Wiwin Sumrambah Dorong Literasi Budaya Jadi Fondasi Toleransi Warga Jombang
JOMBANG, KANALINDONESIA.COM – Di tengah arus digitalisasi yang kian mendominasi ruang hidup masyarakat, Anggota DPRD Jawa Timur dari Fraksi PDI-Perjuangan, Wiwin Sumrambah, mengingatkan pentingnya kembali meneguhkan literasi budaya sebagai dasar pembentukan sikap toleran.
Ajakan itu ia sampaikan dalam sebuah sosialisasi bertajuk “Literasi Budaya untuk Membangun Sikap Toleransi Masyarakat” di Desa Sukomulyo, Mojowarno , Jombang pada Rabu (26/11/2025) pagi.
Di hadapan ratusan peserta acara, Wiwin membuka pertemuan dengan penegasan bahwa melemahnya ikatan budaya bukan sekadar persoalan hilangnya tradisi, melainkan hilangnya orientasi moral dalam kehidupan sosial.
“Budaya adalah jati diri bangsa. Ketika kita kehilangan pemahaman terhadap akar budaya sendiri, maka kita kehilangan kompas moral dalam menghadapi perbedaan,” kata Wiwin.
Ia menilai masyarakat tengah menghadapi paradoks: teknologi mempercepat pertukaran informasi, namun pada saat yang sama menyusutkan empati sosial dan kedalaman pemaknaan terhadap nilai budaya.
“Toleransi tidak tumbuh dari ruang digital. Tetapi dari kesadaran budaya yang dipraktikkan sehari-hari.” jelasnya.
Sekolah Dinilai Belum Menjadi Ruang Penguatan Budaya
Dalam paparannya, Wiwin menyoroti peran lembaga pendidikan yang dinilai belum maksimal mengarusutamakan literasi budaya. Padahal sekolah, menurut dia, merupakan ruang strategis untuk menanamkan nilai gotong royong, empati, dan penghargaan terhadap keberagaman sejak dini.
“Banyak anak-anak kita hafal tokoh luar negeri, tetapi tidak mengenal tokoh budaya daerahnya sendiri. Ini tanda bahwa pendidikan formal belum optimal menanamkan kebanggaan terhadap budaya lokal,” ujarnya.
Wiwin mendorong agar sekolah-sekolah memasukkan pendidikan budaya lokal ke dalam kegiatan ekstrakurikuler dan program penguatan karakter.
Menggali Tradisi, Menemukan Toleransi
Sosialisasi tersebut tidak hanya berisi ceramah satu arah. Panitia menggelar sesi diskusi interaktif yang mengajak peserta mengingat kembali praktik budaya yang sarat nilai toleransi: selametan, gotong royong, hingga musyawarah desa. Cerita-cerita yang muncul menampilkan bagaimana tradisi lokal sebenarnya telah lama menjadi benteng harmoni antarwarga.
Siti Aminah, 45 tahun, salah satu peserta acara, mengaku mendapatkan perspektif baru.
“Selama ini kami menganggap budaya hanya urusan masa lalu. Setelah mendengar penjelasan Bu Wiwin, saya justru melihat budaya sebagai jalan menjaga kedamaian di tengah perbedaan. Anak muda perlu diajak bicara soal ini.” singkatnya.
Merawat Harmoni, Menjaga Masa Depan
Menjelang penutupan acara, Wiwin kembali menegaskan bahwa literasi budaya bukan nostalgia, melainkan fondasi keberlanjutan bangsa. Jombang, menurut dia, memiliki sejarah panjang tentang harmoni antarumat dan keberagaman budaya.
“Kalau bukan kita yang merawatnya, siapa lagi?” ujarnya, disambut tepuk tangan para peserta.
Kegiatan itu berakhir dalam suasana hangat dan reflektif. Banyak peserta menilai literasi budaya seharusnya menjadi agenda rutin pemerintah daerah, bukan sekadar gerakan personal.
Di tengah modernisasi yang melaju cepat, pertemuan itu mengingatkan bahwa budaya bukan sekadar ingatan kolektif. Melainkan pedoman untuk menata masa depan yang lebih toleran dan manusiawi.(Faiz)






















