Memahami Perbedaan Dalam Pemilu

- Editor

Senin, 12 Februari 2024 - 23:15 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Prof. Dr. Warsono, M.S.

Menjelang hari pencoblosan tanggal 14 Februari 2024 suara yang mengkritisi sikap presiden Jokowi semakin menguat. Para guru besar dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, semakin gencar menyuarakan keprihatinan, atas proses pemilu yang dianggap kurang adil dan etis.

Apa yang disuarakan oleh kalangan kampus tersebut tidak seiring dengan apa yang terjadi di masyarakat bawah. Mereka terkesan menikmati bansos yang dibagikan oleh Jokowi, tanpa peduli dengan proses yang melatar belakangi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam sistem demokrasi setiap warga negara memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat. Kebebasan tersebut merupakan bagian dari hak azasi manusia, yang dijamin oleh undang-undang. Sehingga wajar jika mucul pendapat yang beragama baik sebagai kritik, keprihatinan, himbauan maupun dukungan terhadap pemerintah, khususnya Jokowi.

Dalam kontek pemilu, khususnya pilpres, kebebasan bukan hanya dalam berpendapat, tetapi juga dalam memilih calon presiden dan wakilnya. Setiap orang bebas memilih siapa dari calon yang ada.

Meskipun demikian, kebebasaan tersebut dibatasi oleh calon yang diusulkan partai politik dan telah ditetapkan oleh KPU. Kita tidak bisa memilih orang di luar yang telah ditetapkan oleh KPU.

Adanya keterbatasan calon yang bisa dipilih, dapat menimbulkan pandangan pro dan kontra. Bagi partai yang mengusulkan dan para pendukungnya tentu calonnya adalah yang terbaik, setidaknya lebih baik dibandingkan dengan calon lain.

Namun keterbatasan jumlah calon, juga bisa menimbulkan pandangan bahwa tidak ada calon yang baik, sehingga mereka mengambil sikap politik dengan cara golput.

Meskipun golput bukan sikap yang baik dalam proses demokrasi, bisa saja muncul sebagai reaksi atas buruknya calon yang ada. Mereka berpendapat bahwa semua calon tidak ada yang baik, sehingga tidak memilih.

Untuk itu, Franz Magnis Suseno menyarankan bahwa, jika tidak bisa memilih yang terbaik, setidaknya bisa menghindari agar bukan yang terburuk yang terpilih. Dengan tidak golput, berarti telah ikut berpartisipasi untuk mencegah yang terburuk menjadi pemenang.

Pendapat seseorang terhadap calon dipengaruhi oleh pemikiran, pengalaman, dan lingkungan sosial mereka. Setiap anak telah ditanami nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, yang kemudian mempengaruhi cara berpikir mereka.

Baca Juga :  Coklit Pilkada Serentak 2024, Bawaslu Tuban Temukan Ribuan Proses Cacat Prosedur

Berger telah menjelaskan bahwa, anak dikonstruk oleh nilai-nilai yang ada di masyarakat. Meskipun, dia tidak selalu tunduk kepada nilai-nilai tersebut, tetapi juga tidak bisa sepenuhnya lepas dari pengaruh kontruksi sosial yang melingkupi.

Pengalaman akan mempengaruhi penilaian seseorang terhadap masing-masing calon. Bagi mereka yang memiliki pengalaman yang baik dan menyenangkan dengan calon, tentu akan memiliki kesan dan penilaian yang baik. Tetapi bagi mereka yang memiliki pengalaman buruk dan tidak menyenangkan dengan calon, tentu memiliki penilaian yang kurang baik.

Di sisi lain, pemikiran seseorang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dicapai. Bagi mereka yang berpendidikan tinggi tentu tidak sama dengan mereka yang berpendidikan SD.

Faktanya 51% rakyat Indonesia tingkat pendidikannya masih pada level SMP ke bawah. Hal ini jelas mempengaruhi cara berpikir mereka. Bagi yang berpendidikan rendah belum tentu semua paham tentang hukum dan sistem ketatanegaraan.

Namun mereka tentu memiliki kecerdasan (pemikiran) sendiri dalam menentukan pilihannya. Kadang mereka tidak peduli siapa yang akan terpilih menjadi presiden, yang mereka pikirkan adalah bagaimana memenuhi kebutuhan hidup hari ini.

Bahkan mereka juga tidak berpikir untuk jangka panjang, lima tahun atau bahkan 10 tahun ke depan. Mereka hanya berpikir “hari ini”. Apapun alasan mereka dalam menentukan pilihan harus kita hormati, karena itu bagian dari demokrasi.

Hal ini tentu berbeda dengan mereka yang berada di perguruan tinggi, yang secara konsep maupun teori memahami, bagaimana negara seharusnya dijalankan. Pemikiran mereka jelas dilandasi oleh logika yang sehat dan obyektif, sehingga bisa menilai mana yang baik untuk kepentingan bangsa ke depan. Meskipun demikian, bukan berarti di kalangan akademisi tidak ada perbedaan pendapat.

