Cegah Perilaku Berisiko Kehamilan pada Anak untuk Pencegahan Perkawinan Usia Dini

JAKARTA, KANALINDONESIA.COM: Praktik Perkawinan Anak terus meningkat. Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag), angka permohonan dispensasi kawin yang diputus meningkat dari 23.145 di tahun 2019 menjadi 61.432 di tahun 2021. Oleh karenanya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) berupaya melakukan pencegahan perkawinan anak melalui focus group discussion yang bertujuan untuk mencegah perilaku berisiko yang menyebabkan kehamilan pada usia anak.
“Fenomena yang terjadi di masyarakat, perkawinan anak masih diterima, dianggap biasa, dibenarkan atau bahkan dianggap sebagai penyelesaian masalah, diperbolehkan menurut pandangan tradisi, adat istiadat, dan keyakinan. Padahal perkawinan anak mengakibatkan timbulnya permasalahan baru,” ungkap Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Agustina Erni pada FGD Menghadapi Tingginya praktik Perilaku beresiko bagi Remaja yang berdampak terhadap Perkawinan Anak, yang dihadiri oleh lembaga keagamaan dan akademisi di Depok 22-23 April 2022 lalu.
“Sebagian besar perkawinan anak terjadi karena hamil di luar nikah yang berdampak bagi tumbuh kembang anak. Diskusi ini menjadi sebuah terobosan bagaimana negara hadir untuk melakukan perawatan bagi anak yang mengalami kehamilan demi kepentingan terbaik.
bagi anak. Diharapkan melalui diskusi ini dapat dihasilkan kertas kebijakan terkait bagaimana anak yang mengalami perkawinan karena perilaku beresiko seperti hamil di luar nikah dapat tetap mendapatkan perawatan, pendidikan, terjamin kesehatannya dan memiliki pemahaman dalam mengasuh anak,” jelas Erni.
Perwakilan Yayasan Bahtera, Faisal menyampaikan dalam paparannya bahwa perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan sebagaimana dijelaskan dalam dokumen review Konvensi Hak Anak (KHA). Perkawinan anak yang terjadi akibat hamil di luar nikah terjadi karena adanya pola asuh yang tidak tepat dalam keluarga sehingga mempengaruhi kecerdasan emosi anak. Ketika anak tidak memiliki kecerdasan emosi, maka dia mudah terjebak dalam situasi eksploitasi seksual.
Lebih lanjut, Faisal mengatakan bahwa akan banyak kebijakan yang lahir dari kaitan isu perkawinan anak dalam KHA. Langkah kebijakan dari aspek pendidikan, diantaranya dapat disediakan bus sekolah untuk anak yang melalui Dinas Perhubungan, fasilitasi infrastruktur jalan di sekitar sekolah melalui Dinas Pekerjaan Umum, dan supir bus sekolah harus dilatih tentanghak anak melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Sementara itu, dari pandangan lembaga keagamaan, Ketua Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga Majelis Ulama Indonesia (PRK MUI), Siti MA’rifah menjelaskan bahwa Persoalan mengenai perkawinan anak masih terjadi karena pemahaman yang salah pada agama, yaitu untuk menghindari zina.
“Pencegahan harus dilakukan melalui kerjasama dengan Lembaga keagamaan dan Lembaga pemerintahan untuk mengedukasi masyarakat. Paham keagamaan yang keliru harus diluruskan. Selain itu, MUI juga akan terus melakukan kajian khususnya dengan Kemenag dan Mahkamah Agung apakah pemberian dispensasi sudah sesuai,” ungkap Siti.
Selanjutnya, Menurut Rochimah, Kepala Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya menerangkan bahwa perkawinan anak belum menjadi isu penting yang dibicarakan di level daerah.
“Masyarakat masih melakukan pembenaran terhadap perkawinan anak karena memandang bahwa sejak dahulu orang menikah muda tidak masalah, lebih cepat anak perempuan menikah maka akan lebih baik bagi keluarga, lebih cepat menikah lebih baik daripada tidak laku, menikah mencegah zina, menikah sunah agama, menaati agama lebih baik daripada menaati pemerintah, dan menikah adalah tujuan setengah ibadah,” ungkap Rochimah.
“Untuk mengatasi perilaku beresiko kehamilan dibutuhkan langkah pentahelix dengan kajian komprehensif baik dilakukan oleh anak, keluarga, masyarakat, lingkungan dan pemerintah,” pungkas perwakilan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia (UI).