Saat Bupati dan Sekda Terjaring KPK, Pemerintahan Ponorogo Alami Kiamat Birokrasi

ARSO 09 Nov 2025
Saat Bupati dan Sekda Terjaring KPK, Pemerintahan Ponorogo Alami Kiamat Birokrasi

Oleh : W. Arso, S.I.Kom

Penulis adalah :

  1. Founder media online kanalindonesia.com
  2. Ketua PWI Ponorogo
  3. Wartawan dengan sertifikasi (UKW) Utama

OPINI, KANALINDONESIA.COM: Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang menjaring Bupati (Sugiri Sancoko) bersama Sekretaris Daerah (Agus Pramono) secara bersamaan, ini bukanlah sekadar krisis, melainkan kelumpuhan total (total paralysis) bagi pemerintahan Kabupaten Ponorogo.

Dampaknya akan jauh lebih katastrofis dibandingkan jika hanya salah satu yang tertangkap. Ini menandakan adanya dugaan kongkalikong antara pimpinan politik (Bupati) dan pimpinan birokrasi (Sekda).

Vakum Kekuasaan Ganda karena pemerintah daerah kehilangan dua pucuk pimpinan utamanya secara serentak. Bupati adalah kepala daerah sebagai pengambil kebijakan politik dan penanggung jawab tertinggi. Sekda yang merupakan Jenderal ASN adalah pengendali administrasi, Ketua Tim Anggaran (TAPD), dan penanggung jawab kepegawaian.

Kekacauan Otoritas, akan terjadi kebingungan luar biasa di level Asisten, Kepala Dinas, dan Camat. Mereka kehilangan arah komando. Siapa yang harus mereka ikuti?

    Pembekuan anggaran, karena Sekda (Ketua TAPD) dan Bupati (Pemegang Otoritas Anggaran) tertangkap, semua proses pencairan anggaran, lelang proyek, dan pembayaran akan berhenti total. KPK hampir pasti akan menyegel ruang kerja, komputer, dan dokumen anggaran.

    Stigma dan Ketakutan Massal, ASN akan dilanda ketakutan. Jika Bupati dan Sekda saja tertangkap, artinya dugaan korupsi ini bersifat sistemik. Para Kepala Dinas yang merasa terlibat (misal dalam proyek yang di-OTT-kan atau dalam proses setoran) akan panik, tiarap, atau bahkan mencoba menghilangkan barang bukti.

    Dampak Politik, Tsunami dan Pergeseran Kekuasaan. Secara politik, ini adalah gempa bumi dengan kekuatan tertinggi. Naiknya Wakil Bupati, sesuai undang-undang, Wakil Bupati (Wabup) Lisdyarita akan otomatis naik menjadi Pelaksana Tugas (Plt.) Bupati. Ini menciptakan dinamika politik baru yang luar biasa. Seluruh fokus akan beralih ke Wabup. Wabup akan mewarisi puing-puing dan harus segera mengambil langkah darurat, termasuk menunjuk Plt. Sekda (biasanya berkoordinasi dengan Gubernur).

    Amunisi emas oposisi, DPRD, terutama fraksi di luar koalisi pengusung, akan mendapatkan peluru politik yang tak ternilai. Tidak menutup kemungkinan akan muncul desakan hak interpelasi atau hak angket besar-besaran untuk menyelidiki sejauh mana sistem ini bobrok. DPRD akan menekan Plt. Bupati untuk melakukan perombakan total dan membuka semua data.

    Hancurnya citra partai pengusung, partai politik yang mengusung pasangan bupati-wabup akan tertampar sangat keras. Ini akan merusak elektabilitas partai tersebut secara signifikan menjelang kontestasi pemilu atau Pilkada berikutnya Destabilisasi politik lokal, koalisi yang dibangun bupati akan retak. Loyalitas politik akan bergeser cepat ke Plt. Bupati atau kekuatan politik baru.

    Masyarakat adalah korban utama dari kelumpuhan ini. Pelayanan publik berhenti, proses perizinan (investasi, IMB, usaha), administrasi kependudukan, dan layanan dinas lainnya akan macet total. Pejabat yang berwenang menandatangani dokumen akan takut mengambil keputusan.