Di kalangan perguruan tinggipun juga tidak satu pandangan tentang proses demokrasi yang sedang berlangsung. Mereka memiliki sudut pandang yang berbeda. Bahkan mereka yang dalam satu bidang ilmupun bisa berbeda pendapat. Dalam dunia akademis perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar dan harus dihormati, karena merupakan bagian dari prinsip keilmuan.

Baca Juga :  Coklit Pilkada Serentak 2024, Bawaslu Tuban Temukan Ribuan Proses Cacat Prosedur

Diantara pendapat yang muncul menjelang pemilu 2024 ada yang realistis, politis dan filosofis. Pendapat yang realistis didasarkan pada fakta, tanpa ada penafsiran dan terlepas dari kepentingan. Meskipun pendapat tersebut juga belum tentu menggambarkan realitas secara keseluruhan.

Sementara pendapat yang politis, sulit untuk dibuktikan kebenarannya, karena sarat dengan kepentingan. Sedangkan pendapat filosofis, merupakan hasil pemikiran yang komprehensif dan mendalam untuk mengungkap kebenaran. Di antara suara yang disampaikan oleh para guru besar ada yang termasuk kategori filosofis.

Sayangnya demokrasi menyamakan kedudukan setiap warga negara dengan prinsip one man one vote. Demokrasi elektoral hanya melihat jumlah suara tetapi kurang memperhatikan itu suara siapa.

Siapapun yang memperoleh suara terbanyak atau lebih dari 51% yang akan menjadi pemenang, tidak peduli tingkat pendidikan yang memilih. Inilah realitas dalam berdemokrasi yang menganut prinsip setiap orang sama hak dan kedudukannya dalam memilih pemimpin.

Oleh karena itu, siapapun presiden yang terpilih harus kita terima dengan lapang dada, selama itu sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
Yang lebih penting dari pemilu adalah bagaimana kita tetap bersatu dalam perbedaan dan menjaga keutuhan NKRI.

Presiden setiap lima tahun bisa berganti, tetapi NKRI tidak boleh runtuh hanya karena perbedaan pilihan. Kesadaran untuk menjaga NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan merawat kebhinekaan menjadi lebih utama dari pada siapa presidennya.

Pemilu hanya sebagai sarana untuk memilih pemimpin dalam waktu lima tahun ke depan. Jika ternyata presiden yang terpilih tidak baik, maka lima tahun berikutnya tidak usah dipilih kembali.

*Penulis adalah Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur periode 2022-2026, Ketua II Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (PP ISPI) periode 2014-2019, dan Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) periode 2014-2018, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Unesa, dan Ketua Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) Cabang Jawa Timur.

Berita Terkait

Coklit Pilkada Serentak 2024, Bawaslu Tuban Temukan Ribuan Proses Cacat Prosedur
Partai Golkar Resmi Usung Sugiri-Lisdyarita dalam Pilbup 2024 Ponorogo
Sinergitas Dalam Transformasi Digital Melalui Satu Data Indonesia
Pendukung Rahman Wijayanto Bakal Calon Wakil Bupati Pacitan Semakin Menguat
Survei LPMM : Elektabilitas Tinggi, Generasi Muda Jember Ingin Faida Jadi Bupati Jember
Perhatian dan Perlindungan Terhadap Pekerja Pers Patut Mendapat Jaminan Pemerintah
Surat Tugas Dari DPP Partai Demokrat Jadi Spirit Bacabup KH. Kholilurrahman Maju Ke Pilkada Pamekasan 2024
Menilik Unsur Pidana UU TPKS Kasus Ketua KPU yang Dipecat DKPP, “Kau yang Berjanji, Kau yang Mengingkari”

Berita Terkait

Sabtu, 27 Juli 2024 - 07:58 WIB

Coklit Pilkada Serentak 2024, Bawaslu Tuban Temukan Ribuan Proses Cacat Prosedur

Jumat, 26 Juli 2024 - 17:29 WIB

Partai Golkar Resmi Usung Sugiri-Lisdyarita dalam Pilbup 2024 Ponorogo

Selasa, 23 Juli 2024 - 01:27 WIB

Sinergitas Dalam Transformasi Digital Melalui Satu Data Indonesia

Rabu, 10 Juli 2024 - 18:54 WIB

Pendukung Rahman Wijayanto Bakal Calon Wakil Bupati Pacitan Semakin Menguat

Rabu, 10 Juli 2024 - 11:50 WIB

Survei LPMM : Elektabilitas Tinggi, Generasi Muda Jember Ingin Faida Jadi Bupati Jember

Selasa, 9 Juli 2024 - 12:07 WIB

Perhatian dan Perlindungan Terhadap Pekerja Pers Patut Mendapat Jaminan Pemerintah

Senin, 8 Juli 2024 - 21:55 WIB

Surat Tugas Dari DPP Partai Demokrat Jadi Spirit Bacabup KH. Kholilurrahman Maju Ke Pilkada Pamekasan 2024

Minggu, 7 Juli 2024 - 22:57 WIB

Menilik Unsur Pidana UU TPKS Kasus Ketua KPU yang Dipecat DKPP, “Kau yang Berjanji, Kau yang Mengingkari”

KANAL TERKINI