Menu

Mode Gelap
Polda Jatim Musnahkan Narkoba dan Miras Jelang Ramadhan Polda Jatim Beserta Jajaran Ungkap 256 Kasus 3C, 79 Residivis Ditangkap Kejari Surabaya Serahkan SKPP 9 Perkara di Rumah RJ Kelurahan Lontar Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Kecewa Putusan Hakim, Bebaskan Terdakwa Anggota Polisi Eks Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto Juga Divonis Bebas, Begini Fakta Sidangnya

Kanal Budaya dan Wisata · 10 Jul 2021 05:54 WIB

Kyai Ageng Hasan Besari dan Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari Ponorogo


 Kyai Ageng Hasan Besari dan Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari Ponorogo Perbesar

PONOROGO, KANALINDONESIA.COM: Jika ingin mengetahui ragam pesantren di Indonesia, khususnya daerah Jawa, kurang afdhol rasanya kalau belum menelisik lebih jauh keberadaan Pesantren Gebang Tinatar, atau yang sekarang dikenal masyarakat dengan sebutan Pesantren Tegalsari. Pesantren yang terletak di Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo ini adalah cikal bakal seluruh pesantren yang ada di Indonesia.

Seorang peneliti Belanda, Martin Van Bruinessen mengatakan bahwa sebelum keberadaan pesantren Tegalsari ini, belum ditemukan satu bukti-pun yang menunjukkan adanya sistem pesantren di Indonesia. Tentu saja pandangan Martin ini berangkat dari gambaran pesantren sebagaimana yang jamak kita lihat sekarang. Yaitu punya sistem kurikulum, punya masjid beserta pondokannya, dan pastinya ada seorang Kyai yang mengasuh para santrinya.

Dalam klasifikasi tersebut, pada abad 18 Gebang Tinatar-Tegalsari adalah yang pertama. Sewaktu diasuh oleh Kyai Kasan Besari selama 60 tahun (1800-1862 M) Gebang Tinatar-Tegalsari mencapai masa keemasannya. Ribuan santri dari berbagai daerah berduyun-duyun menuntut ilmu di pesantren ini.

Sejauh ini belum diketahui secara pasti kapan persisnya Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari didirikan. Menurut F. Fokkens dalam ‘ De Priesterschool te Tegalsari’ yang diterbitkan 1877, Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari sudah berdiri pada tahun 1742. Kyai Ageng Muhammad Besari, pendiri sekaligus pengasuh pertama pesantren ini dikenal Fokkens sebagai seorang pertapa yang mengasingkan diri. Hidupnya hanya diabdikan untuk beribadah kepada Tuhan. Tiap harinya ia hanya makan dari akar-akaran. Banyak orang yang berdatangan kesana untuk belajar Al-qur’an. Lambat laun pengikutnya semakin banyak dan kemudian menetap di desa yang dikenal dengan nama Tegalsari ini.

Selama dipondok, mereka tidak dipungut biaya sepeserpun. Para santri dari keluarga kaya mencukupi kebutuhan mereka dengan bekal dari keluarganya. Sedangkan santri dari keluarga miskin membantu kyai bekerja di sawah untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Para santri kebanyakan berasal dari luar daerah Ponorogo, seperti Banten, Priyangan, Cirebon, Karawang, Yogyakarta, Surakarta, Kedu, Magelang dan Madiun.

Pada saat diasuh oleh Kyai Kasan Besari, menurut Van Der Chijs, Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari telah memiliki sekitar 3000 an santri. Saking besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok. Bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, seperti desa Nglawu, Bantengan, Malo, Joresan dan lain-lain.

Karena banyaknya orang yang datang dan kemudian menetap di Tegalsari, maka didirikanlah sebuah masjid yang dikelilingi oleh pondokan-pondokan kecil untuk tempat tinggal para santri.

Saat Fokkens mengunjungi Tegalsari, desa itu sudah tampak ramai dan maju. Pohon-pohon rindang berjajar rapi dipinggir-pinggir jalan desa yang dekat dengan pasar Wage itu. Sebuah pasar yang saat Fokkens kesana sudah ramai dikunjungi orang. Rumah-rumah penduduk terlihat besar-besar dengan halamannya yang luas. Memasuki area pesantren, Fokkens sudah mendapati sebuah rumah besar model pendopo dengan temboknya yang tebal. Rumah itu adalah tempat tinggal sang Kyai.

Masjid dibangun terpisah dari rumah kyai. Arsitektur masjid saat itu sudah terlihat mewah dan besar. Beratap dua sirap dan memiliki satu serambi. Lantainya setinggi empat kaki dan diberi tangga. Dibelakang masjid terdapat sebuah makam keluarga.

