DPR: Sederhanakan Sistem, UU Ciptaker Integrasikan Izin Lingkungan Jadi Perizinan Berusaha

Ahli Pemohon Muhamad Ramdan Andri Gunawan Wibisana saat menyampaikan keterangan pada sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja
JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Undang-Undang Cipta Kerja menyederhanakan proses perizinan dengan mengintegrasikan izin lingkungan ke perizinan berusaha. Penyederhanaan ini diharapkan dapat meringkas sistem perizinan dan memperkuat penegakan hukum. Demikian keterangan DPR RI yang disampaikan oleh Anggota Komisi III Hinca I.P. Pandjaitan XIII dalam sidang lanjutan dari uji materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang Undang (UU Cipta Kerja) pada Kamis (18/9/2025). Sidang keenam dari permohonan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang mengajukan uji materiil Pasal 13 Huruf B, Pasal 22 Angka 1, Pasal 22 Angka 3, Pasal 22 Angka 5, Pasal 22 Angka 8, Pasal 22 Angka 9, Pasal 22 Angka 10, Pasal 22 Angka 14, Pasal 22 Angka 15, Pasal 22 Angka 16, Pasal 22 Angka 17, Pasal 22 Angka 18, Pasal 22 Angka 28 UU Cipta Kerja ini beragendakan mendengarkan keterangan DPR RI dan Ahli dari Pemohon.
Hinca melanjutkan, dengan diintegrasikannya ketentuan ini, apabila terjadi pelanggaran dalam standar dan pengelolaan lingkungan, maka yang akan terkena konsekuensi berupa perizinan berusaha. Integrasi persetujuan lingkungan ke perizinan berusaha ini sejatinya memperkuat perlindungan karena jika terjadi pelanggaran, yang dicabut bukan hanya persetujuan lingkungan tetapi keseluruhan izin berusahanya.
DPR RI menegaskan bahwa jaminan kepastian merupakan prasyarat utama untuk melakukan kegiatan usaha. Dalam konteks ini, perizinan menjadi pintu masuk untuk meyakinkan pelaku usaha, bahwa modal yang ditanam akan tumbuh dan berkembang dalam lingkungan usaha yang kondusif. Dengan kondisi ideal, pelaku usaha akan memperoleh layanan mudah, efisien, dan tanpa mengorbankan keselamatan lingkungan serta proteksi sosial yang menjadi bagian penting perekenomian.
Kemudian Hinca menambahkan sebelum adanya UU Cipta Kerja ini, pencabutan izin lingkungan tidak otomatis mencabut izin usaha, sehingga kegiatan tetap berlangsung meski melanggar aturan lingkungan. Sistem baru ini memastikan pelanggaran lingkungan langsung berdampak pada kelangsungan usaha. Norma ini menegaskan bahwa aturan yang kuat bagi pelaku usaha.
“Dengan demikian, perubahan izin lingkungan jadi persetujuan lingkungan merupakan penyempurnaan sistem perizinan yang memperkuat dan bukan melemahkan perlindungan lingkungan hidup,” jelas Hinca.
Masyarakat yang Terdampak Langsung
Selanjutnya DPR memberikan keterangan tentang keberadaan Pasal 26 ayat (2) UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan perubahannnnya ini, memperjelas kata “masyarakat” sebagai pihak yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan. Hal ini ditujukan agar masyarakat yang ada di sekitar area yang akan dilakukan suatu usaha tersebut, lebih aktif berpartisipasi dalam penyusunan amdal, karena masyarakat tersebut memahami lingkungan dan dampak dari usaha tersebut.
Dijelaskan bahwa pengaturan lebih lanjut atas pelibatan masyarakat dalam penyusunan amdal termuat dalam Pasal 28 s.d. Pasal 34 PP 22/2021. Norma ini, menurut DPR semakin memperkuat hak konstitusional yang memastikan masyarakat terdampak langsung mendapat prioritas dalam proses partisipasi. Hal ini selaras dengan asas kepastian hukum dan kemanfaatan yang diatur Pasal 10 UU 30/2014. SelaIn itu, jelas Hinca, ketentuan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tetap dijamin melalui mekanisme amdal yang komprehensif dengan melibatkan tim uji kelayakan yang memiliki kompetensi teknis.
Dalam hal ini, Hinca menjabarkan bahwa partisipasi masyarakat harus dimaknai secara proporsional, bukan berarti semakin banyak pihak terlibat semakin baik. Prisnip efektifitas dan efisiensi dalam tata kelola pemerintahan, mengharuskan keterlibatan pihak yang memiliki kepentingan langsung dan relevan. Dalam konteks amdal, masyarakat terdampak langsung memiliki kepentingan hukum yang jelas dan terukur, berbeda dengan pihak lain yang bersifat abstrak atau tidak langsung. Pengaturan ini tidak mengabaikan partisipasi aktor lain, melainkan sebagai bentuk pengaturan yang didasarkan pada keberimbangan antara efektifitas perlindungan lingkungan dan kepastian proses perizinan usaha.
“Norma a quo juga masih memberi ruang keterlibatan pemerhati lingkungan, LSM, dan akdemisi sebagai mana diatur dalam Pasal 29 ayat 2 PP 22/2022, dengan syarat telah membina atau mendampingi masyarakat terdampak langsung. Hal ini menunjukkan partisipasi mereka tidak diharus mutlak, melainkan dialihkan mekanismenya dalam kerangka yang lebih terstruktur dan kontekstual. Bahwa frasa masyarakat yang terkena dampak langsung, bukan pembatasan absolut karena masyarakat luas masih memiliki kanal partisipasi lain, seperti forum keberatan, konsultasi publik nonformal, dan gugatan administratif,” terang Hinca.
