Ahli Pemerintah Sebut UU Tipikor Jadi Bridging Article dan Blanket Provision dalam Penegakan Hukum Tipikor

Ahli Pemerintah Sebut UU Tipikor Jadi Bridging Article dan Blanket Provision dalam Penegakan Hukum Tipikor

JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) merupakan ketentuan blanket provision yang merujuk pada undang-undang lain yang secara tegas menyatakan pelanggaran terhadap ketentuannya sebagai tindak pidana korupsi. Sehingga karakteristik dari norma ini memberikan fleksibilitas dalam penerapan hukum anti-korupsi.

Keterangan Ahli Presiden/Pemerintah tersebut disampaikan oleh Ahmad Redi dalam sidang lanjutan uji materiil Pasal 14 UU Tipikor terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UU Tipikor) pada Rabu (1/10/2025). Sidang keenam dari Perkara Nomor 123/PUU-XXIII/2025 ini beragendakan mendengarkan keterangan Ahli Presiden, yakni Ahmad Redi selaku pengajar Ilmu Hukum Universitas Borobudur Jakarta dan Vidya Prahassacitta selaku pengajar pada Business Law Universitas Bina Nusantara Jakarta serta keterangan Saksi Presiden oleh Hendro Dewanto yang menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.

Lebih jelas Ahmad Redi menjelaskan bahwa pendekatan blanket provision merupakan respons terhadap kompleksitas dan dinamika modus operandi korupsi yang terus berkembang, melampaui definisi tradisional korupsi. Selain itu, metode ini memberikan fleksibilitas signifikan bagi aparat penegak hukum dengan memungkinkan integrasi pelanggaran dari berbagai peraturan perundang-undangan sektoral. Sehingga hal ini dapat memperluas jangkauan pemberantasan korupsi, misalnya dengan mengintegrasikan pelanggaran undang-undang perbankan, lingkungan, kehutanan atau pasar modal.

“Dengan demikian, Pasal 14 UU Tipikor memungkinkan hukum anti-korupsi beradaptasi dengan cepat terhadap bentuk-bentuk korupsi yang inovatif dan tersembunyi, yang belum diatur secara spesifik dalam UU Tipikor itu sendiri. Integrasi ini dimaksudkan untuk menciptakan koherensi dalam penegakan hukum dan mencegah fragmentasi dalam penanganan kasus korupsi sektoral,” ujar Redi.

Di samping itu, Redi juga menerangkan bahwa Pasal 14 UU Tipikor berfungsi sebagai “Pasal Penghubung” yang mengintegrasikan UU Tipikor dengan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang sektoral lainnya. Bahkan norma ini memastikan perbuatan pidana yang diatur dalam undang-undang sektoral, namun memiliki elemen koruptif atau berpotensi merugikan keuangan negara, dapat dijerat di bawah payung hukum UU Tipikor dengan sanksi yang lebih berat.

Kasus tindak pidana korupsi sektor kehutanan menjadi studi kasus krusial dalam memahami urgensi Pasal 14 UU Tipikor, yang tidak hanya menyoroti kerugian negara yang masif tetapi juga menegaskan bagaimana pasa ini menjadi instrumen hukum vital. Norma ini dinilai oleh Redi, dapat menghubungkan pelanggaran kehutanan dengan unsur korupsi yang memuat adanya penyalahgunaan wewenang dan kerugian keuangan negara. Tanpa Pasal 14 UU Tipikor, penjeratan pelaku kejahatan hanya akan terbatas pada sanksi pidana kehutanan yang mungkin tidak mencerminkan tingkat kerugian negara yang masif.

“Pencabutan Pasal 14 UU Tipikor akan berimplikasi serius terhadap efektivitas penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam memerangi korupsi lintas sektor, menimbulkan kelemahan fundamental dalam kerangka hukum pemberantasan korupsi. Kesimpulannya, kesesuaian Pasal 14 UU Tipikor dengan prinsip-prinsip bridging article dan blanket provision menegaskan bahwa pasal ini tidak bertentangan dengan UUD 1945, bahkan justru memperkuat penegakan hukum dan menjunjung tinggi asas legalitas,” terang Redi.

Kemudian Ahli Presiden berikutnya, Vidya Prahassacitta menjelaskan bahwa permasalahan pada Pasal 14 UU Tipikor terjadi karena undang-undang khusus lainnya dinilai tidak pernah secara tegas menyatakan pelanggaran dalam undang-undang tersebut sebagai bagian dari tindak pidana korupsi, meskipun perbuatan konkret yang dilarang tersebut memiliki perbuatan yang sejenis dengan perbuatan yang termuat UU Tipikor.

Diterangkan oleh Vidya bahwa pada Pasal 14 UU Tipikor memuat norma tentang asas lex specialis systematis yang mendasari pembentukan norma dan rumusan pasal dalam undang-undang. Dalam memahami asas ini harus dilihat dengan saksama sistem hukum yang ada. Artinya, sambung Vidya, di tengah permasalahan banyaknya undang-undang sektoral yang menempatkan pelanggaran administratif sebagai tindak pidana namun asas ini tetap berlaku. Konsep gabungan tindak pidana atau perbarengan tindak pidana yang juga memuat asas lex specialis systematis dalam KUHP WvS maupun KUHP 2023 dan telah memberikan penyelesaian terhadap konflik hukum dengan memberikan perlindungan terhadap jaminan akan kepastian hukum dan keadilan bagi pelaku.

