Menganalisis Ekosistem Kreatif Ponorogo: Dilema Posisi Media dalam Penguatan Kota Kreatif UNESCO
Oleh: W. Arso, S.I.Kom
Penulis adalah: Founder media siber kanalindonesia.com dan ketua PWI Ponorogo periode 2025-2028
Penetapan suatu wilayah ke dalam UNESCO Creative Cities Network (UCCN) merupakan pengakuan global atas kekayaan budaya dan ekosistem kreatif daerah tersebut. Bagi Ponorogo, penetapan resmi sebagai Kota Kreatif Dunia dalam kategori Crafts and Folk Art (Kriya dan Seni Rakyat) menegaskan identitasnya sebagai kota dengan ekosistem kreatif yang berakar kuat pada tradisi, khususnya melalui kesenian Reog dan kerajinan khasnya.
Pengakuan ini, yang disambut dengan kebanggaan kolektif oleh warga dan pelaku kreatif, secara ilmiah menempatkan Ponorogo di bawah sorotan (dan beban) untuk mengkonversi modal kultural menjadi nilai ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Namun, validasi ini juga memunculkan tantangan struktural, terutama mengenai integrasi dan peran sektor kreatif lain yang tidak menjadi kategori utama penetapan, seperti Media Arts.
Dalam konteks UCCN, kategori Crafts and Folk Art mewajibkan Ponorogo untuk memprioritaskan konservasi, regenerasi, dan komersialisasi produk yang berorientasi pada tradisi kriya dan seni pertunjukan. Secara teori, keberhasilan program ini memerlukan dukungan sinergis dari tujuh domain kreatif UCCN lainnya, termasuk Media Arts, Desain, dan Gastronomi.
Namun, di tingkat praksis, penetapan kategori spesifik ini sering kali menciptakan paradoks hierarki ekonomi kreatif. Bagi pelaku media, khususnya media siber, yang merupakan tulang punggung modernisasi dan diseminasi informasi, terdapat kekhawatiran yang valid mengenai posisi mereka.
Media Arts dalam ekosistem ini memiliki fungsi vital sebagai:
- Diseminator Utama: Media berfungsi mempromosikan Crafts and Folk Art Ponorogo ke pasar nasional dan global.
- Dokumentasi dan Konservasi Digital: Melalui narasi visual dan digital, media membantu melestarikan tradisi secara non-fisik.
- Pencipta Nilai Tambah: Media (misalnya, videografi, branding digital, web series berbasis Reog) dapat menghasilkan produk kreatif baru yang mendukung sektor utama.
Kekhawatiran bahwa sektor media akan dipandang sebagai “partner gratisan” adalah risiko sistemik yang mengancam keberlanjutan ekonomi kreatif di tingkat lokal. Dalam skema pembangunan berbasis kategori tunggal, alokasi sumber daya, pendanaan, dan perhatian cenderung terfokus pada Kriya dan Seni Rakyat.
Jika sektor media hanya dianggap sebagai alat promosi tanpa pengakuan nilai ekonomi yang setara, dampaknya adalah:
- Marjinalisasi Ekonomi: Pelaku media terpaksa berada di “pinggir arena ekonomi kreatif”. Mereka dituntut untuk memfasilitasi dan membesarkan kategori utama tanpa menerima kompensasi atau insentif yang proporsional.
- Ancaman Free Riding: Sektor utama dapat mengambil manfaat penuh dari jasa publikasi dan branding media tanpa investasi balik yang memadai, mengakibatkan media menjadi “penonton, penggembira, tim hore” yang menghadapi ancaman krisis finansial.
- Kematian Kreativitas: Tanpa dukungan ekonomi yang berkelanjutan, inovasi dalam Media Arts akan terhenti, yang pada akhirnya akan merugikan sektor Crafts and Folk Art sendiri karena kehilangan platform promosi dan modernisasi yang efektif.
Pengakuan UCCN adalah pintu gerbang bagi Ponorogo menuju ekonomi kreatif global. Namun, untuk benar-benar mengoptimalkan potensi ini, dibutuhkan kerangka kerja holistik yang memastikan inklusi dan pengakuan nilai ekonomi seluruh sektor kreatif.
Tantangan terbesar bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah dan pelaku kriya, adalah merumuskan kebijakan yang:
- Mengintegrasikan Media Arts: Memastikan media terlibat bukan hanya sebagai fasilitator, tetapi sebagai mitra ekonomi yang menerima alokasi dan insentif pembangunan.
- Menghitung Invisible Value: Mengakui nilai tidak langsung (nilai promosi, branding, dan diseminasi) yang diberikan oleh media, dan mengkonversikannya menjadi dukungan finansial atau proyek bersama.
Dengan demikian, pengakuan UNESCO dapat menjadi momentum untuk membangun ekosistem kreatif yang benar-benar adil dan berkelanjutan, di mana setiap sektor, termasuk Media Arts, dapat “berbagi hidangan” ekonomi, bukan sekadar menjadi “tim hore” yang menahan lapar.



















