Di Podcast Refly Harun, LaNyalla Bicara Kaitan Presidential Threshold dengan Isu Oligarki

- Editor

Senin, 21 Juni 2021 - 20:18 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, kembali membahas ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold. LaNyalla menyebut ambang batas capres memunculkan isu mengenai oligarki.

Hal tersebut disampaikan LaNyalla saat menjadi narasumber dalam podcast politik milik Refly Harun, Secangkir Opini, di Jakarta, Senin (21/6/2021). Secangkir Opini kali ini membahas ‘Capres 2024: Demokrasi versus Oligarki’.

Selain LaNyalla, Secangkir Opini juga menghadirkan sejumlah tokoh lainnya. Yaitu pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis, peneliti Indo Barometer M Qodari, Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriyah, dan pengamat politik UI Chusnul Mar’iyah.

Diskusi juga diikuti sejumlah tokoh secara virtual. Beberapa tokoh juga menyampaikan pendapatnya melalui video singkat, seperti Rizal Ramli, Rocky Gerung, dan pendiri lembaga survei KedaiKOPI, Hendri Satrio.

Dalam podcast, LaNyalla mengingatkan Indonesia lahir dari bersatunya elemen civil society, mulai dari kalangan kerajaan dan kesultanan, kaum cendekiawan, kaum pergerakan, hingga ulama dan tokoh agama. Para tokoh tersebut menyumbangkan pikiran-pikiran luhur saat ideologi bangsa Indonesia disusun melalui BPUPKI dan PPKI.

“Sehingga lahirlah ideologi Pancasila dan tujuan serta cita-cita dari negara ini yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dan Indonesia menganut sistem presidensiil yang tidak sama dengan negara-negara lain,” ungkap LaNyalla.

Dikatakannya, sistem presidensiil Indonesia sangat khas karena demokrasi Indonesia adalah demokrasi Pancasila, alias demokrasi perwakilan. Sehingga, menurut LaNyalla, seharusnya menempatkan musyawarah mufakat sebagai mekanisme pengambilan keputusan sehingga kedaulatan rakyat seharusnya berada di Lembaga MPR RI, sebagai Lembaga tertinggi negara, di mana Presiden mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada rakyat melalui perwakilannya.

“Itulah sebenarnya DNA Asli Indonesia. Tapi kemudian semuanya berubah ketika Amandemen dilakukan di tahun 1999 hingga 2002 silam. Kita menganut sistem presidensiil murni yang diterapkan di barat. Semua dipilih rakyat langsung, mulai dari bupati/walikota, gubernur, presiden, anggota DPRD, DPR RI dan DPD RI,” jelasnya.

LaNyalla juga menyebut, dampak dari amandemen konstitusi juga menjadikan partai politik sebagai satu-satunya saluran untuk mengusung calon presiden yang disajikan kepada rakyat untuk dipilih. Amandemen konstitusi itu pun melahirkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengatur soal ambang batas calon presiden-wakil presiden atau presidential threshold.

Ambang batas capres merupakan syarat pasangan calon di Pilpres di mana pasangan calon harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

“UU Pemilu semakin mengecilkan saluran bagi putra putri terbaik bangsa untuk mendapatkan kesempatan yang sama di dalam pemerintahan. Padahal ambang batas pencalonan tidak pernah ada di dalam Pasal 6A UUD hasil Amandemen. Yang ada di Pasal 6A, ayat 3 dan 4 adalah ambang batas keterpilihan. Jadi yang benar adalah penerapan ambang batas keterpilihan. Bukan pencalonan,” papar LaNyalla.

Menurut Senator asal Jawa Timur ini, ambang batas keterpilihan penting untuk mendorong bahwa presiden terpilih bukan hanya sekadar populer, tapi juga tersebar secara merata untuk negara yang timpang jumlah penduduk seperti Indonesia. Sementara itu ambang batas capres dinilai LaNyalla lebih banyak mudaratnya, dari pada manfaatnya.

“Ambang batas pencalonan atau presidential threshold, yang dikukuhkan dalam Undang-Undang Pemilu banyak disebut sebagai pintu masuk Oligarki Partai yang bersimbiosis dengan Oligarki Pemodal. Karena pada hakikatnya Oligarki ini muncul karena konsentrasi kekayaan yang dibiarkan berlangsung terus menerus dan semakin menggurita,” paparnya.

Disebutkan LaNyalla, kelompok oligarki pemodal hanya berpikir untuk mempertahankan konsentrasi kekayaan tersebut. Mereka dianggap ‘tidak peduli’ dengan siapa yang memimpin, sebab siapapun yang bisa menjamin konsentrasi kekayaan buat mereka, maka itulah yang akan mereka dukung.

