Jejak Arang: Ketika Garis Hitam Menyuarakan Kejujuran Jiwa
BATU, KANALINDONESIA.COM: Hitam. Kasar. Namun juga rapuh. Arang, benda sederhana yang sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, menjadi medium utama dalam sebuah pameran seni rupa di Galeri Raos, Kota Batu.
Pameran ini bertajuk “Jejak Arang” dan menampilkan karya dari delapan belas seniman dari Pondok Seni Batu.
Mereka menggunakan arang sebagai bahasa visual untuk mengungkap kejujuran tert dalam diri mereka.
Di tengah kehidupan modern yang cukup sibuk, seni sering kali dianggap hanya sebagai karya indah untuk ditonton.
Namun, melalui “Jejak Arang”, seni kembali pada intinya: kebutuhan jiwa. Setiap garis yang digoreskan dengan arang bukan hanya menciptakan bentuk, tetapi juga menceritakan sesuatu—seperti perasaan, pengalaman pribadi, hingga refleksi sosial.
Menurut Gusbhandi (55), salah satu seniman yang terlibat, pameran ini lebih menekankan prosesnya daripada hasil akhirnya.
Dengan arang, seniman bisa menemukan kembali kejujuran dalam ekspresi mereka.
Bagi para seniman, menggambar dengan arang seperti melakukan meditasi.
Tekstur hitam-putih yang kontras membuka ruang bagi pikiran yang bebas. Ada ketegangan, ada kesederhanaan, tetapi juga keintiman yang sulit terungkap melalui medium lain.
Secara psikologis, arang memberikan efek menenangkan, membantu fokus, bahkan menghadirkan kesadaran baru bagi para kreator.
Delapan belas seniman yang terlibat—di antaranya Anwar, A. Rokhim, Agus Sujito, Agus Riyanto, Badrie, Djoeari Soedarbja, Gusbhandi Harjito, M. Imron Fartoni, Watoni, Slamet Hendro Kusumo, Sireng, Sudiono, Yuswianto, Rianto, Priwahyuono, Sugeng Pribadi, Syaiku, dan Soeid—tidak hanya memperlihatkan karya visual, tetapi juga menjalin dialog diam dengan penikmatnya.
Di depan setiap goresan arang, pengunjung seolah diajak mendengar suara yang tidak diucapkan dalam kata, tetapi dituangkan dalam garis hitam.
Pameran “Jejak Arang” lebih dari sekadar ajang seni.
Ini adalah ruang untuk berpikir, tempat publik bisa merasakan bagaimana energi sederhana dari arang bisa menjadi medium komunikasi yang universal.
Seni, akhirnya, bukan hanya tentang keindahan—melainkan jembatan yang menghubungkan manusia dengan dirinya sendiri dan dengan sesama.
“Jejak arang menggambarkan karya seni yang setelah dipamerkan langsung hilang.
Karya ini juga mencerminkan kondisi saat ini, yaitu efisiensi anggaran,” katanya.
Pameran “Jejak Arang” akan dimulai 20 September hingga 30 September 2025, dari pagi hingga pukul 21.30 WIB.(Bowo)














