Putusan MK Wajibkan Keterwakilan Perempuan Proporsional dalam Semua Alat Kelengkapan DPR

ARSO 31 Okt 2025
Putusan MK Wajibkan Keterwakilan Perempuan Proporsional dalam Semua Alat Kelengkapan DPR

JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya menegaskan bahwa pengisian keanggotaan dan pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus menjamin keterwakilan perempuan secara proporsional. Hal ini disampaikan Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam sidang pleno pengucapan Putusan Nomor 169/PUU-XXII/2024 pada Kamis (30/10/2025) yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi enam hakim konstitusi lainnya di Gedung MK, Jakarta.

Mahkamah dalam amar putusan mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon IV untuk seluruhnya. Mahkamah menyatakan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, memuat keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan pada tiap-tiap fraksi.

Berikut poin-poin amar Putusan MK Nomor 169/PUU-XXII/2024:

Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon IV untuk seluruhnya.

Menyatakan Pasal 90 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Anggota Badan Musyawarah berjumlah paling banyak 1/10 (satu per sepuluh) dari jumlah anggota DPR berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi dengan memuat keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan pada tiap-tiap fraksi yang ditetapkan oleh rapat paripurna”.

Menyatakan Pasal 96 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Jumlah anggota komisi ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi dengan memuat keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan pada tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR, permulaan tahun sidang, dan pada setiap masa sidang”.

Menyatakan Pasal 103 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Jumlah anggota Badan Legislasi paling banyak 2 (dua) kali jumlah anggota komisi, yang mencerminkan fraksi dan komisi dengan memuat keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan pada tiap-tiap fraksi”.

Menyatakan Pasal 108 ayat (3) UU MD3 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Susunan dan keanggotaan Badan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas anggota dari setiap komisi yang dipilih oleh komisi dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota dan usulan fraksi dengan memuat keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan pada tiap-tiap fraksi”.

Menyatakan Pasal 114 ayat (3) UU MD3 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Jumlah anggota BKSAP ditetapkan dalam rapat paripurna DPR menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi dengan memuat keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan pada tiap-tiap fraksi”.

Menyatakan Pasal 120 ayat (1) UU MD3 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Mahkamah Kehormatan Dewan yang terdiri atas semua fraksi dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi dengan memuat keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan pada tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang”.

Menyatakan Pasal 151 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Jumlah anggota BURT paling banyak 25 (dua puluh lima) orang atas usul komisi dan fraksi berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi di komisi dengan memuat keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan pada tiap-tiap fraksi yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR”.

Menyatakan Pasal 157 ayat (1) UU MD3 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “DPR menetapkan susunan dan keanggotaan panitia khusus berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi dengan memuat keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan pada tiap-tiap fraksi”.

Menyatakan Pasal 427E ayat (1) huruf b UU MD3 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “pimpinan komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, BKSAP, Mahkamah Kehormatan Dewan, dan BURT terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 4 (empat) orang wakil ketua, yang ditetapkan dari dan oleh anggota komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, BKSAP, Mahkamah Kehormatan Dewan, dan BURT berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi dengan memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen)”.

Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Menyatakan permohonan Pemohon III tidak dapat diterima.

Dalam sidang pembacaan putusan yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra, Mahkamah menegaskan bahwa kebijakan afirmatif atau affirmative action merupakan “kesepakatan nasional” untuk menjamin pemenuhan hak asasi manusia yang lebih luas sebagaimana diatur dalam UUD NRI Tahun 1945. Mahkamah merujuk pada Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008, yang menegaskan bahwa kebijakan afirmatif yang diadopsi dari Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) telah diterima secara konstitusional melalui Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.

Mahkamah menilai bahwa perlakuan khusus bagi perempuan merupakan bentuk pemenuhan keadilan substantif mengingat secara faktual perempuan masih tertinggal dibandingkan laki-laki dalam hampir seluruh bidang penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, penerapan kuota keterwakilan perempuan dalam lembaga politik merupakan bagian dari implementasi prinsip kesetaraan dan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.

“Oleh karenanya, jikalau terdapat ketidakseimbangan antar-berbagai kelompok, terbuka kemungkinan untuk memberlakukan ketentuan khusus agar tercapai titik kesetimbangan antara berbagai kelompok dalam suatu negara. Dalam hal Ini, Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Mahkamah menegaskan, politik hukum keterwakilan perempuan telah menjadi bagian dari sistem demokrasi Indonesia sejak diaturnya ketentuan minimal 30 persen keterlibatan perempuan dalam pendirian dan kepengurusan partai politik sebagaimana termaktub dalam UU Partai Politik. Prinsip tersebut juga diwujudkan dalam pemenuhan kuota perempuan dalam daftar calon legislatif pada setiap tingkatan pemilihan.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah sepakat dengan dasar argumentasi para Pemohon, bahwa kehadiran perempuan (politics of presence) pada setiap AKD dengan fokus pada bidang-bidang tertentu jelas akan menginsentif perempuan dalam memberikan sumbangsih pemikiran dengan perspektif perempuan yang khas (politics of ideas).

Terlebih, Indonesia merupakan salah satu negara yang telah menyepakati sasaran Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs), di mana ditegaskan dalam sasaran tersebut bahwa kesetaraan dan pemberdayaan gender menjadi target krusial dalam SDGs global dengan salah satu sasarannya memastikan bahwa perempuan dapat berpartisipasi penuh dan mendapat kesempatan yang sama untuk kepemimpinan pada semua level pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan publik.