Di sekeliling masjid terdapat pondokan-pondokan yang terbuat dari bambu. Lantai pondok juga terbuat dari bambu dan dibikin lebih tinggi dari permukaan tanah. Didepannya terdapat teras yang bisa dipakai untuk istirahat. Disetiap kamar terdapat rak dari bambu tempat menyimpan buku dan kertas.

Para santri memiliki lumbung-lumbung padi sebagai tempat menampung kebutuhan makan mereka selama di pondok. Satu lumbung digunakan oleh empat sampai lima orang santri. Mereka menjaganya secara bergantian.

Sejak awal didirikannya masjid dan pondokan-pondokan, Bahasa Arab sudah mulai diajarkan di Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari. Dan pada perkembangannya, kitab-kitab agama Islam juga banyak dikaji di pesantren ini.

Hingga saat ini masih ditemukan beberapa kitab peninggalan masa awal Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari. Sebut saja misalnya Al-Munhati, Jauharuttauhid, Jauharussamin Liummil Barohain dan kitab Tajwid. Tidak diketahui siapa penulis beberapa kitab tersebut. Namun dari tulisannya, diduga penulisnya adalah satu orang dan pernah belajar di Tanah suci Mekah.

Kitab-kitab tersebut menggunakan keterangan berbahasa Arab dan kertasnya juga tidak berasal dari daerah sekitar Tegalsari, melainkan kertas yang identik dengan kertas-kertas yang ada di daerah Arab pada masa lalu. Tidak diketahui pula kapan kitab-kitab itu ditulis, hanya pada halaman pertama kitab Jauharussamin Liummil Barohain tertulis bulan Jumadil Awal tahun Alif.

Selain itu, ditemukan juga Tiga jilid Kitab Fiqh Syarh Fathul Mu’in karangan Zainuddin Al-Malibari. Penulisan kitab Syarh tersebut dilakukan oleh beberapa orang dari beberapa generasi. Penulisnya adalah Muhammad Jalalain, Hasan Ibrahim, Hasan Yahya, Hasan Ilyas, dan Muhammad Besari.

Terdapat juga satu bendel kitab yang dimungkinkan paling tua usianya. Sampulnya terbuat dari kulit dan kertasnya adalah kertas gedok dari Tegalsari. Pada halaman pertama bendelan kitab yang sudah sangat lusuh dan mulai hancur ini terdapat catatan proses terjadinya Desa Tegalsari sebagai ‘tanah perdikan’. Disebutkan juga jumlah penduduk laki-laki dan perempuan yang tinggal disana pada masa awal berdiri. Selanjutnya, di dalam bendelan kitab ini juga terdapat penggalan karya fiqh yang tidak jelas dikutip dari kitab apa. Yang jelas teksnya menggunakan huruf Arab Pegon atau Arab Melayu.

Disamping itu, pada halaman berikutnya juga ditemukan Syarh kitab fiqh yang tidak lengkap berjudul “Al-Muharror” karangan Abul Qosim Arrafi (wafat 1226 M). Diperkirakan syarh kitab ini ditulis oleh Kasan Yahya pada tahun 1800-an. Terdapat juga penggalan kitab Fathul Wahhab karangan Zakariya Al-Ansharei (wafat 1277). Kitab lainnya yang terdapat dalam bendelan kitab itu adalah kitab Faroid. Namun tidak diketahui juga siapa penulis dan tahun penulisan dari kitab yang terakhir ini.

Hal tersebut diatas, juga selaras dengan pandangan Simuh, seorang penulis buku-buku tentang Ronggowarsito. Ia mengatakan bahwa disamping memiliki perpustakaan yang berisi buku-buku agama Islam, Pesantren Tegalsari juga memiliki perpustakaan Kejawen. Kesimpulannya tersebut berangkat dari beberapa fakta tentang Kyai yang membawa Gebang Tinatar-Tegalsari menuju masa kejayaannya, yaitu Kyai Kasan Besari.

Selain terkenal dengan kesaktiannya, Kyai Kasan Besari adalah menantu Pakubuwono IV. Dengan demikian, Kyai Kasan Besari adalah seorang priyayi. Dan sudah menjadi kebiasaan pada waktu itu bahwa setiap priyayi bisa dipastikan mempunyai koleksi kitab-kitab kejawen. Belum lagi, dibawah asuhannya telah lahir seorang pujangga jawa kenamaan Raden Ngabehi Ronggowarsito. Hal ini memperkuat dugaan Simuh.

