Menguji Eksistensi Fraksi dalam UU MD3

ARSO 18 Sep 2025
Menguji Eksistensi Fraksi dalam UU MD3

JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Dua mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya yaitu Dian Prahara Batubara dan Moch. Jian Niam Al Kamil mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 170 ayat (4) huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para Pemohon menilai penggunaan kata “fraksi” dalam pasal tersebut  tidak mencerminkan DPR sebagai representasi rakyat secara langsung yang sudah semestinya dibawa oleh anggota saat berstatus sebagai bakal calon hingga menjadi anggota resmi DPR.

“Norma yang mengharuskan penyampaian pandangan melalui fraksi ini secara substantif mengaburkan makna tersebut, menjadikan aspirasi daerah tidak tersampaikan secara utuh karena harus melalui filter politik fraksi yang bersifat politik,” ujar Dian Prahara Batubara dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 159/PUU-XXII//2025 pada Kamis (18/9/2025) di Ruang Sidang MK, Jakarta.

Para Pemohon menjelaskan sudah menjadi pemahaman kolektif dalam negara demokrasi yang berlandaskan konstitusi, kekuasaan seharusnya berasal dari rakyat dan dilaksanakan untuk kepentingan rakyat seperti yang telah dijamin dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Namun demikian, Pasal 170 ayat (4) huruf a UU MD3 yang menyatakan “pandangan DPR dalam pembahasan suatu rancangan undang-undang di tingkat pertama diberikan melalui fraksi” justru mengalihkan kekuasaan legislasi dari rakyat (melalui wakilnya) kepada partai politik (melalui fraksi).

Para Pemohon mengatakan pemberlakuan Pasal 170 ayat (4) huruf a UU MD3 dengan adanya kata “fraksi” akan menghambat pertumbuhan daerah karena rumusan kebijakan dan regulasi yang diterbitkan tidak sejalan dengan apa yang sebenarnya dibutuhkan daerah. Hal ini tidak akan dimungkinkan ada bilamana pendapat yang terjadi dalam dinamika penyusunan suatu kebijakan atau regulasi yang menjadi kewenangan DPR dilaksanakan dengan sistem pendapat daerah pemilihan (dapil).

Hal demikian dapat dipahami sebagai praktik hegemoni, yakni penguasaan atas ruang ide dan kebijakan publik oleh kelompok dominan (dalam hal ini, partai politik) dengan cara yang tampak legal secara hukum. Fraksi dalam DPR menjadi instrumen hegemoni partai untuk mengendalikan keputusan politik, termasuk legislasi, yang seharusnya berdasarkan suara dan aspirasi daerah pemilihan.

Peralihan otoritas dari wakil rakyat yang secara konstitusional dipilih oleh rakyat kepada fraksi (yang tidak dipilih langsung oleh rakyat), merupakan bentuk dominasi ideologis yang menafikan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. Dominasi ini bersifat struktural dan sistemik, sehingga berpotensi menghambat prinsip demokrasi partisipatif yang menjadi bagian dari fondasi sistem ketatanegaraan Indonesia.

Dengan terdapat pemberlakuan pendapat fraksi dalam Pasal 170 ayat (4) huruf a UU MD3, menurut para Pemohon, dapat menimbulkan kerugian konstitusional yang bersifat potensial karena efek negatif dari model pengambilan keputusan oleh fraksi ini adalah bentuk kekaburan sikap partai dan anggota yang tidak dapat diketahui konstituennya. Sebab, tindakan dan konsistensi anggota DPR secara moral dan politis yang didelegasikan oleh rakyat di dapilnya tidak bisa di pertanggungjawabkan, karena suara yang mereka berikan adalah representasi kolektif partai yang tercermin melalui pandangan fraksi, bukan representasi masyarakat sesuai dapilnya.

Adanya pandangan fraksi berpotensi menyebabkan rumusan Undang-Undang tidak sejalan dengan permasalahan lokalitas karena sebagai unsur representasi keterwakilan rakyat dari suatu daerah seharusnya memahami permasalahan dari daerah yang diwakilinya. Seharusnya dilakukan penggantian kata pendapat fraksi guna mendidik pemilih untuk memilih secara rasional pada pemilu berikutnya berdasarkan kapabilitas dan pemahaman bakal calon terhadap daerah pemilihannya.

Dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 170 ayat (4) huruf a UU MD3 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), dan Pasal 28E Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pendapat Daerah Pemilihan”, sebagai bentuk konkret dari mandat rakyat kepada anggota DPR dalam sistem demokrasi perwakilan serta memerintahkan kepada DPR dan lembaga yang berwenang terkait untuk menyesuaikan struktur internal serta tata kerja komisi dan alat kelengkapan lainnya guna memenuhi prinsip keterwakilan daerah pemilihan sebagaimana dimaksud sebagai konsekuensi logis atas perubahan frasa dari “Fraksi” menjadi “Daerah Pemilihan”.

Nasihat Hakim

Perkara ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Dalam sesi penasihatan hakim konstitusi, Arsul mengatakan kata “fraksi” tidak hanya ada di dalam satu pasal yang diuji para Pemohon, melainkan banyak kata “fraksi yang diatur dalam UU MD3. Jika hanya satu pasal mengenai kata “fraksi” yang diminta untuk dimaknai lain, sedangkan kata “fraksi” di puluhan pasal lainnya dimaknai berbeda, maka akan merusak UU MD3 itu sendiri.

“Yang namanya tugas konstitusional atau fungsi konstitusional DPR itu ada apa saja selain undang-undang, fungsi dua yang lain apa, kalau kemudian di fungsi penganggaran itu juga ada kata fraksi juga, kalau yang hanya diganti ini kacau enggak undang-undangnyanya, kan yang namanya fungsi anggaran itu kan juga menyampaikan aspirasi rakyat juga kalau ada usulan dari anggaran dari daerah, fungsi pengawasan juga begitu, itu harus dipikirkan kembali,” jelas Arsul.

Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan para Pemohon dapat memperbaiki permohonan dalam waktu 14 hari. Berkas perbaikan permohonan itu harus diterima Mahkamah paling lambat pada 1 Oktober 2025 pukul 12.00 WIB.