Sumpah Pemuda Jadi Cermin Perjuangan Akses Tanah dan Air Bagi Rakyat Kecil
CIREBON, KANALINDONESIA.COM – Momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-97 menjadi refleksi penting bagi generasi muda untuk kembali memahami makna sejati dari ikrar bersejarah yang diucapkan pada 28 Oktober 1928. Tokoh pemuda Kota Cirebon, Lukman Nurhakim, S.Pd.I., M.Si., M.H., mengingatkan bahwa nilai-nilai dalam Sumpah Pemuda bukan sekadar seremonial, tetapi harus diwujudkan dalam perjuangan nyata untuk keadilan sosial, terutama terkait penguasaan tanah dan air di Indonesia.
“Para pemuda pada 1928 bersumpah dalam satu tekad: Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Indonesia. Nilai pertama, Satu Tanah Air, bukan hanya simbol geografis, tetapi juga komitmen bersama bahwa tanah dan air dikuasai serta dikelola untuk kesejahteraan seluruh rakyat,” ujar Lukman dalam refleksinya, Senin (28/10/2025).
Ia menuturkan, dalam sejarahnya, Soekarno yang saat itu berusia 27 tahun bahkan mengusulkan agar peserta Kongres Pemuda II dibatasi maksimal berusia 25 tahun. Hal itu menunjukkan bahwa semangat dan idealisme kaum muda menjadi motor utama perubahan bangsa.
Namun, Lukman menilai bahwa makna “Satu Tanah Air” kini mulai terkikis oleh realitas ketimpangan sosial dan ekonomi. Banyak rakyat, kata dia, masih hidup di atas tanah kontrakan, tidak memiliki lahan sendiri, bahkan terancam tergusur kapan saja.
“Masih banyak warga Indonesia yang ber-KTP di atas tanah sewa. Banyak tanah desa sudah dikuasai pemilik modal besar, sementara petani penggarap bisa kehilangan lahan kapan saja. Bahkan untuk mendapatkan air bersih pun rakyat kecil harus membayar mahal,” ujarnya.
Menurutnya, kondisi ini berbanding terbalik dengan semangat Sumpah Pemuda yang seharusnya menjamin akses adil terhadap sumber daya alam. Ia juga menyoroti bahwa berbagai program pemerintah seperti Kredit Koperasi Merah Putih tanpa bunga dan MBG (Makan Bergizi Gratis) memang membantu masyarakat, namun belum cukup menyelesaikan akar persoalan ketimpangan ekonomi.
“Pertumbuhan ekonomi rakyat kecil masih lambat, sementara pengangguran tumbuh lebih cepat dibanding lapangan kerja baru,” tambahnya.
Lebih jauh, Lukman mengajak masyarakat untuk tidak hanya menyalahkan elit atau penguasa atas kondisi tersebut, karena mereka juga dipilih oleh rakyat sendiri. Ia menekankan perlunya kesadaran kolektif dan tanggung jawab bersama dalam mengembalikan makna Sumpah Pemuda sebagai fondasi keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh bangsa.
“Pertanyaannya sekarang, apakah kita masih merasa memiliki satu tanah air yang sama dengan seluruh bangsa Indonesia?” tutupnya dengan nada reflektif.








