Jurnalisme 5W 1H Harus Berbagi Ruang Rumusan di Media Online

JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Secara perlahan dan pasti media cetak baik koran, tabloid dan majalah mulai bergeser ke media online. Masyarakat dengan cepat mendapatkan berita-berita terkini di media online.
Kehadiran media online hasil platform digital tersebut juga membuat produk jurnalistik 5W 1H mengalami pergeseran. Karena pada prakteknya, rumusan 5W 1H harus berbagi ruang dengan rumusan yang dibawa oleh platform digital.
Hal ini diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wens Manggut dalam diskusi bedah buku “Dialektika Digital: Kolaborasi dan Kompetisi Media Massa Vs Digital Platform,” karya Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo yang digelar FMB9, di Jakarta, Selasa (5/4/2022).
“Pada prakteknya, rumusan jurnalisme yang 5W 1H itu harus berbagi ruang dengan rumusan yang dibawa oleh platform digital dalam sebuah artikel,” kata Wens.
Ia menjelaskan, rumusan yang dibawa platform digital seperti penulisan yang harus mengikuti Seach Engine Optimization (SEO) standar minimal link bite, jumlah artikel dan lain-lain.
“Rumusannya apa. Ada SEO di situ, ada standar minimal link bait untuk menekan news read, standar SEO di depan dan di belakang, dan lain sebagainya,” jelasnya.
Menurutnya, saat ini produksi artikel yang diproduksi di news room, merupakan hasil dialetika rumusan yang dibawa platform digital dengan rumusan jurnalisme.
“Kita sering sekali melihat dalam satu tulisan banyak sekali dijejar oleh link bait yang kalo di-bold itu warna biru, warna hitam dan lain-lain, itu tadi untuk
menekan bounce rate itu,” papar Wens.
Sementara itu, Direktur Utama Perum LKBN Antara, Meidyatama Suryodiningrat menyampaikan terima kasih kepada penulis yang telah menuliskan buku berjudul “Dialetika Digital” ini.
“Saya berterima kasih kepada Pak Agus. Beliau memiliki kepedulian terhadap
industri media dan profesi jurnalistik yang jauh lebih panjang. Sehingga susah untuk mengkritik,” katanya.
Baginya, buku ini sangat menarik kendati dirinya tidak menemukan
jawaban dalam membacanya. Namun menurutnya, membaca buku adalah sebuah cara untuk mendorong proses dialektika dalam pemikiran.
“Namun apakah saya menemukan jawaban dalam buku ini, saya mengatakan, saya tidak menemukan satu pun jawaban di dalam buku ini. Tapi memang kita membaca buku itu bukan unutk mencari jawaban melainkan mendorong proses
dialetika dalam pemikiran,” tukasnya.
Orang nomor satu di LKBN Antara ini menambahkan, ada dua hal yang didapatkan setelah membaca buku ini. Pertama adalah secara filosofis, jurnalisme yang diagungkan sebagai pilar keempat demokrasi kehilangan monopoli. Pada akhirnya jurnalisme sudah kehilangan monopoli sebagai pilar keempat tersebut. Itu yang jadi pertanyaan secara filosofis masih relevankah.
Dan aspek kedua, adalah aspek bisnis. Pertama adalah kegagalan media mencari model bisnis yang baru dan yang kedua adalah kegagalan menggunakan sistem ekonomi yang baru.
“Sebenarnya karena kita kalah, apakah kita menyalahkan platform digital global ini. Padahalkan ini adalah persaingan bisnis,” tanya Meidyatama.
Di tempat yang sama, jurnalis senior Don Bosco Salamun mengapresiasi
diterbitkannya buku ini. Dia lantas merekomendasikan kepada para pimpinan media untuk membacanya.
“Buku ini bagus untuk membuka wawasan tentang pertarungan media konvensional dengan platform digital yang oleh penulis dilukiskan dari berbagai kasus dan dari berbagai negara,” terang Don.
Mantan Pemimpin Redaksi Liputan 6 ini menjelaskan, dalam buku ini diperlihatkan bagaimana bargaining antara media konvensional membuat platform digital ini bisa duduk bersama
mendapatkan satu hasil yang baik dan positif.
“Di sini diambil beberapa contoh seperti di Jerman, Australia, Inggris dan seterusnya memperlihatkan bahwa orang tidak boleh maju sendiri-sendiri. Harus maju bersama-sama. Tentu juga pemerintahnya,” ungkapnya.
Don mengatakan, buku ini mendeskripsikan platform digital itu seperti sebuah lubang hitam yang menghisap semua yang konten, data dan iklan.
“Jadi deskripsi tentang digital platform ini seperti lubang hitam yang menghisap semua konten, menghisap semua data dan menghisap semua iklan. Lalu
kemudian belakangan kita mengeluh kita dapat apa? Iklannya susah, viewership-nya berkurang, readership-nya berkurang, sementara biaya bahkan lebih mahal,” bebernya.
Hal inilah, lanjut Don, yang membuat kita berpikir unutk duduk bersama
membicarakan advantage dari kehadiran platform digital global ini.
“Platform digital ini akan menjadi mega supermarket yang kemudian barang kita itu ada di pojok-pojok itu ditaruh. Nah, prinsip digital ini mengatakan you taro di situ, you bayar. Tapi saya bilang enggak, saya kan publisher, saya yang
memproduksi,” pungkas Don. @Rudi