AFDOKGI: Kolegium Saat Ini Rawan Digunakan Kepentingan Kekuasaan Eksekutif

Istimewa
JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Mahkamah Konstitusi (MK) melanjutkan sidang pengujian materiil Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) dalam Perkara Nomor 156/PUU-XXII/2024 dan 182/PUU-XXII/2024 pada Selasa (30/9/2025). MK memanggil Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia (ARSPI), dan Asosiasi Fakultas Kedokteran Gigi Indonesia (AFDOKGI) untuk menyampaikan keterangan terhadap permohonan ini.
Ketua AFDOKGI Suryono mengatakan kolegium idealnya adalah sebagai lembaga independen yang terbebas dari intervensi kekuasaan, sehingga ada kebebasan akademik dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang terbebas dari intimidasi, tekanan politik, atau tujuan penguasa.
“Secara keseluruhan AFDOKGI sependapat dengan pernyataan-pemohon terkait keberadaan kolegium saat ini yang tidak independen, sehingga rawan digunakan untuk kepentingan kekuasaan eksekutif,” ujar Suryono di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Suryono menyebutkan AFDOKGI yang menaungi 45 institusi pendidikan dokter gigi di Indonesia telah menjalin kerjasama dengan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia (KDGI) secara harmonis dalam rangka penyelenggaraan Uji Kompetensi Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Gigi (UKMP2DG) dan penerbitan sertifikat kompetensi bagi peserta yang dinyatakan lulus pada masa sebelum maupun sesudah diundangkannya UU Kesehatan. Dengan diundangkannya UU Kesehatan, keberadaan KDGI mengalami pergeseran, dari yang sebelumnya berada di bawah Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) bergeser menjadi bagian dari Konsil Kesehatan Indonesia yang berada di bawah Kementerian Kesehatan. Begitu juga dengan 10 kolegium spesialistik/ keilmuan kedokteran gigi yang lainnya.
Suryono mengutip Pasal 272 ayat (2) UU Kesehatan yang menyebutkan kolegium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat kelengkapan konsil dan dalam menjalankan perannya bersifat independen. Norma tersebut menempatkan kolegium sebagi alat kelengkapan konsil sementara konsil kesehatan yang ada saat ini berada di bawah Kementrian Kesehatan, bukan menjadi lembaga independen yang terbebas dari unsur eksekutif yang berbeda dengan keberadaan konsil sebelumnya yaitu Konsil Kedokteran Indonesia yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden.
AFDOKGI juga sependapat dengan Pemohon terkait pemberlakuan Pasal 451 UU 17/2023 yang berbunyi “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Kolegium yang dibentuk oleh setiap organisasi profesi tetap diakui sampai dengan ditetapkannya Kolegium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang ini” adalah aturan yang represif dan otoriter. Sebab, kata Suryono, tanpa ada dasar dan alasan yang menyatakan tidak sah berlaku dari kolegium eksisting yang dibentuk oleh ikatan profesi.
Sementara itu, Ketua ARSPI Andi Wahyuningsih Attas mengatakan pihaknya berperan sebagai organisasi yang memiliki kewenangan menjaga mutu pendidikan klinik peserta didik di rumah sakit pendidikan dengan merumuskan dan merekomendasikan usulan kebijakan-kebijakan atau peraturan tentang rumah sakit pendidikan. Dia menjelaskan rumah sakit dapat ditetapkan menjadi rumah sakit pendidikan oleh menteri kesehatan setelah memenuhi persyaratan.
Berdasarkan UU Kesehatan, persyaratan, standar, dan akreditasi untuk penetapan rumah sakit pendidikan dirumuskan oleh Kementerian Kesehatan serta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) dengan melibatkan kolegium. Setidaknya ada sembilan persyaratan, antara lain telah menyelenggarakan pelayanan kesehatan serta memiliki variasi dan jumlah kasus yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan. Selain memenui persyaratan itu, rumah sakit pendidikan juga harus memenuhi standar manajemen dan administrasi pendidikan, standar sumber daya manusia, standar sarana penunjang pendidikan, serta standar perancangan dan pelaksanaan program pendidikan klinik yang berkualitas.
“Penetapan rumah sakit pendidikan itu timnya terdiri dari kementerian, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, Kemdiktisaintek oleh AIPKI, dan dari ARSPI,” kata Andi.
