Khusus di Aceh, Zakat Menjadi Pendapatan Asli Daerah

JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UUPZ) terhadap Pasal 18 B Ayat (1) juncto Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Rabu (15/10/2025). Sidang keempat untuk Perkara Nomor 140/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Arslan Abd Wahab yang merupakan Pensiunan Pengawai Negeri Sipil dengan jabatan Kepala Badan Keuangan Kabupaten Aceh Tengah 2022 s.d. 2024 ini beragenda mendengarkan keterangan Ahli dan Saksi Pemohon serta Ahli Presiden.
Zainal Abidin yang dihadirkan Pemohon sebagai Ahli dalam persidangan menjelaskan perlunya memperhatikan keistimewaan atau kekhususan Aceh sehingga tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya. Sehubungan dengan keistimewaan Aceh ini, diketahui bahwa antara Aceh dan agama Islam sebagai landasan utamanya tidak dapat dipisahkan. Memahami keistimewaan Aceh ini, sambung Zainal, maka pemerintah memberikan keistimewaan di antaranya kehidupan agama, adat, dan pendidikan serta peran ulama dalam penetapan kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Berdasarkan keistimewaan di bidang agama inilah, lebih lanjut lahir Qanun-Qanun Syariat Islam termasuk Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal sebagaimana telah diubah dengan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal. Guna menegakkan syariat Islam di Aceh, dibentuklah Mahkamah Syar’iyah.
“Kita di Aceh melihat bahwa UU Pemerintahan Aceh itu adalah undang-undang tertinggi di bawah konstitusi di Aceh. Jadi Undang-Undang Pemerintahan Aceh ini, menempati posisi teratas dalam heirarki internal antarjenis undang-undang di Aceh, sebagaimana tercermin dari Pasal 269 UU Nomor 11 Tahun 2006. Berikutnya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang berkaitan secara langsung dengan otonomi khusus bagi Daerah Provinsi Aceh dan Kabupaten/Kota disesuaikan dengan undang-undang ini. Kemudian dalam hal adanya rencana perubahan undang-undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA,” jelas Zainal.
Pada persidangan ini, Presiden/Pemerintah menghadirkan Ahli yakni Nazaruddin A. Wahid dari UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Nazaruddin menjelaskan bahwa Islam merupakan agama yang di dalamnya mengajarkan tentang ibadah untuk menunaikan zakat. Ibadah ini merupakan ibadah kepada Allah dan juga hal yang terkait dengan kepentingan sosial kemasyarakatan. Sehingga telah memasuki ranah publik yang membutuhkan peran pemerintah untuk melakukan pengelolaan zakat tersebut. Oleh karenanya, perlu bagi semua untuk melihat keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan zakat yang berlaku secara nasional dan tidak hanya di Provinsi Aceh.
Melalui peraturan perundang-undangan persoalan zakat pada tingkat nasional terdapat UU 38/1999, yang kemudian diubah menjadi UU 23/2011 dan norma ini berlaku seluruh Indonesia. Sementara untuk Aceh karena memiliki satu kekhususan yang ditetapkan dalam UU 11/2006, maka Pemerintah Aceh berwenang untuk mengelola segala sesuatu yang menyangkut persoalan yang menyentuh urusan agama atau syariat Islam, adat istiadat, ulama atau majelis ulama, dan sumber daya alam. Karena itu, Pemerintah Aceh mencoba menyusun qanun sebagai turunan UU 11/2006 yaitu Qanun 10/2018 yang telah direvisi menjadi Qanun 3/2021.
Dalam qanun diawali dengan “dalam UU 11/2006 bahwa zakat merupakan pendapatan asli daerah (PAD)”, karenanya segala ketentuan zakat menjadi bagian utama dari tugas pemerintah. Oleh karenanya berdasarkan Pasal 180 ayat d UU 11/2006 disebutkan pula “zakat merupakan pendapatan asli daerah”. Demikian juga dengan qanun yang menyebutkan zakat merupakan pendapatan asli daerah. Bahwa terkait dengan pencairan dana zakat, maka wajib dilakukan oleh Sekretariat Baitulmal dengan prosedur yang telah diatur dalam Qanun 10/2018. Ditegaskan bahwa Sekretariat BMA dengan persetujuan Badan BMA mengajukan permintaan pencairan dana Zakat dan/atau Infak kepada PPKA, sehingga siapapun dilarang mengalihkan dana zakat. Sebab zakat merupakan amanah dari muzakki kepada Baitulmal untuk disalurkan kepada mustahik.
“Siapa pun tidak boleh memindahkan/mengelola zakat, kecuali lembaga yang ditunjuk oleh Qanun 10/2018 yang dikuatkan dengan Pergub Nomor 8/2022,” tegas Nazaruddin.
Dalam hal ketentuan zakat yang terdapat dalam UU 23/2011 dan UU 11/2006 serta Qanun 10/2018, jelas Nazaruddin, secara umum memiliki akar filosofi yang sama yaitu menjalankan hukum syarak yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis agar mudah dilaksanakan oleh umat Islam. Kekhususan zakat di Aceh terdapat pada otoritas dan dasar hukum, utamanya dalam hal lembaga pengelolaan, zakat sebagai PA dan pendistribusian zakat secara produktif.
