Risiko Penggunaan Bahasa Asing dalam Nota Kesepahaman

JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Feri Kurniawan (Pemohon I) dan Fatchurozak (Pemohon II) memohonkan uji materiil Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU BBLNLK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 173/PUU-XXIII/2025 dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo pada Kamis (09/10/2025) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 menyatakan, “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.”
Sebagai seorang calon advokat, Pemohon I dipersiapkan untuk menjalankan fungsi-fungsi advokat secara profesional, yang mencakup pekerjaan untuk menyusun dan/atau menelaah dokumen-dokumen hukum, seperti perjanjian dan nota kesepahaman. Namun keberadaan Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 berpotensi menimbulkan kerugian konstitusional Pemohon dalam menyusun nota kesepahaman dan/atau perjanjian bagi klien yang merupakan subjek hukum Indonesia. Pemohon I menilai akan dibayangi risiko hukum berupa keabsahan suatu perjanjian apabila nota kesepahaman dan/atau perjanjian hanya menggunakan bahasa asing.
Sementara dalam melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap perjanjian berbahasa asing bagi klien yang merupakan subjek hukum Indonesia, Pemohon I tidak akan dapat memberikan kesimpulan yang definitif terhadap keabsahannya. Selain itu, ketika dalam memberikan nasihat hukum, Pemohon I tidak akan dapat memberikan pendapat hukum (legal opinion) yang definitif dan pasti kepada klien yang merupakan subjek hukum Indonesia mengenai akibat hukum dari perjanjian yang hanya dibuat dalam bahasa asing. Hal ini kemudian dapat mencederai integritas profesional Pemohon I. Adapun dalam proses litigasi, Pemohon I dan kliennya akan dihadapkan pada risiko interpretasi hakim yang berbeda-beda di berbagai tingkatan pengadilan, yang dapat berujung pada putusan yang tidak prediktabel dan inkonsisten.
“Untuk mengatasi kekhawatiran maka menurut para Pemohon terhadap nota kesepahaman dan perjanjian yang tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia oleh subjek hukum Indonesia dan saat ini masih berlaku, para Pemohon menilai terhadap nota kesepahaman dan perjanjian tersebut akan baru menjadi batal demi hukum apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan Mahkamah Konstitusi dijatuhkan tidak dibuat versi Bahasa Indonesia-nya. Jangka waktu ini menurut para Pemohon cukup rasional agar para pihak dalam nota kesepahaman dan perjanjian-perjanjian tersebut mempunyai waktu yang cukup untuk membuat versi Bahasa Indonesianya,” sampai prinsipal.
Sementara itu, Pemohon II yang berprofesi sebagai penerjemah tersumpah (sworn translator) bertugas memberikan jaminan formal dan sertifikasi berupa dokumen termasuk perjanjian dan nota kesepahaman yang berbahasa asing memiliki kesetaraan makna dan kekuatan hukum yang sama dengan versi terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, ataupun sebaliknya. Menurut Pemohon II, adanya ketidakjelasan sanksi atas pelanggaran atas kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam pembuatan nota kesepahaman dan perjanjian yang melibatkan subjek hukum Indonesia, sebagaimana tertera dalam Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009, berakibat munculnya penafsiran bahwa nota kesepahaman dan perjanjian berbahasa asing tanpa versi Bahasa Indonesia tetap sah. Oleh karenanya, secara aktual berakibat pada menurunnya permintaan atas jasa penerjemahan nota kesepahaman maupun perjanjian. Hal ini sejatinya merupakan salah satu sumber utama penghasilan Pemohon II, sehingga hal ini nyata telah menggerus sumber pendapatan utamanya.
Untuk itu, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan adalah inkonstitusional secara 23 bersyarat (conditionally unconstitutional) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia, yang apabila tidak dipenuhi menjadikan nota kesepahaman dan perjanjian tersebut batal demi hukum.”
Atas permohonan ini, Hakim Kostitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan catatan tentang perlu penguatan asas dan perbandingan dengan negara lain terkait pemberlakuan seperti norma yang diujikan pada perkara ini. “Kemudian petitum coba dicermati untuk diminta batal demi hukum, ini menimbulkan risiko instabilitas hukum, coba dipertimbangkan dampaknya,” terang Daniel.
Sementara Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengatakan perlu bagi para Pemohon untuk memperhatikan alasan permohonan dan memperkuat kedudukan hukum. “Jika legal standing-nya ada, maka hati-hati di substansinya. Karena di permohonan ini ada dua Pemohon, tetapi masih perlu penguatan kerugian konstitusionalnya aktual dan potensialnya itu di mana? Apakah pernah ada kliennya yang perjanjiannya dengan pihak asing itu bermasalah karena tidak diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, jika ada maka bisa disampaikan. Kalau sebagai advokat, posisi dirugikannya di mana, coba digali lagi agar dinilai tak ada legal standing sebagai advokat,” jelas Guntur.
Pada akhir persidangan, Ketua MK Suhartoyo mengatakan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Rabu, 22 Oktober 2025 pukul 12.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Selanjutnya Mahkamah akan menggelar sidang kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan para Pemohon.