Pemohon Minta Syarat Pendidikan Calon Anggota DPR Minimal S-1

JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Syarat pendidikan paling rendah SMA bagi calon anggota DPR/DPRD kembali diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, Nanda Yuniza Eviani (Pemohon I) dan Muhammad Rafli Nur Rahman (Pemohon II) sebagai perseorangan Warga Negara Indonesia merasa dirugikan hak konstitusionalnya untuk memperoleh kepastian hukum, perlindungan, serta jaminan akan hadirnya kualitas legislasi yang baik dan berkeadilan akibat berlakunya Pasal 240 Ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Pasal 240 Ayat (1) Huruf e UU Pemilu menyatakan, “Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:…; e. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat; …”
Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 162/PUU-XXIII/2025 ini dilaksanakan di MK pada Senin (22/9/2025). Sidang panel dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Kapasitas Intelektual
Muhammad Rafli Nur Rahman menyebutkan norma yang hanya mensyaratkan pendidikan paling rendah SMA bagi calon anggota DPR/DPRD, jelas tidak sepadan dengan kewenangan konstitusional lembaga legislatif yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Syarat pendidikan yang terlalu rendah tersebut tidak menjamin adanya kapasitas intelektual, kemampuan analitis, maupun kualitas legislasi yang memadai. Akibatnya, fungsi legislasi yang seharusnya melahirkan regulasi yang responsif, visioner, dan berpihak pada rakyat justru berpotensi menghasilkan produk hukum yang lemah, tumpang tindih, diskriminatif, dan abai terhadap kebutuhan masyarakat.
Di samping itu, para Pemohon menilai sebagai rakyat yang wajib tunduk pada setiap produk undang-undang, tidak memperoleh jaminan bahwa regulasi yang mengatur kehidupannya lahir dari proses legislasi yang dilakukan oleh wakil rakyat dengan standar kualitas yang tinggi. Sebaliknya, para Pemohon “dipaksa” menerima undang-undang yang bermutu rendah, yang langsung memengaruhi kehidupan mereka dalam aspek pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, hingga lingkungan hidup. Dengan kata lain, ketentuan Pasal 240 ayat (1) huruf e UU Pemilu telah membuka ruang bagi hadirnya parlemen dengan standar intelektualitas yang minimalis, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian serius bagi rakyat dan mereduksi makna sejati demokrasi konstitusional di Indonesia.
“Bila syarat legislator hanya dengan ijazah SMA, profesi yang hanya menafsirkan undang-undang seperti hakim, jaksa, advokat, wajib bergelar sarjana, sedangkan masuk akalkah jika pembentuk undang-undang justru cukup dengan lulusan sekolah menengah. Jika dibiarkan martabat Pasal 20 ayat (1) direndahkan, bahkan direduksi oleh ambang yang minimalis,” tegas Nanda Yuniza Eviani.
Bayang-Bayang UU yang Rapuh
Para Pemohon merasakan keresahan mendalam akibat maraknya produk legislasi DPR/DPRD yang bermasalah dan berulang kali dibatalkan oleh MK. Kondisi ini bukan sekadar kelemahan teknis, melainkan bukti nyata bahwa rakyat, termasuk para Pemohon, dipaksa hidup di bawah bayang-bayang undang-undang yang rapuh, tidak konsisten, dan gagal memberikan perlindungan. Hal ini mengakibatkan hak-hak dasar yang dijamin UUD 1945, seperti hak atas pendidikan yang layak, kesehatan yang terjangkau, lingkungan hidup yang baik, dan kesejahteraan sosial yang adil, justru terabaikan. Norma Pasal 240 ayat (1) huruf e UU Pemilu, yang hanya mensyaratkan pendidikan minimal SMA bagi calon anggota DPR/DPRD menjadi pangkal persoalan dalam hal turunnya standar parlemen menjadi sekadar arena popularitas dan transaksi politik, bukan ruang intelektualitas dan integritas.
Untuk itu, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 240 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai Pasal 240 huruf e “berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat”.
Kedudukan Hukum
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dalam nasihat Hakim Panel mengatakan pada bagian kedudukan hukum disebutkan para Pemohon sebagai WNI dan pemilih yang terdaftar di DPT, namun para Pemohon tidak menjelaskan secara rinci atas kedudukan hukum ini. “Kesimpulan dengan kedudukan hukum ini, benarkah Saudara memiliki legal standing dengan berlakunya pasal ini, merasa dirugikan hak konstitusionalnya?” tanya Hakim Konstitusi Ridwan.
Sementara Hakim Konstitusi Arsul Sani mengungkapkan bahwa pasal yang diujikan pernah diputuskan oleh MK dalam Putusan Nomor 154/PUU-XXIII/2025. “Harap dilihat apakah sama dan dipelajari landasan pengujiannya. Karena Mahkamah akan melihat semuanya, apakah sama dengan perkara lainnya sehingga semangatnya harus dilapis dengan riset yang lebih kuat,” jelas Hakim Konstitusi Arsul.
Berikutnya Wakil Ketua MK Saldi juga mencermati tentang legal standing para Pemohon. “Jika diperhatikan cara bekerjanya parleman di dunia, karena ini jabatan bergantung pada dukungan publik, jadi tidak pada kemampuan. Ini soal kepercayaan orang, jadi kerugian potensi dan spesifik itu apa dan belum kelihatan di permohonan ini. Lalu mengapa pasal ini bertentangan dengan UUD NRI 1945, belum ada penjelasannya,” terang Wakil Ketua MK Saldi.
Sebelum menutup sidang, Wakil Ketua MK Saldi mengatakan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 6 Oktober 2025 ke Kepaniteraan MK. Selanjutnya Mahkamah akan mengadendakan sidang kedua untuk mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan para Pemohon.