DPR dan Pemerintah Sebut UU TNI Batasi Pengisian Jabatan Sipil oleh Prajurit TNI

JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Aturan mengenai pengisian jabatan sipil oleh prajurit TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU TNI. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menentukan batasan limitatif terhadap pengisian jabatan sipil oleh prajurit TNI aktif yang berfungsi sebagai mekanisme pembatasan, bukan sebagai peluang membuka seluas-luasnya pengisian jabatan sipil oleh TNI.
“Sekali lagi, mekanisme pembatasan, bukan sebagai peluang membuka seluas-luasnya pengisian jabatan sipil oleh TNI,” ucap Anggota Komisi III DPR Utut Adianto yang mewakili DPR menyampaikan keterangan dalam sidang lanjutan uji UU TNI pada Kamis (9/10/2025). Sidang keempat dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden/Pemerintah ini digelar untuk tiga perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 68/PUU-XXIII/2025 yang dimohonkan oleh Prabu Sutisna (Pemohon I), Haerul Kusuma (Pemohon II), Noverianus Samosir (Pemohon III), Christian Adrianus Sihite (Pemohon IV), Fachri Rasyidin (Pemohon V), dan Chandra Jakaria (Pemohon VI); Perkara Nomor 82/PUU-XXIII/2025 yang dimohonkan oleh Muhammad Imam Maulana (Pemohon I), Mariana Sri Rahayu Yohana Silaban (Pemohon II), Nathan Radot Zudika Parasian Sidabutar (Pemohon III), dan Ursula Lara Pagitta Tarigan (Pemohon IV); dan Perkara Nomor 92/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Singaperbangsa Karawang, Tri Prasetio Putra Mumpuni.
Lebih lanjut, Utut menyebut hal ini sebagaimana ditetapkan juga pada 14 instansi pemerintah pusat yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, yakni instansi yang memiliki karakteristik tugas yang membutuhkan keahlian sesuai dengan latar belakang militer. “Ketentuan ini juga selaras dengan Pasal 19 UU ASN yang memperbolehkan jabatan ASN tertentu diisi oleh prajurit TNI atau anggota Polri,” ucap Utut.
Selain itu, Utut menyampaikan dalam praktik internasional, pembatasan ini berlaku di negara demokrasi seperti Amerika, India, Prancis, dan Singapura yang juga membatasi peran militer di ranah sipil melalui regulasi khusus. Dengan demikian, DPR menilai bahwa ketentuan Pasal 47 UU TNI menempatkan Indonesia sejajar dengan praktik negara demokrasi lainnya, sekaligus memastikan partisipasi militer dalam ranah sipil tetap terkendali dan sesuai dengan standar hukum.
Hal senada juga diungkapkan oleh Wakil Menteri Hukum Eddy Omar Sharif Hiariej yang mewakili Pemerintah. Ia menyebut Pasal 47 ayat (1) UU TNI bertujuan untuk membatasi penugasan prajurit TNI aktif di luar struktur organisasi TNI dan penugasan prajurit aktif di Kementerian/Lembaga sebagaimana disebutkan dalam Pasal 47 ayat (1) UU TNI. Penugasan prajurit TNI pada Kementerian/Lembaga tidak hanya berdasarkan keahlian yang dimiliki oleh Prajurit TNI, tetapi juga terkait dengan sarana dan prasarana yang hanya dimiliki dan didayagunakan oleh prajurit TNI aktif berdasarkan permintaan dari Kementerian/ Lembaga yang dalam melaksanakan tugas fungsinya sebagian tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Kementerian/Lembaga tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
“Apabila ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU 3/2025 dimaknai agar dapat menduduki jabatan pada Kementerian/Lembaga atau jabatan sipil lain, maka prajurit TNI harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan sebagaimana petitum Para Pemohon 68/PUU- XXIII/2025, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena memperlakukan sama jabatan pada kementerian/lembaga dalam Pasal 47 ayat (1) UU 3/2025 yang memang sejalan dengan tugas pokok TNI dengan jabatan pada kementerian/lembaga lain yang tidak menjalankan tugas yang dapat dilaksanakan oleh prajurit TNI,” terang Eddy.
Sementara terkait keterlibatan TNI dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 15 UU TNI, DPR menilai hal tersebut merupakan tugas TNI untuk melindungi dan mempertahankan kedaulatan negara dalam menghadapi ancaman multidimensial yang semakin kompleks di era digital. Utut menyampaikan keterlibatan TNI dalam ruang siber bukan dalam rangka menjalankan proses penegakan hukum, melainkan bersifat defensif dan strategis. Hakikat ancaman terhadap pertahanan nengara bersifat multidimensional yang mencakup di dalamnya ranah siber. Peran TNI dalam pertahanan siber tersebut telah diatur antara dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 15 UU TNI dan Permenhan Nomor 82/2014 tentang pedoman pertahanan siber. Untuk menanggulangi ancaman siber pada sektor pertahanan siber (cyber defense), sehingga peran TNI dalam ruang siber yang disebutkan Pemohon keluar dari ancaman siber pertahanan, merupakan suatu hal yang tidak beralasan.