Sebagai informasi, para Pemohon 182/PUU-XXII/2024 terdiri dari Pengurus Besar IDI yang diwakili Ketua Umum Adib Khumaidi dan Sekretaris Jenderal Ulul Albab bersama 52 perorangan lainnya yang berstatus sebagai dokter, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dosen, karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), polisi, TNI, pelajar/mahasiswa, pensiunan, serta ibu rumah tangga. Para Pemohon menguji Pasal 311 ayat (1), Pasal 268 ayat (1), Pasal 270, Pasal 272 ayat (1), Pasal 272 ayat (3), Pasal 258 ayat (2), Pasal 264 ayat (1), Pasal 264 ayat (5), Pasal 291 ayat (2), Pasal 421 ayat (1), Pasal 442, serta Pasal 454 huruf c UU Kesehatan.
Dalam sidang pendahuluan, para Pemohon mengatakan adanya intervensi dan kontrol langsung menteri kesehatan kepada kolegium, wewenang menteri kesehatan dalam menerima peninjauan kembali putusan majelis disiplin profesi, diambil alihnya wewenang organisasi profesi atas pengelolaan pemenuhan satuan kredit profesi (SKP) tenaga medis oleh menteri, serta intervensi dan kendali penuh menteri kesehatan atas penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kedokteran. Petitum yang disampaikan para Pemohon setidaknya ada 14 poin, di antaranya para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 311 ayat (1) UU 17/2023 untuk dimaknai berbunyi “Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan membentuk organisasi profesi untuk dokter adalah Ikatan Dokter Indonesia dan organisasi profesi untuk dokter gigi adalah Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia”; menyatakan Pasal 268 ayat (1) UU 17/2023 untuk dimaknai berbunyi “Untuk meningkatkan mutu dan kompetensi teknis keprofesian Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan serta memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat, untuk Tenaga Medis dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia dan untuk Tenaga Kesehatan dibentuk Konsil Kesehatan Indonesia”; menyatakan Pasal 270 UU 17/2023 untuk dimaknai “Keanggotaan Konsil sepanjang untuk Tenaga Medis berasal dari unsur. a. Pemerintah Pusat; b. organisasi profesi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan; c. Kolegium organisasi profesi; dan d. masyarakat”; menyatakan Pasal 272 ayat (1) UU 17/2023 untuk dimaknai berbunyi “Untuk mengembangkan cabang disiplin ilmu dan standar pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, setiap kelompok ahli organisasi profesi tiap disiplin ilmu kedokteran dapat membentuk Kolegium yang dibentuk organisasi profesi”; menyatakan Pasal 272 ayat (3) UU 17/2023 untuk dimaknai “Kolegium untuk Tenaga Medis memiliki peran: a. menyusun standar kompetensi Tenaga Medis; dan b. menyusun standar kurikulum pelatihan berkelanjutan Tenaga Medis dilakukan oleh organisasi profesi”; menyatakan Pasal 258 ayat (2) UU 17/2023 untuk dimaknai berbunyi “Pelatihan dan/atau kegiatan peningkatan kompeterisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh organisasi profesi dan/atau lembaga pelatihan yang terakreditasi oleh organisasi profesi”. Para Pemohon juga mengajukan petitum untuk memaknai kembali sejumlah pasal lainnya yaitu Pasal 264 ayat (1) huruf b, Pasal 264 ayat (5), Pasal 291 ayat (2), Pasal 421 ayat (1), Pasal 442, serta Pasal 454 huruf c UU 17/2023.
Sementara, Perkara 156/PUU-XXII/2024 diajukan Perkumpulan Konsultan Hukum Medis dan Kesehatan (PKHMK) serta dua orang advokat terhadap Pasal 304 UU Kesehatan. Pasal 304 UU Kesehatan berisi ketentuan penerapan penegakan disiplin profesi dalam rangka mendukung profesionalitas tenaga medis dan tenaga kesehatan. Menteri membentuk majelis yang melaksanakan tugas di bidang disiplin profesi. Majelis dimaksud bersifat permanen atau ad hoc yang menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin profesi yang dilakukan tenaga medis dan tenaga kesehatan. Aturan tersebut kemudian diturunkan dalam ketentuan pelaksananya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang mengatur mengenai pembentukan, tugas fungsi, dan keanggotaan MDP.
Menurut para Pemohon, tidak tepat apabila majelis etik serta merta diberikan kewenangan untuk memberikan rekomendasi dan memeriksa terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan pidana atau perdata. Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan Pasal 308 ayat (1) sepanjang frasa “terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304”, Pasal 308 ayat (2) sepanjang frasa “terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304”, ayat (3), ayat (4), ayat (5) ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) UU Kesehatan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.(*)