Aturan Soal Rekapitulasi Manual Berjenjang dalam Pemilu Konstitusional

foto istimewa
JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruhnya permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Pengucapan putusan yang digelar pada Senin (29/9/2025) di Ruang Sidang MK ini dipimpin langsung oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya. Perkara Nomor 141/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh Almizan Ulfa, pensiunan ASN Kementerian Keuangan; Wazri Abdullah Afifi, seorang dosen; bersama tiga pemohon lainnya. Para Pemohon hadir secara daring tanpa didampingi kuasa hukum.
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam pertimbangan hukumnya menyatakan berkenaan dengan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 393 ayat (2), Pasal 397 ayat (1), Pasal 398 ayat (2), dan Pasal 402 ayat (2) UU 7/2017 yang didalilkan para Pemohon tersebut, dalam hal ini penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan dengan asas pemilu sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang antara lain menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara jujur dan adil. Ihwal asas dimaksud, norma Pasal 393 ayat (2), Pasal 397 ayat (1), Pasal 398 ayat (2), dan Pasal 402 ayat (2) UU 7/2017 merupakan suatu mekanisme yang dibuat pembentuk undang-undang dan digunakan sebagai dasar oleh penyelenggara pemilu untuk memastikan proses rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara peserta pemilu dihadiri oleh saksi peserta pemilu dan panitia pengawas pemilu.
Meskipun demikian, ihwal terbukanya kemungkinan untuk terjadinya penyimpangan, seperti fraud dan kecurangan pemilu yang bersifat TSM sebagaimana didalilkan para Pemohon, UU 7/2017 telah ternyata memberikan solusi berupa jalan keluar yang dapat ditempuh bila terdapat dugaan pelanggaran dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini, UU 7/2017 memberikan jalan pemulihan atas hak yang dilanggar sebagaimana asas hukum lex semper dabit remedium. Wujud nyata dari pelaksanaan tersebut, semua hal yang dikhawatirkan para Pemohon tersebut dapat dilakukan langkah atau upaya hukum, termasuk dengan mengajukan keberatan kepada penyelenggara pemilu. Selanjutnya, bila tidak puas terhadap semua upaya hukum yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, demi memenuhi asas lex semper dabit remedium, sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, pihak yang merasa dirugikan, karena menilai adanya kecurangan dalam rekapitulasi perolehan suara dapat mengajukan permohonan sengketa hasil pemilu kepada Mahkamah. Bahkan, dengan alasan, demi mewujudkan pemilu yang berintegritas, sesuai amanat Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Mahkamah tidak hanya memutus ihwal perselisihan hasil, tetapi dapat juga menilai semua hal yang terjadi dalam tahapan penyelenggaraan sebelum hasil penetapan suara oleh KPU.
Dengan demikian, norma-norma yang mengatur perihal rekapitulasi manual berjenjang harus dipahami dan sekaligus dimaknai sebagai bagian integral upaya memperkuat sistem pengawasan pemilu untuk menjamin tegaknya prinsip-prinsip pemilu yang jujur dan adil, yang pada akhirnya akan bermuara pada penyelenggaraan pemilu yang berintegritas. Dalam konteks ini, Mahkamah perlu menegaskan, ruang untuk melakukan rekapitulasi non-manual atau elektronik, termasuk Sirekap atau nama lain, harus ditempatkan sebagai bagian dari upaya peningkatan integritas rekapitulasi manual. Bagaimanapun, rekapitulasi non-manual atau elektronik bukanlah sesuatu yang tanpa kelemahan. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, rekapitulasi non-manual atau elektronik sangat mungkin lebih rawan dibandingkan dengan rekapitulasi manual. Artinya, hingga saat ini, rekapitulasi manual yang dilakukan secara berjenjang dibantu dengan rekapitulasi non-manual atau elektronik masih diyakini oleh Mahkamah mempunyai nilai keamanan yang lebih terjamin jika dibandingkan dengan hanya berlandaskan pada rekapitulasi non-manual atau elektronik saja.
“Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 393 ayat (2), Pasal 397 ayat (1), Pasal 398 ayat (2), dan Pasal 402 ayat (2) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 adalah dalil yang tidak beralasan menurut hukum,” ucap Guntur.
Selanjutnya para Pemohon mendalilkan norma Pasal 405 ayat (2) UU 7/2017 bertentangan dengan hak-hak para Pemohon yang telah dijamin dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, Pasal 22E ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 apabila tidak dimaknai sebagaimana petitum Permohonan a quo. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, setelah Mahkamah mencermati secara saksama, masalah konstitusionalitas norma yang dimohonkan para Pemohon, pada pokoknya adalah keberatan terhadap tugas dan kewenangan KPU RI perihal rekapitulasi hasil penghitungan suara manual berjenjang nasional.
Oleh karena dalil para Pemohon yang menghendaki agar Mahkamah menyatakan rekapitulasi manual berjenjang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum, maka dalam batas penalaran yang wajar, dalil yang menghendaki agar norma Pasal 405 ayat (2) UU 7/2017 dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 karena tidak terdapat relevansinya untuk dipertimbangkan lebih lanjut. “Oleh karena itu, dalil a quo harus dinyatakan pula tidak beralasan menurut hukum,” tandas Guntur.
Sebagai informasi, sebelumnya para Pemohon menilai pasal-pasal yang mengatur rekapitulasi manual berjenjang dalam UU Pemilu—yakni Pasal 393 ayat (2), 397 ayat (1), 398 ayat (2), 402 ayat (2), dan Pasal 405 ayat (2)—rawan dimanipulasi. Rekapitulasi manual dianggap membuka peluang terjadinya kecurangan, manipulasi, dan pemalsuan hail Pemilu secara terstruktur, sistematis, dan massif. Selain itu, Pemohon mendalilkan sistem rekapitulasi manual berjenjang ibarat “lini perakitan” yang melewati berbagai tingkatan mulai dari PPK Kecamatan, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, hingga KPU Nasional. Menurutnya, pola tersebut memperbesar risiko kecurangan Pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Pemohon juga menilai kerentanan kecurangan itu telah tercermin dari sejumlah kasus dalam Pemilu 2024, di antaranya perkara Tia Rahmania di Dapil Banten I, kasus di Kabupaten Aceh Timur, perkara Pemilu DPD, hingga temuan dalam 20 putusan Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) 2024.
Untuk mencegah kecurangan, Pemohon mengusulkan agar data hasil Pemilu dibuka secara transparan dalam format CSV, Excel, maupun SQL yang dapat diakses publik secara berkala. Dengan begitu, jutaan masyarakat bisa ikut mengawasi proses rekapitulasi dibanding hanya mengandalkan jumlah terbatas personel pengawas Pemilu.(*)