Prancis di Ujung Tanduk: Krisis Politik, Bayrou Tumbang dan Dilema Macron

Oleh : Akhmad Asyari Lc. MA.Hum
Penulis adalah Kandidat PhD – Mohamed bin Zayed University for Humanities
Peta politik Prancis kembali terguncang setelah Perdana Menteri François Bayrou dijatuhi mosi tidak percaya di Majelis Nasional pada Senin, 8 September 2025. Suara menentangnya mencapai 364, sementara hanya 194 mendukung—menandai pergantian perdana menteri kelima dalam kurun waktu kurang dari dua tahun. Fakta ini tidak hanya mencerminkan instabilitas politik, tetapi juga memperlihatkan erosi kapasitas eksekutif dalam sistem Republik Kelima.
Reaksi Oposisi: Dari Legitimasi hingga Ancaman Krisis Demokrasi
Oposisi kiri merayakan kejatuhan Bayrou sebagai kemenangan rakyat atas kebijakan austeritas Macron. Jean-Luc Mélenchon menyebutnya sebagai “kemenangan dan kelegaan rakyat,” sambil mendesak agar Macron turut mundur.
Sementara itu, Boris Vallaud (Partai Sosialis) menegaskan perlunya pemerintahan baru yang berbasis mayoritas legislatif demi governabilitas.
Di sisi lain, Marine Le Pen dari kubu sayap kanan menyerukan pembubaran Majelis Nasional agar rakyat kembali memilih, sembari menyatakan partainya siap memimpin. Tokoh konservatif Laurent Wauquiez menekankan pentingnya fiscal responsibility dan keadilan pajak untuk merespons keresahan kelas pekerja.
Bayrou: “Anda Bisa Jatuhkan Pemerintah, Tapi Tak Bisa Menghapus Kenyataan”
Dalam pidatonya menjelang mosi tidak percaya, Bayrou menegaskan:
“Anda mempunyai kekuatan untuk menjatuhkan pemerintah, tetapi Anda tidak memiliki kekuatan untuk menghapus kenyataan.”
Ia memperingatkan bahwa apa yang disebutnya sebagai “bencana utang” tidak bisa diabaikan begitu saja. Namun, oposisi justru menuduh Bayrou telah menyeret Prancis ke dalam “krisis demokrasi” karena memaksakan kebijakan tanpa legitimasi parlementer.
Krisis yang Terjaga: Politik, Ekonomi, dan Kepercayaan
Krisis politik ini berkelindan dengan rapuhnya situasi ekonomi. Defisit Prancis diperkirakan mencapai 5–6 persen dari PDB tahun ini, sementara utang publik menembus lebih dari 3,3 triliun euro. Pasar keuangan semakin resah dengan kemungkinan Prancis menjadi “negara tak terkelola.”
Setiap ketidakpastian politik segera diterjemahkan pasar dalam bentuk meningkatnya biaya pinjaman dan merosotnya kepercayaan investor. Risiko utama bukan hanya stagnasi ekonomi, melainkan juga memburuknya reputasi Prancis sebagai salah satu pilar utama zona euro.
Presidensialisme di Tengah Fragmentasi Parlemen
Krisis ini memperlihatkan paradoks Republik Kelima: presiden memiliki kewenangan signifikan, namun kemenangan institusionalnya sering terhambat oleh parlemen yang terfragmentasi pasca pemilu dini 2024.
Kolumnis Le Monde, Françoise Fressoz, bahkan menilai bahwa ketidakmampuan pemerintah meredam gejolak sosial—mulai dari gerakan “Yellow Vests” hingga protes pensiun 2023—semakin merongrong legitimasi sistem representatif Prancis.
Penutup: Ujian Terbesar Republik Kelima
Kejatuhan Bayrou bukan sekadar episode jatuh-bangunnya seorang perdana menteri, melainkan cerminan pola instabilitas struktural yang menghantui pemerintahan Macron. Tantangan terbesar kini bukan lagi soal siapa yang akan menggantikan Bayrou, melainkan bagaimana membangun basis legitimasi politik yang cukup kuat untuk menghadapi tekanan fiskal, sosial, dan geopolitik.
Jika Macron gagal menavigasi dilema ini, Prancis bisa menghadapi krisis ganda: krisis pemerintahan sekaligus krisis kepercayaan terhadap sistem politik Republik Kelima. Pertanyaan besar kini mengemuka: apakah model presidensial-parlementer Prancis masih mampu bertahan menghadapi realitas politik yang semakin terfragmentasi?
Empat skenario yang mungkin terjadi:
* Skenario A – Optimistis: Republik Kelima tetap bertahan. Macron mampu menjembatani fragmentasi politik melalui kompromi lintas partai, membentuk koalisi besar, dan menggeser arah pemerintahannya menjadi lebih inklusif.
* Skenario B – Pesimistis: Fragmentasi politik berlanjut tanpa ada kompromi signifikan. Krisis fiskal makin memburuk, instabilitas meningkat, dan kepercayaan publik terhadap institusi politik terkikis.
* Skenario C – Realistis-Pragmatis: Status quo bertahan. Macron tetap berkuasa, parlemen tetap buntu, dan krisis politik serta ekonomi berjalan berdampingan tanpa solusi jangka panjang yang jelas.
* Skenario D – Transformasional: Krisis ini menjadi momentum lahirnya wacana reformasi konstitusional. Republik Kelima bisa dipaksa melakukan penyesuaian mendasar, entah berupa pergeseran sistem pemerintahan atau penguatan parlemen untuk menyeimbangkan kekuasaan eksekutif.***