DPRD Kota Cirebon Datangi Kejaksaan: Butuh Kepastian Hukum Jelang Turunnya Permen RTRW

FREDY 10 Okt 2025 KANAL CIREBON
DPRD Kota Cirebon Datangi Kejaksaan: Butuh Kepastian Hukum Jelang Turunnya Permen RTRW

Tiga Pimpinan DPRD Kota Cirebon usai mendatangi Kantor Kejaksaan Kota Cirebon.

CIREBON, KANALINDONESIA.COM – Langkah dramatis dilakukan oleh Pimpinan DPRD Kota Cirebon yang mendatangi Kantor Kejaksaan Negeri Kota Cirebon di Jalan Wahidin No. 30, Kamis (9/10/2025).

Kedatangan itu untuk meminta legal opinion alias pendapat hukum dari Kejaksaan atas proses penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang sebelumnya sempat ditolak DPRD namun kini tengah menunggu terbitnya Peraturan Menteri (Permen) dari Kementerian ATR/BPN.

Ketua DPRD Kota Cirebon, Andrie Sulistio, menyatakan bahwa pihak legislatif mesti berhati-hati agar tidak “salah langkah” saat Permen tersebut turun. Menurutnya, dokumen yang ditawarkan ke DPRD kini adalah draft yang dulu telah ditolak, tanpa revisi berarti.

“Kita sedang menunggu legal opinion dari teman-teman Kejaksaan Negeri. Harapannya, ketika Permennya turun, kita tidak salah langkah dalam memperdakan. Karena bagaimanapun, Permennya ini berdasarkan draft yang sudah pernah ditolak DPRD,” ujar Andrie kepada wartawan di halaman Kejaksaan.

Andrie mengungkapkan bahwa draft RTRW yang ditolak oleh DPRD tetap diajukan oleh Pemerintah Kota Cirebon ke kementerian, tanpa ada perubahan substansial.

Bila memang demikian, DPRD khawatir bahwa pengesahan perda akan menegaskan legalitas terhadap substansi yang sebelumnya dianggap bermasalah.

Wakil Ketua II DPRD, Fitrah Malik, menegaskan perlunya langkah kehati-hatian agar DPRD tidak “terkena imbas” dari kesalahan regulasi masa lalu:

“Peristiwa pembangunan itu sudah dilaporkan dan sudah ada sanksi administratif dari Pemprov Jabar. Kita khawatir, kalau memperdakan RTRW dengan substansi yang sama, kita seperti ikut melegalkan itu. Makanya kami datang ke kejaksaan, supaya tidak terseret-seret,” tegas Fitrah.

Sementara itu, Wakil Ketua I DPRD, Harry Saputra Gani, memfokuskan perhatian pada isu perubahan fungsi lahan khususnya di Tanah Makam Cipto. Ia menyatakan bahwa DPRD tidak setuju jika ada indikator dalam draft yang membuka peluang untuk mengalihfungsikan lahan makam menjadi area perdagangan atau jasa.

“Kami ingin indikator itu dihapus. Lahan itu harus tetap sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH). Jangan sampai ada celah yang bisa membuka ruang alih fungsi,” tegas Harry.

DPRD Kota Cirebon melalui para pimpinan menegaskan, mereka tidak ingin mengambil keputusan terburu-buru yang berpotensi menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.

Oleh karena itu, pendapat resmi dari Kejaksaan Negeri dianggap krusial sebagai landasan pertimbangan dalam proses pembahasan dan pengesahan RTRW.

Kisah Penolakan RTRW Sebelumnya: Data dan Riwayat Sengketa

  1. Penolakan Paripurna 2024
    Pada 7 Maret 2024, dalam rapat paripurna pengambilan persetujuan Raperda RTRW Kota Cirebon 2024–2044, seluruh fraksi DPRD menyatakan menolak draft tersebut.
    Ketua pansus menyebut bahwa dokumen itu terdiri dari 16 bab dan 101 pasal.
    Walikota Cirebon (Pj.) kemudian menyebut bahwa meski tak disetujui, proses penetapan tidak bisa diundur karena Kementerian ATR/BPN telah memberikan persetujuan substansi (Persub) dengan waktu penyelesaian.
  2. Isu Kuorum dan Ambang Waktu
    Penolakan formal bukan satu-satunya hambatan. Dalam periode berbagai pembahasan, DPRD dan pemerintah kota sering bergumul dengan ketidaksetoran kuorum atau perdebatan pasal substansi.
    Di sisi lain, undang-undang dan PP terkait penataan ruang memberi batas waktu bagi daerah untuk mengesahkan RTRW. Bila tidak selesai tepat waktu, kementerian dapat menerbitkan RTRW melalui Permen sebagai kebijakan “tunggal” yang menggantikan atau mengisi kekosongan regulasi lokal.
  3. Kontroversi Implementasi dan Sanksi Tata Ruang
    Salah satu titik konflik ialah soal gedung Fakultas Kedokteran Universitas Galuh (UGJ) di kawasan Bima. Gedung ini menjadikan sebagian lahan RTH dialihfungsi, dan telah dikenakan sanksi administratif oleh Polda Jabar sehingga dipulihkan sebagian lahan sebagai RTH.
    Pemkot menyebut UGJ telah menyerahkan lahan pengganti (sekitar 5.094 m²) sebagai kompensasi agar tidak melanggar aturan tata ruang.
  4. Pintu Darurat Pemerintah Pusat
    Sejak ditolaknya Raperda RTRW Kota Cirebon, Pemerintah pusat melalui Kementerian ATR/BPN dianggap memberi “pintu darurat” agar RTRW tetap jalan meskipun DPRD belum mengesahkan Perda. Salah satu opsi adalah menetapkan Permen RTRW, dan kemudian DPRD bisa mengesahkannya menjadi perda dalam jangka 15 hari.
    Jika DPRD gagal menyatakan keputusan dalam waktu yang dibolehkan, kursi penataan ruang terancam diambil alih oleh pemerintah pusat.
  5. Status Terbaru 2025
    Hingga awal 2025, RTRW Kota Cirebon belum juga disahkan menjadi perda. DPRD dan Pemkot kembali menggelar rapat pimpinan dan internal untuk menyiapkan langkah bila Permen turun—apakah tetap menjadikan perda atau menyesuaikan regulasi lainnya.
    Pemkot mengusulkan agar RTRW tetap berbentuk Perda agar fleksibel terhadap perubahan dan kontrol daerah lebih kuat, terutama terkait perlindungan Ruang Terbuka Hijau (RTH).