Komisi E DPRD Jatim Pertanyakan Perlakukan Pemerintah yang Beda Antara Sekolah Negeri dengan Sekolah Swasta termasuk Madrasah
    SURABAYA KANALINDONESIA.COM – Ketimpangan yang terjadi antara guru sekolah negeri dan guru sekolah swasta
menjadi sorotan Wakil Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur, Hikmah Bafaqih,
Politisi Fraksi PKB ini melihat adanya ketidak adila perlakuan negara terhadap guru swasta, khususnya guru yang mengajar di madrasah. Ia menilai, hingga kini pemerintah belum memberikan perhatian dan perlakuan yang adil terhadap para pendidik tersebut, baik dalam hal kesejahteraan maupun peningkatan kompetensi.
“Karena memang faktual, senyatanya guru swasta termasuk yang mengajar di madrasah itu tidak mendapatkan perlakuan yang cukup adil dari negara untuk banyak hal. Secara regulatif mereka tidak direspon kepentingannya,” ujar Hikmah.
Dari pandangan Hikman, ketimpangan ini bukan hanya berdampak pada kesejahteraan guru, tetapi juga pada kualitas pendidikan anak-anak di madrasah mapun sekolah swasta. Padahal, guru merupakan instrumen paling penting dalam lembaga pendidikan.
“Kalau guru sebagai instrumen paling penting di lembaga pendidikan belum mendapatkan respon yang baik dari pemerintah, bagaimana dengan nasib anak-anak yang dididik oleh mereka?” tegasnya.
Hikmah menekankan bahwa transformasi pendidikan hanya bisa terjadi jika guru mengalami perubahan, baik dari sisi kompetensi maupun cara pandang terhadap perkembangan zaman. Namun, hal itu sulit diwujudkan tanpa adanya jaminan kesejahteraan.
“Perubahan seorang guru itu sangat ditentukan oleh bagaimana well-being mereka atau kesejahteraan mereka,” ujarnya.
Politisi PKB itu juga menyinggung kondisi yayasan pendidikan swasta di Indonesia yang sebagian besar masih tergolong miskin dan berdiri atas dasar kebutuhan masyarakat, terutama di daerah pedesaan. Jika tidak mendapat perhatian maka efek dominonya sangat besar bagi keberlangsungan penerus bangsa.
“Kalau di suatu tempat, terutama di daerah-daerah pedesaan, lembaga pendidikan swasta ini tidak ada, bisa dikatakan anak-anak terancam untuk tidak melanjutkan pendidikan. Dan ketika mereka tidak melanjutkan pendidikan, ancaman yang paling harus dihadapi adalah perkawinan anak meningkat, perceraian anak meningkat,” paparnya.
Karena itu, Hikmah menilai sudah sepatutnya negara memberikan perlakuan yang setara atau setidaknya proporsional kepada guru dan lembaga pendidikan swasta.
“Negara harus memberikan respon yang sama, merata. Kalau tidak sama, setidaknya proporsional kepada lembaga pendidikan swasta dan guru-guru yang mengajar di dalamnya,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya negara memfasilitasi peningkatan kompetensi guru swasta melalui pelatihan, short course, dan pertemuan rutin yang diselenggarakan oleh dinas pendidikan maupun Kementerian Agama.
“Guru-guru swasta juga jangan hanya menuntut well-being saja. Mereka juga harus menuntut hak yang sama untuk mendapatkan peningkatan kompetensi,” tambahnya.
Selain itu, Hikmah menyorot proses rekrutmen ASN, baik PNS maupun PPPK, terhadap guru madrasah yang dinilai diskriminatif. Ia menyebut guru madrasah sering kali tidak masuk dalam pola rekrutmen otomatis yang diberikan Kemenpan RB.
“Tidak tahu mengapa begitu, di mana salahnya, kok perlakuan diskriminatif ini tetap muncul,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan agar ketika guru swasta diterima sebagai PPPK, mereka dapat kembali ditugaskan di sekolah asal, bukan dipindahkan ke sekolah negeri. Padahal yang diterima di PPPK kebanyakan guru yang menjadi jantung sekolah.
“Banyak guru swasta yang diterima PPPK lalu ditugaskan ke sekolah negeri, padahal mereka adalah guru utama, bahkan kepala sekolah di lembaga swasta. Bisa dibayangkan bagaimana lemahnya sekolah swasta jika kehilangan tenaga-tenaga kompeten itu,” tandas Hikmah.
Ia pun mengimbau agar pemerintah memberikan perhatian menyeluruh terhadap nasib guru, baik dari sisi regulasi kepegawaian, peningkatan kompetensi, maupun kesejahteraan.
“Monggo, kita menghimbau kepada negara, responnya itu harus menyeluruh ya. Dari sisi tata aturan kepegawaian, dari sisi regulasi peningkatan kompetensi guru maupun well-being guru,” pungkasnya. Nang