“Oleh karenanya, untuk membatasi kewenangan otoritas negara agar terhadap hak konstitusi warga diberlakukanlah asas lex specialis systematis dalam Pasal 14 UU PTPK. Gagasan untuk mendahulukan UU Tipikor terhadap perbuatan korupsi yang merugikan keuangan negara dengan menggunakan modus operandinya, tidak lepas dari tujuan utama untuk mengembalikan kerugian negara dan bukan semata-mata untuk memberikan hukuman yang berat karena undang-undang khusus sektoral lainnya juga menerapkan pidana yang berat. Dengan demikian, Pasal 14 UU Tipikor tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena diartikan sebagai asas lex specialis systematis,” terang Vidya.

Adapun Saksi Presiden dalam keterangannya menceritakan bahwa pada 2022 sampai dengan 2024 telah menjabat sebagai Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI. Selama menjabat sebagai Direktur Penuntutan, ia bersama jajaran Penyidik dan Penuntut Umum tindak pidana khusus telah menangani perkara tindak pidana korupsi lintas sektoral.

Dikatakan bahwa penyidikan ataupun penuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan RI berfokus pada pemulihan kerugian negara. Keberadaan Pasal 14 UU PTPK sebagai salah satu extra serious measure pemberantasan tindak pidana korupsi. Fungsinya sebagai jembatan yang menjamin konsistensi dalam penegakan hukum pidana korupsi lintas sektoral.

“Dan penguatan asas ultimum remedium yang memastikan tidak ada pelaku tindak pidana korupsi terbebas dari perbuatannya dengan dalih perbuatan yang dilakukan adalah pelanggaran yang diatur di luar UU Tipikor, sedangkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara sudah nyata terjadi,” ucap Hendro.

Dalam Sidang Pendahuluan yang digelar pada Jumat (1/8/2025) lalu, Deni Daniel selaku kuasa hukum dari Adelin Lis (Pemohon) menyampaikan pada kasus konkret menyebutkan Pemohon telah diputus bersalah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) Nomor 68 K/PID.SUS/2008. Dalam putusan tersebut, UU Tipikor diberlakukan terhadap Pemohon, kendati inti permasalahan dari pelanggaran Pemohon diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Pada norma tersebut tidak menyebutkan permasalahan Pemohon itu sebagai suatu tindak pidana korupsi. Fakta ini, sambung Deni, dapat diamati dari pertimbangan MARI tentang pemenuhan unsur Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang beririsan dengan UU Kehutanan.

Pada pertimbangan mengenai pemenuhan unsur “merugikan keuangan negara” didasarkan pada tindakan Pemohon sebagai Direktur Keuangan/Umum PT Keang Nam Development (PT KND). Pemohon tidak membayar kewajiban-kewajiban di sektor kehutanan, seperti Provisi Sumber Daya Hutan; Dana Reboisasi; dan Denda Administratif, sebagaimana dipertimbangkan dalam Putusan MARI Nomor 68 K/PID.SUS/2008. Bahwa pelanggaran sebagaimana yang diperbuat Pemohon tersebut telah diatur dalam UU Kehutanan dan tidak dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi. Oleh karenanya, tidak sepatutnya Pemohon dihukum menggunakan UU Tipikor.

Dijelaskan bahwa berdasarkan penerapan asas systematische specialiteit, Pasal 14 UU Tipikor mengatur kondisi jika suatu perbuatan materiil memenuhi kualifikasi tindak pidana dalam norma tersebut dan undang-undang lainnya, dan menentukan hal yang akan berlaku di antara keduanya. Secara teleologis, UU Tipikor dianggap lebih khusus dibanding pelanggaran dalam undang-undang lain, jika terdapat suatu klausul yang menyatakan pelanggaran dalam undang-undang lain sebagai tindak pidana korupsi. Untuk kemudahan penyebutan dalam permohonan ini, klausul tersebut akan disebut dengan “klausul jembatan”. Penafsiran teleologis ini menjadi sangat rasional untuk menjustifikasi keberadaan Pasal 14 UU Tipikor. Apabila undang-undang ini dapat diberlakukan terhadap pelanggaran yang diatur undang-undang lain tanpa mempertimbangkan ada tidaknya “klausul jembatan”, maka keberadaan pasal a quo menjadi nirfaedah dan tidak seyogianya dirumuskan.

Singkatnya, selain memuat ketidakpastian hukum secara inheren pasal a quo juga gagal untuk mencapai fungsi teleologisnya sebagai penerapan asas systematische specialiteit untuk memberikan kepastian hukum dalam penerapannya. Tidak adanya kepastian kapan undang-undang ini dapat diberlakukan, maka ia akan menghilangkan kepastian hukum bagi setiap warga masyarakat. Sebab undang-undang ini dapat diterapkan untuk setiap pelanggaran yang telah diatur dalam suatu undang-undang lain.(*)