KPK Telusuri Aset dan Pihak Lain Terlibat Korupsi K3 Kemnaker

Foto : Istimewa
JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Komisi Pemberantasan korupsi(KPK) terus mengembangkan penyidikan kasus dugaan korupsi pengurusan sertifikasi K3 di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dengan fokus menelusuri aliran dana.
Menurut Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, penyidik menggunakan metode follow the money dibantu oleh PPATK untuk melacak pihak-pihak yang menerima total Rp 81 miliar dari hasil pemerasan ini, serta menelusuri aset yang dibeli.
“Penyidik melakukan follow the money,” kata Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, saat dimintai konfirmasi pada Ahad, 19 Oktober 2025.
Kasus yang menjerat 11 tersangka, termasuk mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer, ini terungkap dari praktik pemerasan selisih tarif K3.
KPK berkomitmen mendalami kasus sejak tahun 2019 untuk mengidentifikasi kemungkinan keterlibatan oknum Kemnaker lain.
KPK bekerja sama dengan PPATK untuk menyelidiki aliran uang terkait kasus korupsi ini. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah ada pembelian aset yang dilakukan menggunakan uang hasil tindak pidana korupsi tersebut.
“Kemungkinan besar nanti masih akan ada kendaraan lain yang belum terungkap dan mungkin masih ada di tangan pihak-pihak tertentu,” kata Ketua KPK Setyo Budiyanto pada 22 Agustus 2025.
KPK juga masih menganalisis apakah ada pegawai lain di Kemnaker yang terlibat dalam dugaan korupsi ini.
Hal itu karena kasus ini sudah berlangsung sejak tahun 2019 hingga mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, ditangkap oleh KPK.
“Kita akan melanjutkan investigasi bersama Pak Deputi dan Kasatgas penyidikan. Penelusuran akan dilakukan hingga awal tahun 2019,” ujarnya.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Immanuel Ebenezer sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengurusan sertifikasi K3.
Status tersangka juga diberikan kepada 10 orang lain yang terlibat dalam operasi penggeledahan. Mereka dikenai pasal 12 ayat (e) dan/atau pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta pasal 64 ayat (1) dan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kelimabelas tersangka melakukan tindak pidana korupsi dengan memanfaatkan celah tarif dalam pengurusan sertifikasi K3.
Tarif resmi pengurusan sertifikat K3 adalah sekitar Rp275 ribu. Namun, berdasarkan temuan KPK, para pekerja atau buruh harus membayar hingga Rp6 juta untuk mendapatkan sertifikasi tersebut.
Perbedaan antara tarif resmi dan tarif yang diterima membuat para tersangka mengambil keuntungan dari selisih biaya tersebut.
Uang hasil selisih itu kemudian dialirkan ke berbagai pihak, dengan total mencapai Rp81 miliar.
Uang hasil aliran tersebut digunakan oleh para tersangka untuk tujuan pribadi, seperti belanja, hiburan, pembayaran muka rumah, serta pembelian aset, termasuk beberapa kendaraan roda empat.
Uang tersebut juga digunakan untuk memasukkan modal ke tiga perusahaan yang terkait dengan jasa penyelenggara K3.