“Nah ada empat kemungkinan atau analisa mengapa banyak pihak mengaitkan antara Oligarki dengan UU Pemilu yang memasang ambang batas pencalonan. Kemungkinan pertama mempermudah jalan untuk menguasai negara, sehingga negara bisa digerakkan untuk menjamin dan mempertahankan kekayaannya. Konsepnya adalah ‘beli jasa pengamanan’, tidak mengganggu bisnis dan akumulasi kekayaannya,” urai LaNyalla.

Kemungkinan kedua menurut mantan Ketua Umum PSSI itu adalah untuk menguasai negara secara keseluruhan. Dengan begitu, kata LaNyalla, negara mengabdi pada tujuan oligarki untuk memperkuat akumulasi kekayaannya. Negara disebut malah berubah menjadi pelayan bagi kaum oligar.

“Kemungkinan ketiga adalah mutualisme, karena kaum oligar membutuhkan kesinambungan. Karena perubahan rezim sangat mungkin mengubah arah penegakan hukum. Maka dia harus memastikan bahwa rezim yang lama harus tetap bertahan, atau sekurang-kurangnya ada jaminan keamanan dari rezim baru terhadapnya,” katanya.

Kemungkinan keempat menurut LaNyalla adalah akumulasi semuanya. Untuk itu, aturan ambang batas pencalonan dinilai harus dikaji ulang demi kebaikan bangsa Indonesia.(*)

Baca berita lainnya di Google News Kanalindonesia.com

Berita Terkait

KPK Panggil Ketua DPRD Kalimantan Selatan sebagai Saksi untuk Kasus Dugaan Suap Proyek
Lagi, Kemkomdigi Turunkan 21.456 Konten Terkait Judol
Sosok Poengky Indarti, Dari Pembela HAM Menuju Garda Depan Pemberantasan Korupsi
Tindak Lanjuti Aduan Warga, Wapres Serahkan Bantuan Kemasyarakatan
Pemerintah Godok Stranas Baru, Fokus 5 Kelompok Sasaran Cegah Stunting
Integrasi Makan Bergizi Gratis dengan Program Kementerian hingga Daerah Solusi Tekan Stunting
SMSI Usulkan Penyempurnaan Penataan Masyarakat Pers Indonesia Satu Pintu di Komdigi
Hari Ini, Kemkomdigi Tutup Saluran Telegram Terafiliasi Judol
Tag :

Berita Terkait

Selasa, 26 November 2024 - 01:16 WIB

KPK Panggil Ketua DPRD Kalimantan Selatan sebagai Saksi untuk Kasus Dugaan Suap Proyek

Senin, 25 November 2024 - 14:55 WIB

Lagi, Kemkomdigi Turunkan 21.456 Konten Terkait Judol

Rabu, 20 November 2024 - 10:54 WIB

Sosok Poengky Indarti, Dari Pembela HAM Menuju Garda Depan Pemberantasan Korupsi

Selasa, 19 November 2024 - 17:09 WIB

Tindak Lanjuti Aduan Warga, Wapres Serahkan Bantuan Kemasyarakatan

Senin, 18 November 2024 - 19:35 WIB

Pemerintah Godok Stranas Baru, Fokus 5 Kelompok Sasaran Cegah Stunting

Senin, 18 November 2024 - 19:30 WIB

Integrasi Makan Bergizi Gratis dengan Program Kementerian hingga Daerah Solusi Tekan Stunting

Jumat, 15 November 2024 - 21:43 WIB

SMSI Usulkan Penyempurnaan Penataan Masyarakat Pers Indonesia Satu Pintu di Komdigi

Jumat, 15 November 2024 - 15:00 WIB

Hari Ini, Kemkomdigi Tutup Saluran Telegram Terafiliasi Judol

KANAL TERKINI

KANAL NEWS

Personel Seskoal Ikuti Pesparawi

Rabu, 4 Des 2024 - 05:46 WIB

KANAL PACITAN

Sutikno Jabat Ketua FPPA Masa Bakti 2024 – 2026 Pacitan

Selasa, 3 Des 2024 - 23:21 WIB

KANAL BLITAR

Pekan 12 Liga 1 : Arema FC Gulung Persita Tangerang 3 – 0

Selasa, 3 Des 2024 - 21:20 WIB

https://yogeshwariscience.org/ https://mataerdigital.com/ https://skywalker.link/ https://surgicalimaging.com/ https://tsrprova.in/ https://nkspt.org/ https://nkspt.org/ascb/ https://pesantrenalkahfi.com/ https://apjatin.or.id/ https://ojs.staisdharma.ac.id/ https://smpit.alhikmahmp.sch.id/ https://darululumponcol.com/