Festival Budaya BWCF 2025 Angkat Tema Nisan dan Manuskrip Islam Nusantara, Cirebon Jadi Pusat Spiritualitas dan Dialog Peradaban

FREDY 12 Nov 2025
Festival Budaya BWCF 2025 Angkat Tema Nisan dan Manuskrip Islam Nusantara, Cirebon Jadi Pusat Spiritualitas dan Dialog Peradaban

Estetika nisan - nisan Islam Nusantara.

CIREBON, KANALINDONESIA.COM – Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) ke-14 tahun 2025 akan digelar sepenuhnya di Kraton Kacirebonan, Kota Cirebon. Tahun ini, festival bergengsi tersebut mengusung tema besar tentang arkeologi nisan-nisan di Nusantara serta manuskrip Tarekat Syattariyah, dua warisan intelektual dan spiritual penting yang merekam perjalanan Islam di kepulauan Indonesia.

Kurator BWCF, Seno Joko Suyono, menjelaskan bahwa nisan-nisan kuno di Nusantara menyimpan kekayaan simbolis yang melampaui fungsinya sebagai penanda makam.

“Nisan-nisan itu bukan hanya tanda peristirahatan terakhir seseorang. Di dalamnya terkandung simbol religius, estetika, dan filosofi yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan. Bahkan, dari bentuk dan ornamen nisan, kita bisa membaca jejak hubungan budaya dan maritim antara Nusantara dan Asia Tenggara,” ujar Seno.

Menurutnya, gaya tipologis nisan di Aceh pada masa Kesultanan Iskandar Muda, misalnya, memberi pengaruh besar terhadap tradisi pernisanan di berbagai wilayah Asia Tenggara. Pola itu menunjukkan kuatnya jaringan perdagangan dan penyebaran Islam melalui jalur maritim.

BWCF 2025 terselenggara berkat kolaborasi antara BWCF, Majelis Seni dan Tradisi Cirebon (Mesti), dan Perhimpunan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI), dengan dukungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon.

Arkeologi dan Spiritualitas Islam Nusantara

Festival tahun ini akan menghadirkan para ahli internasional, di antaranya Prof. Dr. Daniel Perret, arkeolog asal Prancis yang dikenal meneliti nisan kuno Aceh dan pengaruhnya di Malaysia, serta Dr. Bastian Zulyeno, ilmuwan Universitas Indonesia yang mendalami epitaf bernuansa puisi ketuhanan dari tradisi Iran.

“Melalui forum ini, publik dapat memahami bahwa dalam sebuah nisan pun tersimpan keindahan dan kedalaman spiritualitas. Setiap ukiran adalah doa, setiap kaligrafi adalah cerminan perjalanan jiwa,” kata Seno.

Cirebon dipilih menjadi tuan rumah karena memiliki peran penting dalam sejarah Islam di Jawa. Kota ini menjadi simpul penyebaran Islam di abad ke-15 dan 16 serta berpengaruh besar terhadap lahirnya kesultanan Islam lain seperti Banten. Selain itu, Cirebon menyimpan banyak situs bersejarah seperti kompleks kraton, masjid kuno, serta makam-makam para wali yang kini menjadi destinasi wisata religi.

Menyingkap Dunia Manuskrip Syattariyah

Selain membahas arkeologi nisan, BWCF 2025 juga akan mengangkat khazanah manuskrip Tarekat Syattariyah, sebuah aliran tasawuf yang berkembang di India abad ke-15 dan menyebar ke Nusantara pada abad ke-16 hingga 17.

“Cirebon memiliki banyak manuskrip tua yang berhubungan dengan ajaran Syattariyah dan konsep Martabat Tujuh. Ajaran ini bukan hanya spiritual, tapi juga memiliki dimensi historis yang mengilhami perlawanan terhadap kolonialisme, termasuk yang dilakukan Pangeran Diponegoro,” jelas Seno.

Dalam sesi khusus, Prof. Dr. Peter Carey akan menguraikan keterkaitan antara gerakan Syattariyah dan semangat perlawanan Diponegoro terhadap Belanda.

Malam Puisi untuk Palestina

Sebagaimana tradisi BWCF sebelumnya, festival juga akan menghadirkan program sastra dan seni pertunjukan. Tahun ini, akan digelar Malam Puisi untuk Palestina, menghadirkan penyair-penyair besar Indonesia seperti Zawawi Imron, Acep Zamzam Noer, Hikmat Gumelar, dan Nenden Lilis.

Sorotan utama festival kali ini adalah kehadiran penyair dan dramawan Palestina asal Gaza, Dr. Samah Sabawi, yang kini bermukim di Melbourne. Ia dikenal luas di dunia internasional melalui karya-karya seperti Tales of a City by the Sea, Them, dan I Remember My Name. Buku terbarunya, Cactus Pear for My Beloved (Penguin Australia, 2024), masuk dalam daftar pendek Stella Prize 2025 serta Douglas Stewart Prize di bawah NSW Premier’s Literary Awards.

Seno menyebut kehadiran Samah sebagai jembatan spiritual dan kemanusiaan antara Palestina dan Indonesia.

“Puisi Samah menyuarakan luka dan harapan. Ia membawa pesan universal bahwa ziarah terbesar manusia adalah mencari kedamaian di tengah penderitaan,” ucapnya.

Tribute untuk Uka Tjandrasasmita

BWCF 2025 juga akan menjadi ajang penghormatan bagi Uka Tjandrasasmita (1934–2010), arkeolog Universitas Indonesia yang dikenal sebagai pelopor bidang Arkeologi Islam Nusantara. Melalui karya monumentalnya Arkeologi Islam Nusantara, Uka memetakan warisan Islam di Indonesia secara ilmiah dan sistematis.

Sebagai bentuk penghormatan, Dr. Helene Njoto, sejarawan seni dan arsitektur asal Prancis, akan membawakan Pidato Kebudayaan bertajuk “Tribute untuk Uka Tjandrasasmita: Membaca Kembali Sendang Duwur dan Masjid-Masjid Kuno Nusantara”.

Seno berharap, BWCF kali ini tidak hanya menjadi festival budaya, tetapi juga forum intelektual yang memperdalam pemahaman publik terhadap warisan Islam Nusantara.

“Kami ingin BWCF menjadi ruang belajar lintas disiplin, tempat di mana sastra, sejarah, dan spiritualitas saling bertemu untuk menumbuhkan kesadaran kebudayaan,” tutupnya.