Hal demikian menjadi relevan dengan adanya penempatan anggota DPR perempuan dengan prinsip perimbangan dan pemerataan harus dipandang sebagai bagian dari agenda penguatan keterwakilan perempuan dalam politik yang selama ini telah menjadi politik hukum nasional. Lebih lanjut, kehadiran perempuan secara berimbang dan merata pada setiap AKD akan membantu sekaligus memfasilitasi anggota DPR perempuan memperjuangkan hak kaumnya secara kolektif di semua bidang kehidupan bernegara. Berkenaan dengan hal ini, menjadi penting untuk dilakukan penataan dari hulu hingga hilir, mulai dari proses rekrutmen calon anggota legislatif yang diupayakan memiliki keterkaitan dengan kapasitas yang dibutuhkan dalam AKD.

“Untuk memastikan keterwakilan perempuan dalam AKD, maka perlu adanya praktik agar keterwakilan perempuan tidak terpusat di fraksi tertentu. Bahkan fakta menunjukkan adanya komisi yang minim perempuan, karena anggota perempuan justru lebih banyak ditempatkan di komisi bidang sosial, perlindungan anak, dan pemberdayaan perempuan,” ujar Saldi.

Oleh karena itu, sambung Saldi, agar posisi AKD memuat keterwakilan perempuan secara berimbang, menurut Mahkamah, perlu dibuat mekanisme dan langkah konkret baik secara kelembagaan maupun politik. Berkenaan dengan hal tersebut, terdapat 2 (dua) hal yang dapat dipraktikkan. Pertama, DPR dapat menerapkan aturan internal yang tegas (seperti Tata Tertib DPR), agar setiap fraksi menugaskan anggota perempuan sesuai dengan kapasitasnya. Apabila suatu fraksi memiliki lebih dari satu perwakilan di suatu AKD maka minimal 30% di antaranya adalah perempuan. Selain itu, fraksi di DPR memegang peranan penting karena anggota AKD ditentukan oleh masing-masing fraksi. Langkah ini dapat diambil dengan cara fraksi menetapkan kebijakan internal afirmatif gender.

Dalam konteks ini, untuk menempatkan anggota di AKD, fraksi harus memperhatikan keseimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan di tiap komisi. Kedua, fraksi juga mengatur rotasi dan distribusi yang adil, sehingga anggota perempuan tidak hanya ditempatkan di komisi sosial, perlindungan anak, dan pemberdayaan perempuan, tetapi juga bidang ekonomi, hukum, energi, pertahanan, dan bidang-bidang lainnya. Badan Musyawarah (Bamus) DPR juga memiliki peranan penting untuk melakukan evaluasi secara berkala terhadap komposisi AKD, serta memberikan rekomendasi penyesuaian jika terdapat ketimpangan gender antar-fraksi atau antar-komisi.

Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, pengaturan mengenai AKD yang meliputi anggota Badan Musyawarah, anggota Komisi, anggota Badan Legislasi, anggota Badan Anggaran, anggota BKSAP, anggota Mahkamah Kehormatan Dewan, anggota BURT, dan anggota panitia khusus harus memuat keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan pada tiap-tiap fraksi”. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 90 ayat (2), Pasal 96 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal 108 ayat (3), Pasal 114 ayat (3), Pasal 120 ayat (1), dan Pasal 151 ayat (2) UU I 17/2014 adalah beralasan menurut hukum.

Selain itu, menurut Mahkamah, eksistensi keterwakilan perempuan secara proporsional dalam pimpinan AKD justru membawa perspektif kesetaraan dan keadilan gender dalam proses pembuatan kebijakan oleh pembentuk undang-undang. Namun demikian, pengisian pimpinan AKD yang dilakukan dengan cara pemilihan dari anggota AKD dalam satu paket berdasarkan usulan fraksi dengan musyawarah mufakat, tanpa mengindahkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) maka implementasi keterwakilan perempuan justru semakin terabaikan.

Dengan konstruksi sebagaimana rezim UU MD3 yang berlaku saat ini, maka siapapun dari anggota AKD dapat mengajukan diri sebagai pimpinan AKD yang terpilih dengan prinsip musyawarah mufakat. Apabila hasil musyawarah mufakat justru tidak memilih perempuan, dapat menimbulkan peluang adanya kondisi perempuan yang didominasi oleh laki-laki. Hal ini mengakibatkan implementasi keterwakilan perempuan untuk mengisi pimpinan AKD sulit diwujudkan. Oleh karena itu, ketiadaan ketentuan kuota paling sedikit 30% (tiga puluh persen) perempuan untuk mengisi posisi pimpinan AKD, adalah inkonstitusional. Sebaliknya, adanya pengaturan dimaksud memberikan kepastian hukum yang adil karena ukuran penetapan formula 30% perempuan dapat diukur dan lebih jelas implementasinya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal I 427E ayat (1) huruf b UU 2/2018 adalah beralasan menurut hukum.

Sebagai informasi, permohonan Perkara Nomor 169/PUU-XXII/2024 diajukan Koalisi Perempuan Indonesia, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kalyanamitra, dan Titi Anggraini. Para Pemohon mengungkapkan hak konstitusional mereka dirugikan, terutama dalam hal keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Pemohon menyoroti rendahnya keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) yang tidak mencapai 30 persen pada periode 2024-2029.