    Proyek infrastruktur mangkrak, semua proyek pembangunan yang sedang berjalan (jalan, jembatan, gedung) kemungkinan besar akan berhenti. Kontraktor tidak akan dibayar karena proses anggaran dibekukan untuk penyelidikan.

    Krisis kepercayaan publik (Trust Apocalypse), ini adalah puncak dari krisis. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah akan anjlok ke titik nol. Mereka akan melihat bahwa pimpinan tertinggi politik dan birokrasi mereka terlibat korupsi bersama-sama.

      Iklim Investasi Runtuh, Investor yang sedang atau akan masuk ke Ponorogo akan kabur. Tidak ada yang mau berinvestasi di daerah yang pimpinan tertingginya tertangkap KPK. Ini menciptakan ketidakpastian hukum dan ekonomi jangka panjang.

      OTT ganda ini akan menjadi pintu masuk KPK untuk melakukan cuci gudang di Pemkab Ponorogo. KPK tidak akan berhenti di bupati dan sekda. Ini pasti akan menyasar semua Kepala Dinas (OPD) yang terkait dengan kasus (misal: Dinas PUPR, Perizinan, BPKAD, Bappeda) dan pihak swasta (kontraktor).

        Kemungkinan akan terjadi pemeriksaan masal, dimana puluhan hingga ratusan ASN akan dipanggil sebagai saksi. Ini akan menyedot energi dan waktu birokrasi selama berbulan-bulan ke depan.

        Momentum reset paksa, sisi positif (meski menyakitkan) dari skenario ini adalah terjadinya reset total. Sistem yang korup dipaksa berhenti. Plt. Bupati dan Plt. Sekda yang baru (yang kemungkinan besar akan ditunjuk dari luar lingkaran lama) memiliki mandat untuk membersihkan sistem dari awal.

        Plt. Bupati Lisdyarita dihadapkan pada dua front pertempuran secara bersamaan, Front internal: Kebakaran di dalam rumah akibat lumpuhnya birokrasi dan runtuhnya kepercayaan publik internal. Front Eksternal: menjaga wajah Ponorogo di panggung dunia (UNESCO, UCCN, Investor) yang baru saja diraih dengan susah payah.

        Jika ini terjadi, Plt Bupati tidak bisa sekadar menjalankan pemerintahan, Dia harus menjadi pemimpin krisis (Crisis Leader). Tindakan defensif tidak akan cukup. Plt Bupati harus melakukan ofensif pemulihan secara cepat dan transparan.

        Dengan kondisi seperti ini, Plt Bupati segera mengambil langkah-langkah strategis yang harus ditempuh diantaranya yaitu tindakan darurat internal (Triase Birokrasi). Tujuan utamanya adalah membuat pemerintahan tetap berjalan dan memberi sinyal panglima baru telah mengambil alih.

        Kedua yaitu, pidato publik tanpa teks, dalam 1×24 jam, Plt. Bupati harus tampil di depan publik (media, live streaming).

        Pesan kunci, sampaikan dengan tegas dan empatik. Akui ini adalah musibah, tunjukkan keprihatinan, namun tegaskan dua hal: “Kami menghormati proses hukum KPK dan mendukung penuh pemberantasan korupsi. “Pelayanan publik kepada masyarakat Ponorogo TIDAK BOLEH BERHENTI satu detik pun.”

        Konsolidasi internal darurat, segera kumpulkan semua Kepala Dinas (OPD), Asisten, dan Camat.
        Pesan Kunci (di ruang tertutup): bab lama telah ditutup. Saya memegang komando penuh.
        Ada dua instruksi, pertama, layani rakyat tanpa ada pungli sepeserpun. Kedua, bersikap kooperatif penuh jika dimintai keterangan oleh APH (Aparat Penegak Hukum). Yang bekerja lurus akan saya lindungi, yang coba bermain-main akan saya sikat.

        Segera koordinasi Vertikal dengan melapor resmi kepada Gubernur Jawa Timur dan Mendagri. Tujuanya adalah meminta arahan, dan yang terpenting adalah meminta bantuan untuk menunjuk Penjabat (Pj.) Sekretaris Daerah sesegera mungkin. Idealnya, Pj. Sekda ini berasal dari pejabat senior Pemprov Jatim atau Kemendagri yang bersih dan bertangan dingin untuk membenahi administrasi.