Kebingungan Pemerintah
Dalam sidang tersebut, Pemohon menghadirkan Muhamad Ramdan Andri Gunawan Wibisana dari Universitas Indonesia sebagai Ahli. Ramdan mengatakan bahwa dalam UU Cipta Kerja tidak ada satu pasal yang menyatakan persetujuan lingkungan dapat digugat, karena hal yang bisa digugat dari naskah akademik adalah perizinan berusaha.
“Jadi ini yang melahirkan kebingungan, sebab penyelamatannya bukan oleh Pemerintah, bukan PP, atau PerMen, tetapi PerMA 1/2023 yang menjelaskan persetujuan lingkungan adalah objek sengketa TUN. Artinya, Pemerintah tidak menjelaskan di dalam PP. Bahwa apakah perizinan berusaha, persetujuan lingkungan, merupakan bagian dari perizinan berusaha? Sehingga yang bisa dicabut sekarang adalah perizinan berusaha, ada dua PP yang diturunkan dari UU Cipta Kerja yakni PP 22/2021 dan PP 27/2025 tentang perlindungan mangrove,” urai Ramdan.
Dijelaskan bahwa hal ini terlihat adanya kebingungan Pemerintah menerjemahkan dalam PP 22/2021 yang menyatakan pencabutan atau sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan perizinan berusaha yang termuat juga dalam UU Cipta Kerja dan bukan terkait dengan persetujuan lingkungan. Bahkan PP 22/2021 ini membuat sebuah nomenklatur baru yang tidak dikenal dalam UU Cipta Kerja yang dinamakan perizinan berusaha terkait persetujuan lingkungan.
“Kenapa ini perlu? Ini inovasi dari KLH karena jika dilihat undang-undangnya saja yang diawasi oleh Pemerintah berupa ketaatan terhadap dua hal, yakni peraturan perundang-undangan dan perizinan berusaha, jadi bukan terhadap persetujuan lingkungan. Apabila terjadi pelanggaran akan diberi sanksi dan ini yang kemudian diubah oleh PP 22/2021 yang menyatakan, hal yang diawasi adalah ketaatan terhadap perizinan berusaha terkait persetujuan lingkungan. Pelanggaran semacam ini bisa diberikan sanksi, sementara pencabutan atau pembekuan menurut undang-undangnya yang dibekukan adalah perizinan berusaha,” jelas Ramdan.
Keluarkan dari Konstruksi UU Cipta Kerja
Dalam pendapat Ahli diungkapkan juga bahwa UU Cipta Kerja telah melakukan perubahan terhadap beberapa konsep di dalam UU PPLH. Pertama, UU Cipta Kerja melakukan perubahan terhadap prosedur penyusunan dan fungsi dari Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Kedua, UU Cipta Kerja melakukan pengurangan definisi dan peran dari masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam proses penyusunan dan penilaian Amdal.
Ketiga, UU Cipta Kerja menghapuskan izin lingkungan. Keempat, UU Cipta Kerja mengubah ketentuan mengenai pengawasan dan sanksi administratif. Kelima, UU Cipta Kerja mengubah jenis dan fungsi dari sanksi pidana. Keenam, Naskah Akademik UU Cipta Kerja dan aturan turunannya (PP Nomor 22 Tahun 2021) menghapuskan tanggung jawab mutlak (strict liability).
“Satu-satunya hal yang benar dari UU Cipta Kerja ini adalah diperkenalkannya denda administratif sebagai salah satu bentuk sanksi administratif. Dan hanya itu saja kelemahan dari UU 32/2009. Selebihnya, ketentuan UU PPLH ini perlu dikeluarkan dari konstruksi UU Cipta Kerja,” tegas Ramdan.
Dalam sidang sebelumnya, Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia sebagai Pemohon mendalilkan bahwa UU Cipta Kerja telah mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Dengan adanya kelonggaran persyaratan lingkungan hidup bagi pelaku usaha dalam UU Cipta Kerja tersebut, berpotensi menimbulkan eksternalitas negatif yang mengancam keadilan bagi generasi mendatang.
Utamanya dalam hal pencemaran kerusakan lingkungan hidup yang terus terjadi dalam berbagai proyek pembangunan industri dan infrastruktur. UU Cipta Kerja tersebut justru mendegradasi izin lingkungan menjadi Persetujuan Lingkungan sebagai syarat perizinan berusaha, dan tidak mewajibkan semua kegiatan berusaha mendapatkan “izin”, tergantung pada risiko yang prasyaratnya tidak memiliki penjelasan untuk menjawab persoalan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Akibatnya Pemohon tidak mendapatkan jaminan kepastian hukum, partisipasi publik, informasi publik, lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam konteks lingkungan hidup.
Menurut Pemohon, sejatinya salah satu peran negara pada dasarnya, yakni memberikan kewenangan pengelolaan sumber daya alam melalui instrumen perizinan untuk memberikan kepastian hukum kepada setiap warga negaranya. Dengan catatan hal tersebut dilandaskan pada ketentuan perundang-undangan dengan memperhatikan aspek-aspek perlindungan dalam kerangka pengelolaan dan pemanfaatan berkelanjutan yang adil bagi antargenerasi.(*)