Pemerintah: UU Tipikor, Instrumen Kunci Pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945

Asep Nana Mulyana Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum mewakili pemerintah memberikan keterangan pada sidang pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Selasa (09/09) di Ruang Sidang MK. (Humas MKRI)
JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Prinsip penguasaan negara pada Pasal 33 UUD 1945 tak sekadar hak untuk menguasai, namun juga kewajiban untuk mengelolanya secara bertanggung jawab dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) ini menjadi instrumen kunci untuk menegakkan kewajiban ini dari berbagai modus operandi tindak pidana korupsi terselubung yang menggunakan instrumen pelanggaran dalam undang-undang sektoral lainnya.
Keterangan tersebut disampaikan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Asep Nana Mulyana dalam sidang lanjutan uji materiil Pasal 14 UU Tipikor terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Selasa (9/9/2025). Sidang keempat Perkara Nomor 123/PUU-XXIII/2025 ini beragendakan mendengarkan keterangan DPR RI dan Pemerintah/Presiden yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang MK.
“Tindak pidana korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam adalah puncak ketidakadilan. Dengan memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya melalui Pasal 14 UU Tipikor, negara memastikan manfaat dari penguasaan sumber daya tersebut benar-benar kembali kepada rakyat dalam bentuk pembangunan, pajak, dan program sosial,” jelas Asep Nana.
Dikatakan bahwa Pasal 14 UU Tipikor dirancang dengan sejumlah mekanisme pengaman yang mencegah penyalahgunaan dan menjamin bahwa korupsi tetap ditangani sebagai extraordinary crime. Berlakunya ketentuan UU Tipikor terhadap setiap orang yang melakukan pelanggaran undang-undang sektoral lainnya tidak berlaku secara otomatis melainkan harus memenuhi dua syarat kumulatif, yakni pelanggaran terhadap UU Sektoral Tertentu yang harus terbukti telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan suatu undang-undang di luar UU Tipikor seperti UU Kehutanan, UU Perpajakan, UU Kepabeanan. Kemudian klausul eksplisit dalam UU Sektoral Tersebut berupa Undang-undang sektoral yang dilanggar tersebut harus secara tegas dan tertulis menyatakan pelanggaran terhadap ketentuan tertentu di dalamnya “merupakan tindak pidana korupsi”.
Mekanisme tersebut dilakukan untuk menjaga esensi korupsi sebagai extraordinary crime dengan dua acara. Pertama melalui selektivitas yang tinggi, bahwa tidak semua pelanggaran hukum pidana dapat dijadikan korupsi. Hanya pelanggaran terhadap undang-undang yang sangat spesifik dan oleh pembuat undang-undang dinilai sangat merugikan keuangan negara yang “dinaikkan” kualifikasinya menjadi korupsi. Hal ini, sambung Asep Nana, mencegah over-criminalization atau menjadikan semua pelanggaran sebagai korupsi. Kedua, konsistensi dengan tujuan pemberantasan korupsi dengan memberantas kejahatan yang sistemik dan masif merugikan keuangan negara.
“Maka Pasal 14 UU PTPK secara tepat menargetkan pelanggaran yang memang memiliki karakter demikian, seperti penyelundupan pajak dalam jumlah besar atau perusakan hutan/lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian negara luar biasa besarnya secara monetasi,” terang Asep Nana.
Implementasi Norma
Asep Nana juga menegaskan seharusnya yang dipermasalahkan oleh Pemohon terdapat pada tataran implementasi ketentuan Pasal 14 UU PTPK, yakni menyoal perbedaan pendapat di lembaga peradilan terkait dengan letak titik singgung suatu perkara dinyatakan sebagai pelanggaran UU Tindak Pidana Korupsi atau bukan inheren dengan belum semua undang-undang sektoral lainnya secara tegas menyebutkan pelanggaran atas ketentuan undang-undang sektoral tersebut sebagai tindak pidana korupsi.
Sedangkan secara aktual modus operandi, pelanggaran yang dilakukan terhadap undang-undang sektoral tersebut telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi dan menimbulkan kerugian negara. Oleh karena itu seharusnya yang menjadi diskursus dalam permohonan a quo mengenai frasa “secara tegas” dalam Pasal 14 UU PTPK yang harus dimaknai secara eksplisit dalam pengaturan undang-undang sektoral lainnya atau sekalipun modus operandinya masuk wilayah peraturan perundangan lain. Akan tetapi apabila unsur-unsur pasal tindak pidana korupsi telah terpenuhi, maka UU PTPK dapat diterapkan.
Dalam Sidang Pendahuluan yang digelar pada Jumat (1/8/2025) lalu, Deni Daniel selaku kuasa hukum dari Adelin Lis (Pemohon) menyampaikan pada kasus konkret menyebutkan Pemohon telah diputus bersalah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) Nomor 68 K/PID.SUS/2008. Dalam putusan tersebut, UU Tipikor diberlakukan terhadap Pemohon, kendati inti permasalahan dari pelanggaran Pemohon diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Pada norma tersebut tidak menyebutkan permasalahan Pemohon itu sebagai suatu tindak pidana korupsi. Fakta ini, sambung Deni, dapat diamati dari pertimbangan MARI tentang pemenuhan unsur Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang beririsan dengan UU Kehutanan.
Pada pertimbangan mengenai pemenuhan unsur “merugikan keuangan negara” didasarkan pada tindakan Pemohon sebagai Direktur Keuangan/Umum PT Keang Nam Development (PT KND). Pemohon tidak membayar kewajiban-kewajiban di sektor kehutanan, seperti Provisi Sumber Daya Hutan; Dana Reboisasi; dan Denda Administratif, sebagaimana dipertimbangkan dalam Putusan MARI Nomor 68 K/PID.SUS/2008. Bahwa pelanggaran sebagaimana yang diperbuat Pemohon tersebut telah diatur dalam UU Kehutanan dan tidak dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi. Oleh karenanya, tidak sepatutnya Pemohon dihukum menggunakan UU Tipikor.
Dijelaskan bahwa berdasarkan penerapan asas systematische specialiteit, Pasal 14 UU Tipikor mengatur kondisi jika suatu perbuatan materiil memenuhi kualifikasi tindak pidana dalam norma tersebut dan undang-undang lainnya, dan menentukan hal yang akan berlaku di antara keduanya. Secara teleologis, UU Tipikor dianggap lebih khusus dibanding pelanggaran dalam undang-undang lain, jika terdapat suatu klausul yang menyatakan pelanggaran dalam undang-undang lain sebagai tindak pidana korupsi. Untuk kemudahan penyebutan dalam permohonan ini, klausul tersebut akan disebut dengan “klausul jembatan”. Penafsiran teleologis ini menjadi sangat rasional untuk menjustifikasi keberadaan Pasal 14 UU Tipikor. Apabila undang-undang ini dapat diberlakukan terhadap pelanggaran yang diatur undang-undang lain tanpa mempertimbangkan ada tidaknya “klausul jembatan”, maka keberadaan pasal a quo menjadi nirfaedah dan tidak seyogianya dirumuskan.
Singkatnya, selain memuat ketidakpastian hukum secara inheren pasal a quo juga gagal untuk mencapai fungsi teleologisnya sebagai penerapan asas systematische specialiteit untuk memberikan kepastian hukum dalam penerapannya. Tidak adanya kepastian kapan undang-undang ini dapat diberlakukan, maka ia akan menghilangkan kepastian hukum bagi setiap warga masyarakat. Sebab undang-undang ini dapat diterapkan untuk setiap pelanggaran yang telah diatur dalam suatu undang-undang lain.(*)