        Kedua melakukan pembenahan birokrasi sapulidi. Ini adalah langkah untuk membuktikan bahwa ini bukan sekadar ganti orang, tapi ganti sistem. Deklarasi sistem meritokrasi total, secara terbuka, Plt. Bupati harus mengumumkan bahwa di bawah kepemimpinannya, tidak ada lagi jual beli jabatan.

        Tindakan nyata, semua pengisian jabatan eselon II dan III ke depan wajib melalui lelang jabatan (open bidding) yang transparan, melibatkan asesor independen, akademisi, dan diawasi oleh KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara).

        Penguatan inspektorat dan whistleblowing system (WBS) dengan memperkuat inspektorat daerah sebagai polisi internal. Beri mereka wewenang penuh (dan anggaran) untuk melakukan audit tanpa pandang bulu. Luncurkan kembali WBS yang kredibel, di mana ASN dan masyarakat bisa melapor dengan aman (anonim) dan laporannya pasti ditindaklanjuti.

        Segera lakukan digitalisasi zona merah, dengan memerintahkan sapu bersih di area yang rawan korupsi (perizinan, pengadaan barang/ jasa, Dinas PUPR, BPKAD). Paksa semua pelayanan menggunakan sistem digital (misal, OSS untuk izin, e-katalog untuk pengadaan) untuk memutus pertemuan fisik dan potensi negosiasi di bawah meja.

        Ofensif Diplomasi (Menjaga Kepercayaan Dunia). Ini adalah bagian paling krusial. Plt. Bupati harus memisahkan oknum pemerintah dari kekuatan rakyat, budaya, dan kreativitas.

        Diplomasi kultural proaktif ke UNESCO, jangan menunggu ditanya. Plt. Bupati harus segera mengirimkan surat resmi (draf bisa dibantu tim ahli/ Kemenlu/ Kemendikbud) kepada Sekretariat UNESCO di Paris (melalui Komisi Nasional UNESCO Indonesia) dan Sekretariat Jaringan Kota Kreatif UNESCO (UCCN).

        Isi Surat: mengakui adanya masalah hukum di level pemerintahan. Menegaskan bahwa pencapaian UCCN dan status Reog (ICH) adalah milik rakyat dan komunitas kreatif Ponorogo, bukan milik oknum pejabat.
        Memberi jaminan bahwa komitmen (action plan) yang diajukan ke UCCN dan rencana aksi pelestarian reog akan berjalan dua kali lipat lebih kuat di bawah kepemimpinan baru yang bersih.

        Bentuk Dewan Penjaga Marwah, Plt. Bupati tidak bisa sendirian. Dia harus segera merangkul dan tampil bersama para maestro reog dan tokoh budayawan, dengan menunjukkan bahwa penjaga asli reog tetap solid. Menunjukan kepada Pelaku Ekonomi Kreatif (UCCN) bahwa komunitas kreatif tetap bergerak. Minta dukungan moral dan pemikiran dari kampus.

        Sesegera mungkin mengadakan sarasehan agung atau konferensi pers bersama mereka. Biarkan para maestro reog dan pelaku kreatif yang berbicara kepada dunia, bahwa budaya dan kreativitas Ponorogo tidak akan mati oleh korupsi.

        Menjamu Investor (Business Continuity Guarantee) denhan mengumpulkan KADIN, HIPMI, dan investor yang sudah ada atau yang berencana masuk.

        Pesan kunci, saya memahami kekhawatiran Anda. Tapi lihat ini sebagai hal positif penyakitnya sedang dibersihkan. Saya, Plt. Bupati, adalah jaminan Anda bahwa berinvestasi di Ponorogo sekarang akan lebih pasti, lebih transparan, dan bebas pungli. Sistem perizinan kami reset menjadi bersih.

        Kuncinya adalah narasi. Plt. Bupati Lisdyarita harus mengubah narasi dari Kabupaten Korupsi menjadi Kabupaten yang berani membersihkan diri demi menjaga amanah budaya dunia. Dia harus memposisikan dirinya sebagai representasi dari Ponorogo yang bersih, kreatif, dan berbudaya yang sedang melawan oknum yang mencoreng nama tersebut.