“Konsep supremasi sipil dan hubungan sipil-militer perlu dilakukan dalam rangka penyeimbangan dan tidak boleh dimaknai sebagai hegemoni dari salah satu komponen bangsa. Supremasi sipil dalam sistem demokrasi menegaskan bahwa kekuasaan politik berada di tangan pemimpin sipil yang dipilih rakyat yakni presiden. Sementara sistem militer berfungsi sebagai alat negara untuk menjaga pertahanan bukan pembuat kebijakan. Justru istilah dwifungsi menimbulkan dikotomi, kecurigaan, dan ketegangan yang merusak sistem checks and balances serta stabilitas politik dan pemerintahan. Maka keberadaan Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 UU 3/2025 beserta Penjelasannya tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945,” urai Utut.
Kemudian DPR RI juga menerangkan terkait dalil pengujian muatan Pasal 53 ayat (4) UU TNI terkait perpanjangan batas usia perwira tinggi TNI bintang empat. Bahwa pasal tersebut merupakan norma perubahan yang didasarkan pada Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021 yang mengamanatkan pembentuk undnag-undang melakukan revisi UU TNI terkait batas usia pensiun prajurit TNI. Di samping itu, sambung Utut, MK juga menyatakan batas usia pensiun prajurit TNI sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang.
Sebab pasal a quo juga telah memberikan batasan berupa dua kali masa perpanjangan untuk satu tahun, sehingga sudah ada batasan yang jelas bagi Presiden apabila memandang masih memerlukan kemampuan perwira tinggi bintang empat TNI dalam mendukung pelaksanaan pemerintahan yang dipimpinnya. Hal ini juga telah memberikan kepastian hukum bagi semua pihak termasuk masyarakat.
“Sesuai amanat MK dalam Putusan Nomor 62/PUU-XIX/2021 bahwa batas usia pensiun prajurit TNI merupakan open legal policy, sehingga norma a quo sudah dibentuk sesuai dengan UUD NRI 1945 terkait pembentukan undang-undang, yakni Pasal 5, Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 21 UUD NRI 1945. Dengan demikian, Pasal 53 ayat (4) UU 3/2025 tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945,” terang Utut.
Dalam persidangan tersebut, para Pemohon dari Perkara Nomor 82/PUU-XXIII/2025 menyatakan mencabut permohonan setelah melalui kesepakatan secara bersama-sama. “Kami Pemohon Perkara Nomor 82/PUU-XXIII/2025 yang mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia ini, izin menarik berkas permohonan kami. Yang telah didasari oleh beberapa pertimbangan, baik internal maupun eksternal dan telah disepakati oleh seluruh Pemohon. Kami telah mengirimkan surat melalui pos beberapa hari lalu,” ujar Ursula Lara mewakili Pemohon secara daring dalam Sidang Pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama dengan hakim konstitusi lainnya.
Sebelumnya, para Pemohon Perkara Nomor 68/PUU-XXIII/2025 menyatakan Pasal 47 ayat (2) UU TNI disinyalir dapat berdampak pada penyalahgunaan kekuasaan atas pengangkatan prajurit TNI pada jabatan-jabatan strategis di dalam pemerintahan. Berlakunya ketentuan tersebut dinilai sebagai bentuk penyalahgunakan kekuasaan oleh penguasa karena mengangkat prajurit TNI pada jabatan strategis yang hanya ditujukan untuk kepentingan pribadi tanpa memperhatikan prinsip demokrasi. Bahkan jauh dari menjunjung prinsip supremasi sipil yang dicita-citakan pada masa reformasi 1998 sebagai bentuk pencegahan terhadap dwifungsi militer dalam menduduki jabatan sipil.
Sementara para Pemohon Perkara Nomor 82/PUU-XIII/2025 mendalilkan Pasal 7 ayat (2) Angka 9 dan Angka 15 serta Pasal 47 ayat (1) UU TNI bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Disebutkan bahwa keterlibatan TNI dalam ranah sipil dapat bersifat negatif apabila digunakan secara berlebihan atau tidak tepat secara kontekstual. Sebab, keterlibatan yang berlebihan akan dikhawatirkan akan memecah konsentrasi, pengaturan, pelatihan, dan persiapan militer terhadap pelaksanaan peran utamanya dalam menghadapi perang. Sehingga keterlibatan TNI ini, dapat melupakan raison d’etre militer itu sendiri. Selain itu, keterlibatan yang tidak tepat dapat menimbulkan bentuk-bentuk intervensi militer terhadap ranah sipil. Hal ini dinilai akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi maupun maupun pembangunan profesionalisme. Oleh karenanya, keterlibatan TNI dalam ranah sipil harus dibatasi secara tegas dan dilaksanakan berdasarkan prinsip dan pengaturan norma yang ketat.
Adapun Pemohon Perkara Nomor 92/PUU-XXIII/2025 menilai Pasal 53 ayat 4 UU TNI berpotensi membuka penyalahgunaan wewenang eksekutif. Sebab, tidak ada mekanisme kontrol atau pengawasan atas keputusan Presiden dalam memperpanjang masa dinas perwira tinggi bintang. Dengan demikian, norma a quo dinilai melanggar asas due process of law dan transparansi, karena pemberian perpanjangan bersifat sepihak tanpa melibatkan persetujuan legislatif. Oleh karenanya, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 53 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat serta mempertimbangkan pencabutan UU TNI secara keseluruhan.(*)