Uji Ketentuan Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri Ditolak

ARSO 31 Okt 2025
Uji Ketentuan Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri Ditolak

JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Persetujuan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri oleh Presiden bukan suatu bentuk penyimpangan dari sistem pemerintahan presidensial, melainkan sebagai aktualisasi dari bentuk akuntabilitas yang menggambarkan berjalannya prinsip atau mekanisme check and balances. Hal ini tersirat dalam UUD NRI Tahun 1945, yakni dalam rangka menciptakan dan menghasilkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Demikian pertimbangan hukum Mahkamah terhadap uji materiil Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 167/PUU-XXIII/2015 dari permohonan Windu Wijaya ini digelar pada Kamis (30/10/2025).

Lebih jelas Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyebutkan terhadap pengujian norma Pasal 11 ayat (1) UU 2/2002 mengenai pengangkatan dan pemberhentian Kapolri oleh Presiden dengan persetujuan DPR ini, Mahkamah sebelumnya pernah mempertimbangkan dan memutus norma pasal dalam Putusan MK Nomor 22/PUU-XII/2015. Singkatnya, terkait dengan pengaturan mengenai pemberian persetujuan DPR atas pengisian suatu jabatan telah diatur dalam Pasal 226 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 1/2020) yang diubah terakhir dengan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.

Sehubungan dengan permohonan ini, kendati alasan permohonannya berbeda dengan alasan yang digunakan dalam permohonan Nomor 22/PUU-XIII/2015, namun esensi yang dimohonkan sama dan Mahkamah hingga saat ini belum memiliki alasan hukum yang kuat dan mendasar untuk bergeser dari pendiriannya. Sehingga pertimbangan hukum putusan tersebut secara mutatis mutandis berlaku pula dalam mempertimbangkan dalil permohonan ini. Di samping itu, sambung Daniel, berkenaan dengan syarat yang dimohonkan Pemohon agar dalam memberikan persetujuan oleh DPR atas pengusulan pengangkatan dan pemberhentian calonKapolri didasarkan pada alasan-alasan yang objektif, transparan, aküntabel, serta dapat dipertanggungjawabkan.

“Oleh karena itu, jika mencermati tujuan persetujuan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dimaksud agar Presiden dalam menggunakan kewenangan hak prerogatif memenuhi prinsip transparan, akuntabel dan partisipatif, maka dengan sendirinya unsur-unsur atau syarat yang dimohonkan oleh Pemohon sudah melekat dan dipenuhi oleh Presiden pada waktu pengusulan untuk mendapatkan persetujuan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Sebab, seorang calon pejabat publik terlebih calon Kapolri tidak akan menjadi sosok yang diusulkan oleh Presiden jika tidak memenuhi syarat-syarat umum sebagaimana yang diusulkan oleh Pemohon tersebut,” jelas Daniel.

Selanjutnya Hakim Konstitusi Daniel mengatakan bahwa meskipun hingga saat ini pola persetujuan DPR konstitusional, namun demikian dalam perspektif check and balances, sejatinya konteks pengusulan calon Kapolri oleh Presiden seharusnya diletakkan pada penguatan hak prerogatif Presiden. Hal ini guna mewujudkan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam sistem presidensial Indonesia sebagaimana semangat UUD NRI Tahun 1945. Sementara itu, adanya permintaan persetujuan kepada DPR tersebut merupakan upaya untuk menciptakan dan menghasilkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan demikian didapati sosok pejabat terpilih yang betul-betul memiliki integritas, kapabilitas, dan leadership serta akseptabilitas untuk membantu Presiden dalam menjalankan pemerintahan.

“Dengan demikian, tanpa memaknai norma Pasal 11 ayat (1) UU 2/2002 dengan menambah frasa syarat-syarat sebagaimana yang dimohonkan Pemohon, berkaitan dengan hal tersebut dengan sendirinya telah dipenuhi sebagai syarat esensial oleh Presiden sebelum calon Kapolri dimaksud dimintakan persetujuannya kepada DPR. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 11 ayat (1) UU 2/2002 adalah tidak beralasan menurut hukum,” sampai Daniel dalam Sidang Pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama hakim konstitusi lainnya.

Sebelumnya, Pemohon menyebutkan terhadap persetujuan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri yang diusulkan oleh Presiden ini, Mahkamah Konsitutusi telah memberikan pertimbangan dalam putusan Nomor 22/PUU-XII/2015. Meski demikian, Pemohon mencermati dalam pengangkatan Kapolri oleh Presiden yang ada dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan (2) dan Penjelasannya, hanya menyebut “dengan persetujuan DPR” tanpa merinci syarat, kriteria, atau alasan pengangkatan. Akibatnya, terjadi ketidakjelasan norma yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik ketatanegaraan.

Frasa ‘persetujuan DPR’ dalam norma a quo tidak memberikan batasan yang jelas apakah persetujuan tersebut bersifat administratif untuk memastikan terpenuhinya syarat sebagaimana ditentukan Pasal 11 ayat (6) UU Polri. Ataukah persetujuan tersebut juga berhubungan dengan keadaan kesehatan jasmani dan rohani calon Kapolri dan/atau status hukum calon Kapolri atau digunakan sebagai instrumen politik, yang justru dapat menghambat hak prerogatif Presiden dalam mengangkat Kapolri.

Di samping itu, ketentuan ini menimbulkan kerugian konstitusional Pemohon, karena tidak adanya alasan hukum yang jelas mengenai dasar persetujuan atau penolakan DPR terhadap pengangkatan Kapolri. Sehingga kewenangan Presiden dalam mengangkat Kapolri menjadi sepenuhnya bergantung pada persetujuan DPR tanpa kepastian hukum mengenai parameter atau alasan-alasan hukum yang dapat dijadikan dasar untuk menyetujui atau menolak pengangkatan Kapolri yang di usulkan oleh Presiden RI. Dalam hal pengangkatan, norma tersebut menurut Pemohon tidak mengatur lebih lanjut mengenai kualifikasi minimum calon Kapolri (misalnya pangkat, masa dinas, prestasi); alasan atau dasar pengajuan nama calon; mekanisme penentuan jika terdapat lebih dari satu calon; dan prosedur apabila DPR menolak calon yang diajukan.(*)