Peridangan juga mendengar keterangan Saksi Pemohon bernama Nafisah Elviana. Ia mengungkapkan pada Tahun Anggaran 2022/2023 dirinya selaku kuasa Bendahara Umum Daerah menjabarkan tugasnya dalam pengelolaan uang daerah. Seluruh pendapatan daerah ditampung dalam kas daerah pada bank umum yang semua penerimaan dan pengeluarannya dikonsultasikan dalam satu rekening tunggal. Terkait dengan pemindahbukuan dan pada rekening kas umum daerah Kabupaten Aceh Tengah pada akhir 2022 dan di awal 2023 disebabkan imbas dari penanganan pandemi covid-19 dari 2020.
Kondisi keuangan pemerintah pada saat itu, sambung Nafisah, mengalami defisit anggaran. Artinya terdapat ketidakmampuan pembayaran terhadap tagihan yang diajukan SKPK ke Badan Pengelola Keuangan Kabupaten Aceh Tengah. Akibat dari tidak tercapainya realisasi pendapatan daerah tahun anggaran tersebut. Sehingga Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Tengah mempunya kewajiban untuk melakukan pembayaran utang belanja daerah tahun 2021 yang membebani pendapatan daerah tahun 2022.
Akibat dari hal ini, sambung Nafisah, pada akhir 2022 banyak permintaan pembayaran SPM dari SKPK ditunda pembayarannya, termasuk kegiatan dana transfer dari pemerintah pusat dan provinsi yang sudah jelas peruntukannya. Sementara dananya terlebih dahulu digunakan untuk membayar tagihan belanja yang sifatnya diprioritaskan, seperti THR, Gaji 13, intensif tenaga kesehatan yang seharusnya bersumber dari pendapatan lainnya.
“Dana yang ada hanyalah dana SiLPA dan PAD yang ada pada RKUD Kabupaten Aceh Tengan, kemudian BUD mengambil kebijakan dan memerintahkan kuasa BUD untuk memilih dan segera membayar SPM terhadap dana yang bersifat khusus tersebut, karena apabila ditunda pembayarannya akan menjadi temuan dan utang di tahun yang akan datang. Dan ini akan menjadi kerugian daerah karena akan menambah beban defisit anggaran 2023. Maka sesuai Permendagri 77/2020 tentang Pedoman Teknis Pengelola Keuangan, BUD menanggulangi kekurangan kas dan memanfaatkan kelebihan kas secara optimal. Salah satunya adalah mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan APBK,” jelas Nafisah.
Sebagai tambahan informasi, Permohonan Perkara Nomor 140/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh Arslan Abd Wahab, Pensiunan Pengawai Negeri Sipil dengan jabatan Kepala Badan Keuangan Kabupaten Aceh Tengah 2022 s.d. 2024. Pada Sidang Pendahuluan, Jumat (22/8/2025) lalu, Zulkifli selaku kuasa hukum Pemohon mengatakan dengan berlakunya ketentuan pasal tersebut telah merugikan pihaknya dalam pengelolaan keuangan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Aceh, yang memiliki kekhususan untuk tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Zulkifli menjelaskan, Pemohon memiliki kewenangan untuk mengelola dan/atau mengatur Arus Kas Pengeluaran Kabupaten Aceh Tengah, khususnya dalam Pemindahan Buku Kas yang bersumber pada Pendapatan Asli daerah Kabupaten Aceh Tengah.
Oleh karenanya Pemohon berkewajiban untuk segera melakukan pembayaran atas Pelaksanaan belanja yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus Tahun 2022 paling telat per 31 Desember 2022. Apabila tidak dilakukan pembayaran atas pelaksanaan kegiatan yang bersumber pada Dana Alokasi Khusus, maka untuk tahun selanjutnya Pemerintah Pusat tidak melakukan Transfer Dana Alokasi Khusus kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah.
Akibat hal ini, Pemohon sebagai pihak yang mengelola dan/atau mengatur Arus Kas Pengeluaran Kabupaten Aceh terhadap keuangan zakat menjadi PAD dapat diputus bersalah berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Takengon Nomor 74/Pid.Sus/2024/PN Tkn dengan pidana penjara tiga bulan tanpa ada perintah untuk penahanan juncto Putusan Pengadilan Tinggi Aceh Nomor 543/PID.SUS/2024/PT BNA, dengan pidana penjara satu tahun tanpa ada perintah untuk ditahan juncto Putusan Mahkamah Agung Nomor 5381 K/PID.SUS/2025 dengan menolak kasasi Pemohon maupun kasasi Jaksa Penuntut Umum.
Atas adanya ketidakpastian penafsiran terhadap pasal tersebut, sambung Zulkifli, dapat dipastikan seluruh Kepala Badan Keuangan Kabupaten/Kota dan Bendahara Pengeluaran Kabupaten/Kota dalam Provinsi Aceh maupun Kepala Badan Keuangan Provinsi Aceh dan Bendahara Pengeluaran Provinsi Aceh atau Seluruh Tim Anggaran Kabupaten/Kota atau Tim Anggaran Pemerintah Aceh akan menjadi tersangka, terdakwa, maupun terpidana atas pemberlakuan norma tersebut, termasuk Pemohon yang saat ini menjadi terdakwa dan/atau terpidana atas Pengelolaan Pendapat Asli Daerah (zakat).
Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 155 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5255) inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan tentang Pengelolaan Zakat dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini” haruslah dimaknai, “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan tentang Pengelolaan Zakat dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini Kecuali Provinsi Aceh.”