Prof. Henri Subiakto: SMSI Harus Kawal UU ITE Agar Tidak Membungkam Pers

ARSO 29 Okt 2025
Prof. Henri Subiakto: SMSI Harus Kawal UU ITE Agar Tidak Membungkam Pers

JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Prof. Dr. Henri Subiakto, S.H., M.Si., menegaskan bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi digital yang melahirkan bentuk-bentuk komunikasi baru di masyarakat.

Prof. Henri menyampaikan hal tersebut dalam Dialog Nasional bertema “Media Baru vs UU ITE” yang SMSI Pusat selenggarakan secara daring melalui Zoom Meeting pada Selasa (28/10/2025). Kegiatan ini digelar dalam rangka menyongsong peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2026.

Perkembangan Teknologi Menuntut Pengaturan Baru

Menurut Prof. Henri, perkembangan teknologi informasi menghadirkan beragam aktivitas berbasis internet yang memicu lahirnya perbuatan hukum baru, sehingga membutuhkan dasar pengaturan.

“Transaksi dan aktivitas baru berbasis internet menimbulkan perbuatan hukum baru yang perlu diatur. Karena itu, UU ITE menjadi penting,” ujar Prof. Henri.

Ia memaparkan, jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai sekitar 191 juta orang, sementara pengguna media sosial seperti Facebook, WhatsApp, dan X (Twitter) mencapai lebih dari 224 juta akun aktif. Dengan jumlah tersebut, UU ITE menjadi salah satu regulasi yang paling sering digunakan dalam berbagai kasus hukum di Indonesia.

Penerapan UU ITE Kerap Menjerat Produk Jurnalistik

Namun, Prof. Henri menyoroti bahwa penerapan UU ITE kerap menimbulkan persoalan, terutama ketika UU tersebut digunakan untuk menjerat karya jurnalistik maupun opini publik yang tersampaikan melalui media.

“Wartawan dan media bekerja dalam koridor Undang-Undang Pers. Mereka tidak bisa diperlakukan sama dengan pengguna media sosial biasa. Tapi sayangnya, masih sering terjadi salah tafsir dalam penerapan UU ITE terhadap produk jurnalistik,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menilai bahwa di era digital saat ini, media baru seperti podcast dan media daring berkembang pesat karena kemudahan akses serta rendahnya biaya produksi.

Podcast itu menarik karena mudah diakses dan dibuat. Biayanya murah, sehingga lebih independen dari tekanan iklan atau sponsor,” terangnya.

Meskipun demikian, Prof. Henri mengingatkan bahwa media baru tetap harus memegang prinsip jurnalisme dan kode etik pers, termasuk dalam hal verifikasi fakta dan menjaga objektivitas pemberitaan.

Podcast dan media daring memang berbeda format, tapi secara fungsi keduanya sama-sama menyampaikan informasi kepada publik. Hanya saja, banyak yang belum Dewan Pers akui secara resmi,” tuturnya.

Ancaman Kriminalisasi terhadap Jurnalis

Ia juga menyoroti masih maraknya kasus kriminalisasi terhadap jurnalis yang dilaporkan menggunakan UU ITE, terutama ketika karya jurnalistik menyinggung isu sensitif seperti korupsi atau kritik terhadap pejabat publik.

“Sekarang banyak orang yang kerjanya lapor. Sedikit berbeda pendapat, langsung dilaporkan dengan UU ITE. Ini yang menakutkan,” tegasnya.

Mengakhiri paparannya, Prof. Henri mendorong SMSI untuk mengambil peran aktif dalam memperjuangkan revisi UU ITE agar penerapannya tidak mengekang kebebasan pers maupun kebebasan berpendapat.

“SMSI perlu mengambil peran untuk memastikan UU ITE tidak menjadi alat pembungkam, tetapi tetap mengedepankan semangat kebangsaan dan kebaikan bagi bangsa,” pungkasnya. (Tim)