Marsinah: Nyanyian Sunyi dari Pabrik Arloji, Abadi dalam Pelukan Ibu Pertiwi

ARSO 10 Nov 2025
Marsinah: Nyanyian Sunyi dari Pabrik Arloji, Abadi dalam Pelukan Ibu Pertiwi

SOSOK AKTIVIS BURUH - Marsinah aktivis buruh. Sosok Aktivis Marsinah Diusulkan Dapat Gelar Pahlawan Nasional

JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Di tengah upacara Hari Pahlawan yang khidmat, sebuah nama kembali bergema, membawa kisah pilu dan keberanian yang tak lekang dimakan waktu: Marsinah. Setelah tiga dekade lebih, aktivis buruh yang gugur secara tragis ini akhirnya diresmikan negara sebagai Pahlawan Nasional. Pengakuan ini bukan sekadar gelar, melainkan sebuah penegasan bahwa pengorbanan buruh sederhana demi keadilan adalah esensi dari kepahlawanan sejati.

Marsinah, lahir di Nglundo, Nganjuk, pada tahun 1969. Ia bukanlah putri bangsawan atau tokoh politik ternama. Ia hanyalah seorang buruh pabrik arloji di PT Catur Putra Surya (CPS), Sidoarjo, yang tumbuh dalam keterbatasan. Dibesarkan oleh nenek dan bibinya, Marsinah mengenal kerasnya hidup sejak kecil, menjual kue untuk membantu keluarga.

Keterbatasan ekonomi tak pernah memadamkan kobaran semangat belajarnya. Ia dikenal rajin membaca, cerdas, dan bermimpi melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum. Namun, takdir membawanya ke lantai pabrik. Di sanalah, ia menyaksikan sendiri ketidakadilan yang menimpa rekan-rekan kerjanya: upah yang minim, hak-hak yang diabaikan, dan intimidasi.

Tahun 1993, Marsinah berdiri di garis depan. Saat perusahaan menolak menaikkan upah buruh sesuai anjuran pemerintah, ia bersama rekan-rekan buruh lainnya bergerak. Marsinah, meski seorang perempuan muda, tampil sebagai orator ulung dan negosiator yang cerdas. Ia memimpin mogok kerja, menyuarakan tuntutan sederhana: hak hidup yang layak bagi pekerja.

Keberaniannya begitu menonjol. Ketika 13 buruh lain diintimidasi dan dipaksa mengundurkan diri oleh aparat militer setempat, Marsinah menolak menyerah. Ia lantang mengancam akan membongkar rahasia perusahaan jika keadilan tidak ditegakkan.

Namun, suara kebenaran itu dibungkam dengan cara yang paling keji.

Pada 5 Mei 1993, Marsinah menghilang. Tiga hari kemudian, jasadnya ditemukan di gubuk di hutan Wilangan, Nganjuk, dalam kondisi mengenaskan. Hasil visum menunjukkan Marsinah meninggal akibat penganiayaan dan kekerasan seksual yang brutal. Ia dibunuh karena keberaniannya, karena ia berani menuntut hak.

Tragedi ini menjadi simbol abadi perjuangan hak asasi manusia (HAM) dan buruh di era Orde Baru. Kasusnya, yang hingga kini belum tuntas mengungkap semua pelaku yang bertanggung jawab, telah menjadi luka menganga dalam sejarah penegakan hukum dan HAM Indonesia.

Hari ini, 32 tahun setelah ia gugur, pengakuan tertinggi datang dari negara. Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah disambut haru. Kakak Marsinah, Marsini, tak kuasa menahan air mata saat menerima penghargaan tersebut di Istana Negara.

“Terima kasih, Marsinah. Kamu sudah membawa keponakanmu, adikmu, saya, sampai ke Istana Presiden ini,” ujar Marsini, dengan suara bergetar, mewakili jutaan buruh yang terwakili dalam perjuangan adiknya.

Marsinah mengajarkan kita bahwa pahlawan tak selalu mereka yang mengangkat senjata di medan perang. Pahlawan bisa jadi adalah seorang buruh pabrik, dengan gaji pas-pasan, yang berani mengangkat suara menentang ketidakadilan.

Gelar Pahlawan Nasional ini menjadi pengingat abadi bagi bangsa Indonesia: perjuangan untuk martabat pekerja adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan untuk kedaulatan dan keadilan sosial. Semangat Marsinah kini telah terukir dalam sejarah, sebagai api yang takkan pernah padam, menyinari jalan bagi kaum buruh untuk terus berjuang.