga adalah tempat pertama anak mengenal nilai-nilai kehidupan, moral, dan etika.

Mengapa Pola Asuh Penting?

Pola asuh bukan hanya memberi makan, pakaian, atau tempat tinggal, melainkan bagaimana orang tua mendidik, membimbing, dan menjadi teladan bagi anak. Pola asuh yang baik, penuh kasih sayang, dan konsisten dapat membentuk anak yang percaya diri, berkarakter, dan mampu bersosialisasi dengan baik. Sebaliknya, pola asuh yang salah — otoriter, permisif, atau bahkan abai — dapat melahirkan anak yang labil, agresif, atau kehilangan arah.

Di era digital, banyak orang tua tanpa sadar menyerahkan pengasuhan anak kepada gawai. Layar gawai menjadi teman utama anak, menggantikan kehangatan interaksi dengan orang tua. Sementara itu, tekanan ekonomi membuat sebagian orang tua sibuk bekerja, hingga waktu untuk mendidik anak menjadi sangat terbatas.

Generasi masa depan bangsa lahir dari keluarga. Karakter seperti kejujuran, tanggung jawab, disiplin, empati, dan gotong royong tidak muncul begitu saja di bangku sekolah. Nilai-nilai itu tumbuh subur dalam asuhan keluarga.

Kita sering prihatin menyaksikan fenomena degradasi moral, meningkatnya perundungan, kekerasan remaja, hingga penyalahgunaan narkoba. Banyak dari persoalan ini berakar pada pola asuh yang salah atau kurangnya perhatian orang tua. Oleh karena itu, membangun bangsa tak cukup hanya dengan memperbaiki sistem pendidikan formal. Pembangunan bangsa harus dimulai dari pembangunan keluarga.

Pembangunan bangsa sering dikaitkan dengan infrastruktur, ekonomi, atau teknologi. Padahal, membangun keluarga yang mendidik, harmonis, dan penuh kasih sayang adalah bentuk pembangunan yang jauh lebih strategis.

Negara harus hadir mendukung peran keluarga, dengan kebijakan ramah keluarga seperti cuti melahirkan yang cukup, pendidikan parenting, dan program pemberdayaan keluarga. Sekolah harus menjalin kemitraan dengan keluarga, agar pendidikan anak tidak hanya dibebankan pada lembaga formal.

Di sisi lain, media massa dan digital juga perlu berperan dalam menyebarkan konten yang mendidik keluarga. Jangan biarkan media justru menjadi sumber polusi nilai bagi anak-anak kita.

Tantangan terbesar kita hari ini adalah mengembalikan kesadaran orang tua akan pentingnya pola asuh yang baik. Era digital memang memberi banyak peluang, tapi juga membawa ancaman bagi pola pengasuhan. Orang tua harus cerdas memanfaatkan teknologi, bukan menyerah pada arusnya.

Harapannya, kita semua — orang tua, pendidik, masyarakat, dan negara — bahu-membahu menjadikan keluarga sebagai pusat pendidikan karakter anak. Karena sejatinya, mendidik anak bukan sekadar tugas pribadi, tetapi tanggung jawab sosial yang akan menentukan kualitas bangsa ini di masa depan.

Sebagaimana ungkapan bijak, “Al-ummu madrasatun idza a‘dadtaha a‘dadt sha‘ban thayyiban al-a‘raq” — seorang ibu adalah sekolah; jika engkau mempersiapkannya dengan baik, engkau mempersiapkan bangsa yang baik pula akarnya.

Jangan anggap sepele peran keluarga dalam mendidik anak. Keluarga adalah fondasi utama yang menentukan masa depan bangsa. Setiap orang tua, setiap rumah tangga, adalah pilar pembangunan moral generasi penerus. Masa depan bangsa ini bukan ditentukan di gedung-gedung tinggi atau ruang-ruang rapat, tetapi dimulai dari ruang-ruang kecil di rumah kita, dari pelukan hangat, kata-kata bijak, dan teladan hidup orang tua kepada anak-anaknya.