Membuka Akses Informasi Ijazah Pejabat dan Mantan Pejabat

JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Seorang advokat bernama Komardin mengajukan uji materiil Pasal 17 huruf g, Pasal 17 huruf h angka 5, dan Pasal 18 ayat 2 huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Pendahuluan Perkara Nomor 174/PUU-XXIII/2025 yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani ini digelar di Ruang Sidang Panel pada Jumat (10/10/2025).
Pasal 17 huruf g UU 14/2008 menyatakan, “Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang.”
Pasal 17 huruf h angka 5 UU 14/2008 menyatakan, “Catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan nonformal.”
Pasal 18 ayat (2) huruf a UU 14/2008 menyatakan, “Pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuan tertulis.”
Pemohon menilai Pasal 17 huruf g UU 14/2008 menjadi multitafsir karena ada yang berpendapat bahwa ijazah merupakan dokumen rahasia dan ada pula yang mengatakan ijazah bukan dokumen rahasia sehingga menimbulkan kegaduhan. Sementara itu, apabila berpedoman pada Pasal 18 ayat 2 huruf a UU 14/2008 justru menyatakan ijazah sebagai dokumen rahasia sehingga tidak bisa dilihat jika pemilik ijazah tersebut tidak memberikan persetujuan secara tertulis. Pertentangan norma-norma ini menurut Pemohon dapat berimplikasi mengganggu ketertiban nasional dan merusak sistem pendidikan.
“Kerugian saya adalah terjadinya gaduh di mana-mana yang menyebabkan usaha-usaha kami sulit, sering ada demo, perdebatan, termasuk situasi ekonomi dengan adanya ini ikut terganggu juga,” kata Komardin menjelaskan kerugian konstitusional yang dirasakan dengan keberlakuan pasal a quo.
Sebagai contoh kasus, Pemohon menceritakan tentang ijazah mantan presiden yang lulusan Universitas Gadjah Mada namun universitas tidak memberikan keterangan yang disertai bukti sehingga situasi semakin gaduh. Dalam hal ini, Pemohon melakukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum ke Pengadilan Negeri Sleman terhadap sikap dari universitas tersebut. Selain itu, Pemohon juga berupaya mengajukan mediasi agar dokumen yang membuat gaduh tersebut dihadirkan di pengadilan, namun lagi-lagi UGM tidak bersedia. Pemohon juga mengajukan permintaan Informasi Publik namun permintaan tersebut tidak direspon dengan alasan dokumen yang dimaksudkan merupakan bagian dari dokumen yang dikecualikan.
Untuk itu, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 17 Huruf (g) UU KIP yang berbunyi “Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang adalah informasi dikecualikan,” tetapi skripsi, Ijazah seorang pejabat, mantan pejabat negara dan atau semua yang telah digaji dengan menggunakan uang negara tidak termasuk dokumen yang dikecualikan dan dapat diminta jika dibutuhkan keabsahannya oleh publik.
Pemohon juga memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 17 Huruf (h) angka 5 UU KIP yang berbunyi “Catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan nonformal merupakan dokumen dikecualikan,” tetapi Skripsi, Ijazah seorang pejabat, mantan pejabat negara dan atau semua yang telah digaji dengan menggunakan uang negara tidak termasuk dokumen yang dikecualikan dan dapat diminta jika dibutuhkan keabsahannya oleh publik.
Kemudian, Pemohon memohon agar Mahkamah Pasal 18 ayat 2 huruf a UU KIP yang berbunyi “Pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuan tertulis; dan/atau pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuan tertulis,” tetapi Skripsi, Ijazah seorang pejabat, mantan pejabat negara dan atau semua yang telah digaji dengan menggunakan uang negara tidak termasuk dokumen yang dikecualikan dan dapat diminta jika dibutuhkan diuji keabsahannya oleh publik sehingga tidak memerlukan persetujuan tertulis dari pemiliknya.
Selain itu, Pemohon meminta Mahkamah dapat menyatakan bahwa skripsi dan ijazah yang dimiliki oleh pejabat publik/ASN bukan dokumen yang dikecualikan dan dikeluarkan dari Pasal 17 huruf g dan h; dan menyatakan bahwa baik skripsi, Ijazah, maupun surat keterangan lainnya bukan termasuk dokumen dikecualikan berdasarkan undang-undang Nomor 14 tahun 2008 pasal 17, bagi pejabat publik/ASN atau pegawai/pejabat BUMN baik yang masih aktif maupun sudah pensiun dan dapat diminta oleh publik jika dokumen tersebut digunakan untuk dipelajari, diperiksa karena dicurigai palsu oleh instansi yang memiliki kompetensi atau dapat diminta melalui pengadilan baik pengadilan Tata Usaha Negara maupun Pengadilan Negeri demi kepastian hukum.
Atas permohonan ini, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur memberikan catatan tentang perlunya kehati-hatian Pemohon dalam mengutip kalimat yang tidak baku, sehingga naskah permohonan menjadi lebih tegas dan tepat.
“Dasar hukum yang digunakan pada permohonan ini masih perlu disesuaikan dengan contoh putusan dari laman MK yang sudah menjadi yurisprudensi, menjadi rujukan dalam menulis (permohonan) yang benar,” jelas Ridwan.
Sementara Hakim Konstitusi Arsul Sani menasihati agar Pemohon membaca Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 7 Tahun 2025 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 7/2025).
“Selain itu, Pemohon membaca putusan MK yang mengabulkan, yang memuat duduk perkara di dalamnya ada kewenangan Mahkamah hingga petitum, ini penting dalam mengajukan permohonan,” terang Arsul.
Kemudian Wakil Ketua MK Saldi Isra meminta Pemohon menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami dari berlakunya pasal yang diujikan.
“Masuk ke legal standing, kami akan lihat pasal dalam konstitusi mana hak bapak yang dirugikan, itu harus disebutkan. Kalau tidak dibatalkan maka akan merugikan Pemohon, pelajari nanti bagaimana merumuskan legal standing dengan baik,” sampai Saldi.
Pada akhir persidangan, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Kamis, 23 Oktober 2025 ke Kepaniteraan MK. Selanjutnya Mahkamah akan menggelar sidang kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan para Pemohon. (Tim)