JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Perubahan cuaca ekstrem yang terjadi akhir-akhir ini diperparah ulah manusia membuka lahan perkebunan di areal hutan menimbulkan tren bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, tanah bergerak dan banjir bandang.
Untuk itu segera dilakukan penguatan upaya mitigasi perubahan iklim Indonesia yang saat ini sedang menjadi sorotan dunia sebagai Presidensi G20 sepanjang tahun ini.
Demikian dikatakan Ahli Hidrologi Yanto, PhD. saat menjadi pembicara diskusi publik dwi mingguan yang diselenggarakan Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) dan Barusan Nusantara (BN) dengan bertema “Kaitan Cuaca Ekstrem dan Bencana Hidrometeorologi” di Jakarta, Rabu (28/9/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tren jumlah bencana Hidrometeorologi selalu naik setiap tahun yang mulai terjadi tahun1980 di mana awal terjadinya perubahan iklim,” ujar Yanto.
Dimoderatori Sekjen PJMI W. Suratman, Yanto mengatakan bahwa kebutuhan untuk melakukan upaya dan strategi pemerintah dalam penanganan perubahan iklim sangat mendesak karena bencana kekeringan dan banjir semakin berdampak pada kehidupan banyak orang, khususnya masyarakat Indonesia.
“Kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim perlu ditingkatkan, selain tentunya dengan cepat melakukan pengurangan emisi karbon,” katanya.
Yanto juga menyoroti pentingnya menanamkan kesadaran pada masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana agar masyarakat lebih siap dan tidak khawatir akan adanya ancaman bencana yang bisa datang kapan saja.
“Ketangguhan Bencana pada masyarakat diharapkan menjadikan masyarakat mengerti bagaimana menyikapi bencana hidrometeorologi yang sebenarnya,” ucapnya.
Yanto juga memaparkan merujuk data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sejak awal tahun 2022 hingga Selasa (27/9), tercatat 2.597 bencana terjadi di Indonesia yang didominasi oleh bencana cuaca ekstrem, banjir dan tanah longsor.
Bencana alam menimbulkan korban meninggal dunia 144 jiwa, hilang 25 jiwa, 750 luka-luka dan terdampak dan mengungsi 3.010.512 jiwa.
Adapun, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat telah mengeluarkan beberapa peringatan dini cuaca ekstrem. Sejumlah wilayah yang masuk ke dalam kategori waspada potensi cuaca ekstrem meliputi beberapa kawasan, mulai dari Aceh hingga Papua Barat.
Rangkaian peristiwa bencana hidrometeorologi terjadi saat penyelenggaraan Presidensi Indonesia di G20, saat pemerintah berkomitmen untuk mengatasi perubahan iklim dan mengelola lingkungan secara berkelanjutan.
Secara geografis, Indonesia berada di wilayah lingkaran cicin api pasifik (ring of fire) dimana merupakan pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik, menyebabkan Indonesia sebagai wilayah yang rawan bencana.
Oleh sebab itu, pentingnya bagi warga masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, untuk terus melakukan upaya-upaya kesiapsiagaan menghadapi bencana.
“Paradigma kita terhadap bencana sudah berubah dari respon ke kesiapsiagaan, sejarah transformasi kelembagaan penanggulangan bencana dimulai setelah terjadinya bencana Tsunami Aceh tahun 2004,” jelas Yanto.
Sementara itu, Sekjen Barisan Nasional (BN) Dr. Suryadi Nomi, mengapresiasi diskusi publik dwi mingguan ini. Dia mengharapkan diskusi ini menjadi trendsetter isu-isu yang dapat mencerahkan masyarakat.
“Kerjasama program sinergi ini harus terus berlanjut. Kami memiliki pakar dan cendekiawan yang mumpuni di bidangnya masing-masing,” katanya.
Suryadi juga menyatakan, kehadiran media sangat strategis dalam memberikan edukasi dan peringatan yang dapat merubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik
“Peran media dalam kehidupan sehari-hari yakni sebagai komunikator serta agen perubahan dan sarana interaksi,” pungkasnya. (Rudi_Kanalindonesia.com)