Komdigi: Larangan Ungkap Data Pribadi Tak Menutup Ruang Kerja Jurnalis, Akademis, Pegiat Seni

ARSO 24 Sep 2025 KANAL NASIONAL
Komdigi: Larangan Ungkap Data Pribadi Tak Menutup Ruang Kerja Jurnalis, Akademis, Pegiat Seni

istimewa

JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital Alexander Sabar mengatakan norma Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) tidak dimaksudkan untuk menutup ruang bagi masyarakat, jurnalis, akademisi, maupun pegiat seni dalam menjalankan peran, fungsi, atau tugasnya, melainkan untuk memastikan setiap pengungkapan data pribadi dilakukan sesuai hukum, termasuk memiliki dasar pemrosesan yang sah (legal basis) dan tetap memenuhi prinsip-prinsip perlindungan data pribadi sebagaimana diatur UU PDP. Hal tersebut disampaikan Alexander dalam sidang Perkara Nomor 135/PUU-XXIII/2025 dan 137/PUU-XXIII/2025 mengenai UU PDP pada Senin (23/9/2025).

“Usulan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum menempatkan kerja jurnalistik, akademik, kesenian, dan kesusastraan secara istimewa tanpa mekanisme pengawasan serta berpotensi membuka ruang bebas bagi pengungkapan data pribadi yang sangat sensitif seperti data kesehatan, biometrik, genetika, dan keuangan,” ujar Alexander dalam sidang dengan agenda Mendengar Keterangan DPR dan Presiden di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

Pemohon Perkara Nomor 135/PUU-XXIII/2025 diajukan Pengajar Prof Masduki, Ilustrator/Pembuat Karikatur Amry Al Mursalaat, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, serta Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) yang tergabung dalam Koalisi masyarakat sipil Kebebasan Informasi dan Data Pribadi (SIKAP). Menurut para Pemohon, Pasal 65 ayat (2) juncto Pasal 67 ayat (2) UU PDP membuka tafsir yang luas dan tidak ketat yang memungkinkan hak-hak konstitusional para Pemohon terancam karena tugas-tugas pekerjaannya kerap kali melibatkan pengungkapan data pribadi guna pemenuhan hak atas informasi publik.

Pasal 65 ayat (2) UU PDP berbunyi, “Setiap orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya.” Pasal 67 ayat (2) UU PDP berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)”.

Sementara, Alexander mengatakan keberadaan ketentuan pidana dalam Pasal 67 ayat (2) UU PDP menjadi instrumen untuk menegakkan akuntabilitas pemrosesan data pribadi, bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi atau hak atas informasi publik. Hak atas informasi publik sebagaimana dijamin Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) telah diatur secara khusus dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang tetap berlaku dan saling melengkapi dengan UU PDP sehingga tidak ada pertentangan antara data perlindungan data pribadi dan hak publik atas informasi.

Meskipun Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) UU PDP tidak mencantumkan pengecualian secara eksplisit, hal ini bukan berarti tidak ada perlindungan bagi kerja-kerja jurnalistik dalam pelaksanaan kerjanya mengungkapkan data pribadi milik orang lain. Apabila dalam kerja jurnalistik insan pers mengungkapkan data pribadi, maka legalitas atau keabsahan pengungkapan tersebut perlu dianalisis dari aspek pemenuhan prinsip-prinsip pemrosesan data pribadi sebagaimana diatur Pasal 16 ayat (2) UU PDP dan dasar pemrosesan data pribadi sebagaimana diatur Pasal 20 UU PDP.

Menurut Alexander, ketentuan Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 20 UU PDP sejalan dengan UU Pers yang sebagiannya mengatur mengenai hak tolak, hak jawab, hak koreksi, kewajiban koreksi, serta perlindungan hukum bagi wartawan dalam melaksanakan profesinya. Kekhawatiran akan kriminalisasi menjadi tidak relevan karena sudah ada kerangka hukum yang jelas dan hierarki yang melindungi jurnalis.

Dalam hal para jurnalis memenuhi prinsip pemrosesan data pribadi dalam Pasal 16 ayat (2) UU PDP maupun memiliki dasar pemrosesan data pribadi sebagaimana Pasal 20 UU PDP, tentunya pengungkapan data pribadi milik orang lain dalam kerja jurnalistik tersebut tidak akan menjadi masalah dan bukanlah perbuatan melawan hukum. Karena itu, ketentuan yang diuji Pemohon tidak mendiskriminasi pekera dan kerja jurnalistik yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dampak apabila permohonan dikabulkan justru membuat pasal a quo inkonstitusional dan berbahaya bagi demokrasi. Tanpa ada unsur melawan hukum, semua bentuk pengungakapan menjadi dilarang, kecuali kedua kondisi yang diusulkan Pemohon. Padahal ada peraturan perundang-undangan yang memberikan hak atau kewenangan untuk mengungkapkan data pribadi.

Sedangkan, Pemohon Perkara Nomor 137/PUU-XXIII/2025 diajukan dosen ilmu hukum sekaligus advokat Rega Felix terkait pengujian Pasal 56 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU PDP. Menurutnya, pasal tersebut sama sekali tidak menempatkan kedaulatan rakyat sebagai pemilik kedaulatan data pribadi yang sejati, seolah-olah persoalan transfer data pribadi hanya dianggap sebagai persoalan teknis yang tidak berdampak jauh pada kehidupan rakyat.

Permohonan ini menyusul adanya kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat mengenai transfer data pribadi warga negara sebagai bagian dari perjanjian perdagangan timbal balik. Pemohon menilai kesepakatan mengenai transfer data pribadi dari Indonesia ke Amerika Serikat (AS) tanpa ada mekanisme persetujuan rakyat berdampak signifikan terhadap kerugian hak konstitusional Pemohon sebagaimana diamanatkan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Namun, Anggota Komisi III DPR RI Abdullah yang hadir secara daring dalam sidang yang sama mengatakan DPR melalui Komisi I telah menekankan kepada pemerintah agar pertukaran data pribadi rakyat Indonesia ke Amerika Serikat dilaksanakan dengan memperhatikan dan memenuhi ketentuan yang ada dalam UU PDP dan  hak konstitusional yang dijamin Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Dia menegaskan pembentuk undang-undang pun telah memberikan perhatian dalam penyusunan UU a quo terkait kesetaraan pengaturan perlindungan data pribadi.

“Dalam pertukaran data pribadi pemerintah harus memastikan adanya perlindungan data pribadi yang mumpuni kepada negara yang bekerja sama dalam hal pertukaran data pribadi tersebut,” tutur Abdullah.(*)