Selain itu, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh LHKP-PD Muhammadiyah Yogyakarta yang berjudul‘Kesultanan Majapahit’ menyebutkan bahwa ‘Kitab Jangka Jayabaya’ yang sampai saat ini terkenal di masyarakat sebagai karangan Ronggowarsito maupun Prabu Jayabaya dari Kerajaan Kediri, sebenarnya adalah karya Kyai Kasan Besari dari Tegalsari ini. Kitab yang dipercaya masyarakat berisi ramalan ‘Jaman Edan’ dan ‘Ratu Adil’ itu sebenarnya adalah analisis sosial yang akan dijadikan acuan merumuskan ‘program pembudayaan’ di daerah Ponorogo dan sekitarnya. Sebagaimana namanya, ‘Jongko’ adalah ‘Penjongko’ atau hal-hal yang direncanakan.

Jadi ia hanyalah proyeksi bukan ramalan. Karena ditulis dalam bahasa sastra, maka di kemudian hari pesan tersiratnya tak banyak ditangkap oleh masyarakat. Namun demikian, Belanda menangkap tujuan Kyai Kasan Besari ini.

Belanda kemudian menjebloskannya ke dalam penjara selama beberapa tahun. Maka dari itu, penulisan kitab tersebut dilanjutkan oleh muridnya Ronggowarsito. Lebih lanjut, menurut J.F.C Gerishe, seorang ahli Literatur Jawa, selain mengajarkan Al-qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam, Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari juga mengajarkan berbagai macam ilmu kejawen dan ilmu kesaktian. Dalam laporan yang disampaikannya di Nederlands Bijbelgenootschap di Amsterdam, Gerishe mengatakan “Walaupun Tegalsari telah mengajarkan kepada 3000 santrinya bagaimana membaca Al-qur’an, tetapi disisi lain, disana juga mengajarkan rahasia-rahasia Budha dan kepercayaan Kejawen yang masih dipertahankan oleh kyai-kyai setelah masa transisi Islam di Jawa”.

Selanjutnya, pesantren ini juga melahirkan sastrawan besar yang karyanya tetap melegenda lintas zaman. Bagus Burhan, yang dikemudian hari bergelar Raden Ngabehi Ronggowarsito telah mondok di pesantren ini sejak usia 12 tahun.

Pujangga terakhir Keraton Surakarta yang terkenal dengan ramalannya tentang ‘Zaman Edan’ ini adalah putra dari Mas Pajangswara dan cucu Yasadipura II.

Seorang peneliti dari Jepang, Takashi Siraishi, dalam karyanya ‘Zaman Bergerak’ mengatakan “Tidak ada yang dapat lebih jelas menggambarkan transformasi budaya di Surakarta pada abad XIX ini daripada tempat yang diduduki oleh R.Ng Ranggawarsita.

Saat itu, melalui kemampuan bahasanya, ia melegitimasi kekuasaan”. Menurut Takashi, pada zamannya, tulisan-tulisan Ronggowarsito sudah disebarkan melalui percetakan, bukan melalui naskah tulisan tangan sebagaimana penulis-penulis yang lain. Dan juga, penikmat karya-karya Ronggowarsito bukanlah sekedar di dalam lingkaran kraton, melainkan juga anggota komunitas Indo-Jawa-Tionghoa yang terpelajar.

Dalam perkembangannya, pesantren ini telah melahirkan tokoh-tokoh ternama. Diantaranya adalah Pakubuwono II, raja Kasunanan Kartasurya. Dia mengenyam pendidikan di Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari ketika Kerajaan Kartasura sedang menghadapi ‘Geger Pecinan’. Pemberontakan kelompok Tionghoa tersebut dipimpin oleh cucu Sunan Mas yang bernama Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning. Karena kuwalahan, Pakubuwono II terpaksa menyingkir ke arah timur dan kemudian berlindung di pesantren yang diasuh oleh Kyai Ageng Mohammad Besari ini.

Setelah ‘nyantri’ disana beberapa lama, Pakubuwono II akhirnya dapat menduduki tahta kembali pada tahun 1743 M. Kemampuannya mengalahkan kelompok Mas Garendi tersebut tidak lepas dari bantuan Kyai Ageng Muhammad Besari beserta murid- muridnya. Atas jasa Kyai Ageng Besari mengembalikan kedudukan Pakubuwono II inilah, maka Tegalsari dibebaskan dari pembayaran pajak kepada kerajaan Kartasura atau disebut sebagai ‘Tanah Perdikan’.

Tak ketinggalan, Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau yang dikenal dengan HOS. Cokroaminoto adalah santri sekaligus keluarga dari Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari. Pahlawan Nasional yang lahir 16 Agustus 1883 ini adalah ketua Syarekat Islam, sebuah organisasi pergerakan pertama di Indonesia. Pada masa kepemimpinan cucu Bupati Ponorogo, RT Tjokronegoro inilah Syarekat Islam mencapai masa kejayaannya. Dalam catatan Takashi Siraishi menyebutkan “Pada hari Sabtu di bulan Juni, sekitar 2000 anggota baru diinisiasi (baca: diajak) oleh sekelompok orang. Keanggotaan SI meningkat dg pesat….Asisten Residen Surakarta memperkirakan jumlah anggotanya mencapai 35.000 orang pada awal Agustus”.

Masyarakat berbondong-bondong menjadi anggota Syarekat Islam karena menganggap bahwa Cokroaminoto adalah ‘Ratu Adil’ sebagaimana yang diramalkan oleh Ronggowarsito.

Selanjutnya, pada saat pesantren ini dipimpin oleh Kyai Khalifah, terdapatlah seorang santri yang sangat menonjol di berbagai bidang keilmuan. Ia adalah Sulaiman Jamaluddin, cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon.

Ia terkenal sangat dekat dengan Kyainya. Maka tak heran seusai menyelesaikan belajarnya di pesantren ini, ia diambil menantu oleh Kyai Khalifah. Sulaiman Jamaludin kemudian menjadi Kyai muda yang sering dipercaya menggantikan Kyainya memimpin pesantren.

Bahkan Kyai Khalifah akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor. Sebuah desa yang terletak di sebelah timur laut dari Tegalsari. Lambat laun, pesantren baru di desa Gontor ini mengalami perkembangan yang begitu pesat sehingga mengalahkan popularitas Gebang Tinatar-Tegalsari.

Pesantren di desa Gontor tersebut adalah cikal bakal pesantren besar yang kini dikenal masyarakat dengan nama Pondok Modern Gontor. Sejarah mencatat, sepeninggal Kyai Ageng Muhammad Besari tampuk kepemimpinan Pesantren ini secara berturut-turut dipegang oleh Kyai Kasan Ilyas (1773-1800), Kyai Kasan Yahya (1800), kyai Kasan Besari (1800-1862), dan Kyai Kasan Anom.

Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi. Tetapi, pada pertengahan abad ke-19 atau setelah generasi keempat keluarga Kyai Besari, Pesantren Tegalsari mulai surut.

Meski sekarang masyarakat sekitar-pun sudah tidak begitu mengenal nama ‘Pesantren Gebang Tinatar’ ini, namun sejarah telah mencatatnya sebagai peletak dasar pondasi kepesantrenan di Nusantara. Meskipun kiprah Kyai Ageng Muhammad Besari dan Kyai Kasan Besari hanya melegenda dalam ingatan sebagian masyarakat−yang bahkan sering rancu dalam membedakan keduanya−, setidaknya nyaris semua jaringan pesantren di Indonesia, khususnya di Jawa hampir bisa dipastikan punya pertalian darah dengan keduanya. Bahkan menurut info yang sedang ditelusuri oleh penulis, karya-karya dari Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari ini banyak bertebaran di perpustakaan-perpustakaan universitas luar negeri seperti Harvard University dan Leiden University.

Tak heran memang, untuk universitas yang tersebut terakhir ini cikal bakalnya adalah lembaga riset kepustakaan Jawa yang bernama Javanologi di Surakarta. Dan salah satu peneliti yang paling menonjol disana adalah santri Gebang Tinatar-Tegalsari Ronggowarsito.

berbagai sumber

Artikel ini telah dibaca 42 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Korban Kebakaran Rumah Di Waru Sidoarjo Tersenyum, Gus Muhdlor Serahkan Kunci Rumah

22 Maret 2023 - 22:18 WIB

Gus Muhdlor Optimis Pembangunan Flyover Aloha Selesai Pada April 2024

22 Maret 2023 - 22:11 WIB

PDI Perjuangan Jatim Tolak Timnas Israel di Piala U-20

22 Maret 2023 - 17:47 WIB

Tarif Mudik Lebaran Murah, KAI Hadirkan Diskon Tiket dan Flash Sale

22 Maret 2023 - 17:32 WIB

Awal Ramadhan Harga Kebutuhan Bahan Pokok Di Pamekasan Merangkak Naik

22 Maret 2023 - 13:06 WIB

Jelang Ramadan, Maling Bersajam Satroni 3 Rumah di Kompleks PTS Pondok Maritim, Surabaya, Sempat Terekam CCTV

22 Maret 2023 - 12:45 WIB

Pelaku usai masuk rumah warga Yusuf berlantai 2. Menuju rumah korban terakhir, Jangkung (53).
Trending di Kanal Jatim